Semua problematika tersebut telah menambah rumitnya penyelesaian. Pesta demokrasi yang tadinya bertujuan baik agar regenerasi kepemimpinan nasional berajalan dengan baik pula kini berubah menjadi alat meraih dan mempertahankan kekuasaan dengan segala cara.
Semangat seperti itu telah menyimpang dari sistim demokrasi yang kita sepakati. Ketidakjujuran kita melaksanakan seluruh proses secara legal, transparan, dan tidak menyeleweng telah mengotori demokrasi yang "suci" berdasarkan prinsip-prinsip Ketuhanan yang maha esa.
Mungkin kita bisa memahami rasa kecewa yang amat dalam dirasakan oleh mereka yang tidak beruntung dalam memperoleh suara. Bahwa ada luka yang terjadi pada diri mereka itu pasti ada. Apalagi sebagai manusia, tentu hal itu sudah menjadi kodratnya. Namun kita tidak boleh terus larut dalam kedukaan semacam itu karena akan berakibat celaka.
Bangkitlah dari semangat luka menjadi semangat suka yang membara. Yakinkan diri bahwa pesta itu selalu ada ceritanya. Jadikan ketidakberuntungan itu sebagai energi baru dalam catatan kesabaran kita. Pasrahkan segalanya pada Tuhan yang Maha Tahu segalanya. Dan biarkan kesabaran kita sebagai pintu pembuka menuju surga.
Memang ini tidak mudah. Kesabaran adalah hal yang pahit dan menyakitkan. Sangat sulit bagi seseorang untuk mencapai derajat sabar yang sangat tinggi, kecuali ia menginginkan ridha Nya. Hanya bagi merekalah pohon kesabaran itu akan tumbuh subur dalam hati dan jiwa mereka, lalu kemudian orang lainpun dapat menikmati buah kesabaran itu dan berteduh dibawahnya.
Dengan demikian biarkanlah kekuatan Ilahiyah bekerja dalam upaya kita. Luruskan niat, bersihkan hati, dan tidak berburuk sangka kepada Nya, maka kebenaran itu akan datang pada waktunya, muncul tanpa diminta. Tugas kita hanya berusaha menggapai ridha Nya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H