Setelah populer langkah selanjutnya adalah akseptabilitas. Pada fase ini pemilih menilai caleg secara menyeluruh dari berbagai aspek. Diantaranya adalah karakter, kepribadian atau akhlak, kualitas dan kompetensi calon, visi dan misi, kejuruan, dan semua track record mereka. Nah disinilah penentuan apakah seorang calon diterima atau ditolak oleh para pemilih.
Dan yang terakhir adalah elektabilitas, ini dapat didefinisikan sebagai tingkat keterpilihan seseorang dalam sebuah pemilihan, sehingga elektabilitas sering menjadi perhatian caleg dan partai politik dalam setiap pemilu. Biasanya elemen popularitas menyumbang kontribusi besar terhadap elektabilitas atau keterpilihan. Meskipun itu bukanlah hukum pasti.
Secara konsep memang tidak ada keterkaitan secara langsung antara membagi-bagikan uang dengan keterpilihan. Namun dalam politik praktis yang berlawanan dengan hati nurani, sogokan politik "amplop" dapat mengubah teori-teori politik yang ada di negara-negara maju.
Saya sendiri sering mendengar di kalangan masyarakat bawah, mereka sering ditawari sejumlah uang untuk memilih seseorang. Biasanya setiap caleg memiliki tim sukses yang selalu mempengaruhi masyarakat calon pemilih agar mau memberikan suaranya kepada caleg tertentu.
Namun dalam banyak pengalaman caleg yang suka membagikan uang, menyogok rakyat hanya buang-buang duit saja. Kenapa? Karena jika ia memang tidak memiliki kualitas diri yang mumpuni, ia takkan dipilih oleh masyarakat meskipun uang atau sembako yang diberi diambil oleh masyarakat.
Artinya money politic hanya akan mengotori tangan caleg saja. Sama saja caleg meracuni pikiran masyarakat dengan perilaku korupsi. Dan sayangnya setelah uang banyak habis, belum tentu juga mereka terpilih. Sehingga tak jarang banyak caleg yang stress sehabis pemilu berlangsung gegara banyak utang yang digunakan untuk menyuap pemilih.
Jadi jika Anda saat ini sebagai caleg, dan bila ingin terpilih maka sebaiknya hindarilah money politic. Hentikan bagi-bagi uang dengan niat menyogok masyarakat. Seperti Bowo yang tertangkap oleh KPK RI. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H