Bahkan Islam mengajarkan perdamaian, saling menghormati dan hidup berdampingan dengan berbagai unsur perbedaan. Apalagi dalam kehidupan sosial, Islam mendukung secara penuh nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, dan saling tolong menolong sebagaimana ditanamkan dalam nilai-nilai Pancasila.
"Islam yang asli alias original adalah Islam yang santun dan lembut, islam yang ramah, islam yang penuh rahmat, islam yang toleran, islam yang mengakomodir budaya lokal, islam yang tidak main paksa" Â kata Buya Safi'i Ma'arif.
Maka patut kita bersedih dengan apa yang terjadi di Yogyakarta, pengusiran warga yang berbeda keyakinan, pengrusakan kuburan Kristen atau seperti di NTT terjadi pengusiran dai (pendakwah) Islam, dan kriminalisasi ulama. Semua itu bentuk-bentuk prilaku intoleran.
Dalam konteks pilpres sekarang ini, potensi terjadinya intoleransi sangat berpeluang besar apalagi jika isu agama, ras, dan suku dijadikan sebagai alat politik adu domba oleh para kubu kontestan.
Oleh sebab itu bangsa Indonesia harus menyikapi perbedaan ini dengan bijak. Tidak perlu menjadikan hal itu sebagai sumber pemecah belah karena kepentingan sesaat. Dan generasi muda dapat menghindarkan diri dari ajakan yang menjurus pada hal-hal bersifat destruktif.
Mungkin kita perlu belajar dari fakta toleransi yang ditunjukkan pada rapat akbar politik kedua paslon Presiden dan Wakil Presiden Indonesia yang sedang berkompetisi menjadi yang terbaik hari ini yaitu Prabowo-Sandi dan Jokowi-Ma'ruf Amin. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H