"Sebagai pendatang baru dan partai kecil, PSI sedang berupaya menunjukkan aktualisasi diri", begitu komentar sahabat saya Johanes Krisnomo dalam laman komentar pada artikel Kompasiana saya berjudul PSI: Megawati Tidak Bijak Sikapi Pemilih Golput. Kata kunci Johanes Krisnomo adalah aktualisasi diri.
Benarkah PSI sedang melakukan penunjukkan jati diri sebagai strategi aktualisasi dirinya? Mari kita lihat, Partai Solidaritas Indonesia (disingkat PSI) adalah partai politik berhaluan tengah di Indonesia yang baru didirikan pasca pemilu tahun 2014, tepatnya 16 November 2014 atau 4 tahun lalu. Partai ini diketuai oleh mantan presenter berita Grace Natalie. Partai ini cenderung mengambil target partisipan kalangan anak muda, perempuan dan lintas agama.
Sebagai partai kecil yang baru lahir dan tidak memiliki tokoh besar yang mempunyai pengaruh hingga ke grassroot tentu memiliki tantangan berat agar mampu eksis sepanjang masa. Ditambah lagi tingkat persaingan yang cukup ketat dengan partai-partai besar lama yang sudah mapan dan dikenal luas oleh masyarakat Indonesia, membuat PSI harus memutar otak cari strategi.
Tantangan besar tersebut tentu saja harus mampu dihadapi oleh para pendiri dan pengurus partai yang memiliki warna merah sebagai ciri khasnya itu. Jika tidak maka partai ini akan kalah saing dan bukan tidak mungkin gagal lolos ke Senayan pada pemilu pertama mereka. Potensi gagal itu terlihat ada indikasinya. Karena itu PSI harus punya way out strategy.
Salah satu cara yang umum dilakukan oleh orang agar pemosisian menjadi lebih tepat dan efektif yaitu mengenalkan partai kepada masyarakat dan menciptakan diferensiasi. Kalau dalam dunia marketing dikenal dengan perbedaan produk yang unik.
Artinya sebuah produk baru agar cepat mendapatkan perhatian pasar maka produknya harus memiliki ciri khas yang sangat unik dan berbeda dengan pesaing.
Belajar pada Nasdem
Mungkin publik masih ingat bagaimana awalnya sebuah organisasi masyarakat (Ormas) yang dipimpin Surya Paloh bermetaformosa menjadi partai politik yang kemudian diberi nama Partai Nasional Demokrat (disingkat Nasdem).
Ketika itu Surya Paloh yang memang sudah dikenal luas oleh masyarakat menawarkan sebuah ide besar dalam situasi politik yang stagnan dan status quo. Konsep restorasi pun menjadi produk yang dijual oleh Nasdem. Hebatnya sambutan masyarakat sangat luar biasa.Â
Sehingga  Nasdem tumbuh begitu cepat menjadi partai yang diperhitungkan dalam kancah politik nasional dan meraih suara sigifikan pada pileg 2014 padahal ini partai baru.
Dalam perjalanannya Nasdem terus menggulirkan semangat restorasi dimana-mana, bahkan mulut Surya Paloh sampai berbusa-busa berpidato tentang perlunya sebuah perubahan secara total di Indonesia. Setiap kali Paloh khutbah maka topiknya selalu soal restorasi. Begitu kuatnya upaya pemosisian.
Tidak sia-sia, pada masanya, ternyata omongan besar Surya Paloh berpengaruh juga pada pemikiran masyarakat. Terbukti pada pemilu pertama Nasdem ikut sebagai peserta pemilu tahun 2014 langsung lolos parlemen dan mendapatkan suara yang cukup signifikan mulai dari daerah hingga nasional.
Kemudian masuklah Aleg (anggota legislatif) Nasdem ke parlemen (DPR RI). Pertanyaannya, apakah mereka memperjuangkan pembaharuan (restorasi) yang didengung-dengungkan selama kampanye itu? Apakah tagline restorasi masih menjadi semangat perjuangan para legislator Nasdem hingga kini? Anda jawab sendiri ya.
Mungkin itulah salah satu kegelisahan PSI, mereka jenuh melihat kondisi politik dan kinerja politik anggota legislatif partai-partai lama yang ada sekarang termasuk aleg dari Nasdem.Â
Lalu PSI ingin keluar dari jebakan situasi buruk kinerja politik para politisi Indonesia dan menawarkan sebuah perbaikan. Sebab itulah mereka kemudian menantang siapa saja dan partai apa saja yang menurut PSI berkinerja buruk, sekalipun itu PDIP.
Atas keberanian tersebut memang akan ada biaya yang harus mereka tanggung. Partai lama pun yang merasa dirinya sudah senior dan paling paham tentang politik Indonesia tentu akan bereaksi jika dikritik tanpa dasar pemikiran yang jelas oleh PSI. Dan oleh karenanya PSI harus siap dikucilkan jika masih menjunjung idealisme mereka sendiri tanpa kompromi.
Inilah jalan dilematis bagi partai baru yang ingin eksis dan mencari jati dirinya yang berbeda dengan status quo. Antara koalisi dan oposisi. Namun satu hal yang pasti jangan sampai mencontohi Nasdem yang gagal mewujudkan konsep restorasinya dan ide itu tenggelam begitu saja manakala mereka berteman dengan partai-partai lama, dan jangan sampai diikuti jejaknya oleh PSI.
PSI harus menarik diri dari model partai politik lama yang ada saat ini. PSI harus menampilkan warna politik yang berbeda dan baru.
Platform PSI
Partai ini membawa platform tentang solidaritas, pluralitas beragama, suku, dan bangsa. Partai ini mengklaim akan mengisi tokoh-tokoh partai dengan anak muda dan tidak ingin adanya "bekas" politisi partai lain yang memasuki partai ini. Ada aturan bahwa pengurus partai dibatasi maksimal 45 tahun, dan saat ini pengurus daerah rata-rata berumur 20-30 tahun.
Selain itu Partai ini tidak mau bertumpu kepada seorang tokoh untuk mengangkat nama partai, seperti partai politik lain kebanyakan. Partai ini juga mengklaim transparansi sumbangan finansial, khususnya memisahkan pengaruh bisnis dari operasional partai. Sudahkah Anda melihat perbedaan itu atau PSI sama saja dengan partai politik yang lain? (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H