Tetapi jika dipikir-pikir lebih jauh, apa kaitannya antara kartu dengan pelayanan yang cepat? Jika di suatu daerah ternyata ketersediaan jaringan internet sangat buruk di mana bukan hanya jangkauan yang terbatas juga lemotnya bukan main. Konon internet di Indonesia paling lemot di Asia Tenggara.
Lagi pula wacana E-goverment, E-Procurement, E-Budgeting, dan E-Planning sudah sering dikatakan. Seiingat saya sudah sejak Jokowi mencalonkan diri sebagai Cagub DKI bersama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok hal itu menjadi janji kampanye mereka.
Dari sebanyak model pemerintahan berbasis elektronik yang diwacanakan tidak semuanya terwujud, hingga kini E-goverment yang digadang-gadang itu tidak jelas bagaimana wujudnya. Mungkin untuk DKI Jakarta secara parsial beberapa aplikasi elektronik mulai dipakai dalam pemerintahan. Namun hal itu belum dapat dikatakan sudah E-goverment.
Lalu bagaimana di tingkat pemerintah pusat? Saya rasa apa yang dikampanyekan oleh Jokowi mengenai E-goverment masih sama dengan materi tahun 2014 lalu. Walaupun sudah menjadi presiden tapi untuk implimentasi E-goverment belum mampu diwujudkan. Barangkali ada hambatan yang mungkin kita tidak tahu.
Untuk model tata pemerintahan elektronik atau E-goverment saya rasa belum berhasil dilakukan oleh Jokowi meskipun masa kekuasaannya hampir berakhir. Adapun bermacam aplikasi daring yang digunakan oleh K/L sudah ada sejak pemerintahan sebelumnya atau bukan hal yang baru.
Terlepas dari kegagalan Jokowi-JK mewujudkan janji kampanye terkait tata pemerintahan berbasis elektronik. Namun wacana tersebut tentu sangat tepat, apalagi menghadapi era revolusi industri 4.0 dan zaman milenium. Indonesia membutuhkan sebuah strategi tata pemerintahan yang dapat menghentikan kebocoran uang negara karena berbagai penyimpangan aparatur.
Pelayanan yang selama ini dilakukan secara langsung human to human (antar manusia) kerap menjadi hubungan yang mengarah kepada kolusi, korupsi, dan nepotisme. Petugas pelayanan mempersulit masyarakat untuk menciptakan peluang mendapatkan keuntungan finansial bahkan tak jarang terjadi pungutan liar.
Itu yang saya sebut sebagai E-Governance. Indonesia bukan hanya memerlukan tata pemerintahan yang baik tapi juga membutuhkan tata kelola pemerintahan yang baik. Tata kelola yang baik hanya akan dicapai melalui pemanfaatan seluruh sumber daya yang unggul, berkualitas, dan berdaya guna.
Sumber daya yang dimaksud adalah seluruh sistem yang terlibat dalam proses pembentukan kebijakan, pengambilan keputusan, kepemimpinan, anggaran, nilai-nilai unggul seperti (kejujuran, kedisiplinan, budaya kerja), regulasi, politik, penegakan hukum, dan infrastruktur pendukung utama lainnya.
Sayangnya semenjak Jokowi-JK berkuasa tata kelola pemerintahan yang baik terlihat sangat rapuh dan jauh dari prinsip-prinsip transparansi. Misalnya dalam hal rekrutmen pejabat tinggi negara. Kecuali pada awal-awal pembentukan kabinet kerja, saat itu terlihat ada upaya Jokowi untuk menciptakan pemerintahan yang bersih (clean goverment) melalui pengangkatan menteri secara selektif.
Namun setelah satu tahun pertama masa kepemimpinannya, pemerintahan Jokowi justru semakin gaduh. Selain tidak baik dalam koordinasi antar K/L sehingga memunculkan ego sektoral yang berlebihan, juga terjadi tumpang tindih kebijakan. Sehingga seringkali rakyat melihat terjadinya silang pendapat antara para menteri yang kemudian membingungkan publik.