"Inilah salah satu keajaiban hidup: jika Anda menolak segala sesuatu yang berada di bawah level puncak, Anda pasti sampai di puncak kesuksesan." (Somerset Maugham).
Ketika sekawanan Kambing berlari, mereka menuju ke suatu tempat tanpa berpikir. Bahkan, mereka tidak menyadari ketika berlari ke tempat kematian. Dan, yang mengherankan, gaya ini digunakan oleh manusia yang selalu oleh manusia yang selalu mengumandangkan jargon, "mati bersama adalah rahmat!"
Betapa sering kita mendengarkan keluhan manusia. Ada seorang pegawai yang bekerja di bidang yang tidak ia sukai. Ketika kita tanyakan, mengapa ia bekerja dibidang itu? Ia menjawab bahwa ketika masuk kuliah, ia didaftarkan dalam jurusan yang sama dengan teman-temannya.
Padahal, ia tidak suka jurusan tersebut. Ia mengambil jurusan itu tanpa perencanaan, tanpa tujuan serta tanpa pertimbangan akan kemampuan dan kecenderungannya!
Cara seperti itu tidak hanya terjadi di bangku kuliah atau di dunia kerja, tapi juga terjadi dalam kehidupan. Ketika sebuah keputusan harus dikerjakan oleh sekelompok orang, sebagian dari mereka menjalankan keputusan ini tanpa kebebasan dan pertimbangan.
Yang lebih aneh lagi, gaya seperti ini dianggap sebagai gaya keikhlasan dan kesetiaan, tanpa mempertimbangkan akibat yang ditimbulkan. Mereka hanya menuruti garis batas yang telah ditetapkan. Akibatnya mereka salah dalam mengorbankan dirinya.
Dalam konteks pilpres mestinya kita tidak identik dengan sekawanan kambing yang senang berlari mengejar gerombolan. Kita perlu belajar pada sang kancil dalam menilai situasi. Memiliki akal yang cerdas seperti kancil dan mempunyai ketajaman seperti naluri kambing menjadikan kita kuat dalam kombinasi.
Memang sudah jalannya jika sekelompok orang selalu memberikan pilihan pada setiap alternatif yang mereka tetapkan, tanpa diminta pun perilaku itu akan muncul dengan sendirinya. Alasan kuat memberikan pilihan tertentu karena dorongan ingin berubah atau tidak ingin berubah (status quo). Hanya akan ada dua konsekuensi logis pada pilpres kali ini.
Anda dan kita semua tidak perlu heran dan merasa keberatan dengan apa yang disajikan para elit hari ini. Hidangan perdebatan ala Arab baduy yang kurang pengetahuan atau perdebatan cara Barat yang tidak memliki nilai-nilai nusantara akan selalu dihidangkan setiap saat diruang tamu rumah kita.
Anda tidak akan bisa lari kemana-mana, karena Anda sudah terkepung dan diserbu oleh ketidakwarasan penggembala yang menginginkan kita menjadi sekawanan Kambing gembalaannya. Hampir tidak ada ruang kosong dan relung hampa dimana Anda dan kita semua dapat beristirahat dengan damai sehabis bekerja seharian dan terhindar dari "teror" capres.
Sekedar mengingatkan bahwa pilpres kita sedang menuju puncak kenikmatan. Ibarat malam pertama, suasana nan syahdu meniti titik klimaks sedang berlangsung. Para capres dan pendukungnya kini bekerja lebih keras mendorong agar klimaksnya benar-benar berada pada puncak kenikmatan yang luar biasa.
Bagi mereka yang nanti terpilih tentu saja bulan madu yang terjadi sepanjang tahun, namun bagaimana dengan capres yang tersingkir? Akankah mereka pasrah begitu saja? Ataukah dia akan menuduh bahwa pasangan malam pertama itu telah melakukan perselingkuhan sebelumnya akad diucapkan?
Rasanya kekuatiran itu ada dan sangat besar potensinya. "perselingkuhan" para elit mulai dari atas sampai level kelurahan/desa sangat kental terasa. Fenomena tidak peduli lagi pada aturan hukum sudah menghalalkan perselingkuhan itu. Inilah era dimana kambing dipaksa mengikuti permainan bebas perselingkuhan tuannya.
Sungguh sangat ironi seperti garuda sedang patah sayapnya. Saat ini bangsa besar sedang bergejolak dengan dinamika politik yang "menelanjangi" Pancasila. Bukannya ideologi unik tersebut disanding damai dengan menara masjid dalam mengumandangkan kebenaran, justru dipakai sebagai martil untuk menghancurkan kubah-kubah masjid dengan dalih intoleran.
Bagi sebagian pemilik kambing merasa inilah saatnya melepaskan kambing-kambing piaraannya mereka untuk merumput di ladang rumput nan hijau. Sang tuan hanya membekali mereka dengan lonceng sebagai alat untuk memberikan isyarat mana kala sang kambing menyuarakan "khutbah" tuannya.
Dalam konteks ini memiliki makna bahwa berbagai narasi bebas yang dlontarkan oleh capres, lalu disahuti oleh pendukung mereka dan mengembangkannya menjadi alat pemukul sekaligus sebagai lambang kecerdasan bagi yang didukung. Padahal sesungguhnya apa yang dibunyikan tidak persis sama dengan apa yang disuarakan. Lagi-lagi kambing kehilangan fokus.
Segerombolan kambing kini nasibnya berada dibawah tongkat sang majikan. Kambing bernasib malang dipaksa bertarung, berlaga diladang rumput kering. Sedangkan tuan mereka sedang menikmati lezatnya susu-susu yang berhasil diperah dari darah sang kambing.
Mereka yang tidak mengerti apa yang sedang mereka perjuangkan dan bahkan mempertahankan sesuatu yang sudah terbukti gagal. Merupakan sinopsis dari sebuah riwayat kambing yang kehilangan arah ditengah padang tandus, kering kerontang tanpa literasi yang memadai. Sungguh bangsa ini sedang berada dalam jebakan kepalsuan.
Begitulah saudaraku, andai kita benar-benar tidak tahu mana kebenaran yang benar, maka segeralah kembali pada titah pembawa berita. Ikuti jejaknya sambil menundukkan kepala. Niscaya kita akan sampai pada cahaya kebenaran abadi yang dapat menyelamatkan kita dari sekawanan kambing diantara kambing hitam gembala sang tuan capres. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H