Kasus ini telah banyak memakan korban. Banyak dosen yang telah dipecat oleh oligarki kekuasan perguruan tinggi. Gegara mempersoalkan kebijakan sang pimpinan yang tidak sudi dikritisi. Mereka justru diposisikan sebagai "musuh" akademisi yang sok idealis dan sok suci.
Kita bisa melacak data ini dengan mudah melalui bantuan teknologi virtual. Maka kita akan menemukan beberapa tindakan rektor, dekan, direktur, dan ketua atau mereka yang berkedudukan sebagai pimpinan perguruan tinggi yang menjadi otoriter dan tiran terhadap dosen-dosen, tenaga kependidikan, staf administrasi, dan pegawai rendah dengan perlakuan tidak demokratis.
Jika mengamati kondisi terkini di mana kubu akademisi diam dan bisu, padahal umat sangat membutuhkan pencerahan dari mereka, maka asumsi bahwa kampus memang telah mati bukanlah asumsi belaka. Tetapi memang benar adanya. Perguruan tinggi telah tiada dalam peradaban ilmu pengetahuan dan pencerahan ummat.
Perguruan tinggi telah berubah menjadi menara gading yang sangat eksklusif dan dihuni oleh kaum borjuis pragmatis. Mereka hanya berdiri sejajar dengan kekuasaan politisi busuk namun murah hati pada soal materi. Jas almamater dan toga kemuliaan telah diganti dengan kekuasaan yang merendahkan.
Inilah tanda-tanda nyata yang patut dicatat oleh mereka pejuang jelata. Tidak perlu lagi berharap banyak bahwa kampus masih bertindak sebagai "matahari" kedua bagi pencerah dalam kegelapan. Bahkan kampus kini telah bermetaformosa sebagai tempat industri pencetak "robot" bagi kebutuhan pasar. Kampus hampir bukan lagi sebagai tempat mendidik manusia agar menjadi "dewa" dan menjadi orang bijaksana. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H