Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hak Pejalan Kaki yang Dirampas

26 Januari 2019   19:44 Diperbarui: 26 Januari 2019   19:57 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemajuan sebuah kota bukan hanya diukur dari pembangunan phisik semata, semisal memiliki fly over, jalan tol, LRT, bangunan bertingkat ratusan lantai, moda transportasi super canggih. Tetapi juga harus dilihat dari berbagai sisi lain yang bukan bersifat phisik. Misalnya budaya kehidupan warganya, kebersihan, keamanan dan ketertiban, bahkan kedisiplinan warga kota dalam berlalu lintas.

Sebagai kota metropolitan laksana Ibu Kota Jakarta barometer kemajuannya dapat dilihat pada peradaban kehidupan masyarakat urban di wilayah tersebut. Peradaban yang paling kasat mata adalah soal kebersihan, keamanan, ketertiban, dan kepatuhan warga terhadap aturan hidup bersama yang disepakati. Kesepakatan itu tertuang dalam kebijakan pemerintah sebagai komitmen bersama.

Begitu pula di kota kecil yang berbeda secara kuantitas dengan Kota Jakarta. Seyognya lebih nyaman dan tertib ketimbang kota-kota besar yang sudah padat penduduk. Kota kecil sangat jarang dengan kebiasaan lalu lintas yang macet seperti Surabaya, Bandung, Bogor, Medan, dan Makassar. Karenanya kota kecil harusnya jadi lebih tertib dan teratur.

Tapi bagaimana jika warga kota kecil justru tidak dapat menciptakan suasana tertib dan nyaman bagi kepentingan bersama? Inilah pokok masalah tercipta karena kurangnya kesadaran warga terhadap kepentingan bersama tersebut. Sebagai contoh penggunaan fasilitas publik bagi kepentingan pribadi secara melawan aturan.

Jika di Jakarta penertiban terhadap fungsi trotoar gencar dilakukan. Maka di kota saya justru trotoar dibiarkan dinikmati oleh oknum tertentu untuk kepentingan bisnis mereka. Seolah yang namanya fasilitas publik boleh digunakan oleh siapa saja dan untuk kepentingan apa saja secara bebas tanpa boleh dilarang-larang.

Pola pikir demikian tentu sangatlah sesat. Trotoar berfungsi bagi pejalan kaki sebagai jalur lalu lintas yang diatur dengan aturan. Sangat disayangkan jika masyarakat mengabaikan hak-haknya dirampas oleh pihak tertentu. Masyarakat harus mengerti bahwa penggunaan trotoar diluar fungsinya adalah bentuk pelanggaran hukum.

Trotoar tidak boleh digunakan untuk tempat parkir baik kenderaan roda dua apalagi roda empat, tidak boleh dijadikan sebagai tempat berjualan, bengkel, atau tempat tidur dimalam hari atau kegiatan lain yang sejenis. Namun trotoar dibuat sebagai sarana yang aman bagi pejalan kaki dari bahaya lalu lintas.

Penertiban terhadap fungsi utama trotoar diatur berdasarkan peraturan daerah,  biasanya jika bukan dengan peraturan gubernur, ada peraturan bupati/walikota. Dengan dasar hukum yang jelas, satuan polisi pamong praja sebagai pengawal perda dapat melakukan penindakan jika ada pelanggaran hukum oleh masyarakat.

Perilaku warganya tentu saja mencerminkan tingkat kemajuan sebuah kota. Budaya disiplin dan taat pada aturan sebagai cara hidup yang harmonis merupakan ciri kemajuan kota tersebut. Inilah yang saya sebut sebagai salah satu indikator untuk mengukur kemajuan sebuah kota. Jadi tidak hanya diukur dengan pembangunan fisik semata.

Tidak mengindahkan hak-hak orang lain sebagaimana perilaku orang yang memarkirkan kendaraan mereka di atas trotoar termasuk perbuatan tidak bermoral. Yang bukan hanya melanggar hukum namun juga melanggar etika umum dan pelecehan terhadap hak pejalan kaki.

Sebagaimana diketahui orang-orang yang sering menggunakan trotoar adalah diantaranya anak-anak, orang tua, ibu-ibu, dan mereka yang tentu saja tidak memiliki kendaraan. Seharusnya kita lebih peka terhadap mereka. Bayangkan saja jika orang tua yang sudah agak kabur pandangan matanya tega kita biarkan berjalan dijalan raya karena trotoarnya sudah tidak dapat ia gunakan.

Tentu sangat ironi kalau diantara kita malah tidak memiliki sensitivitas apapun kalau melihat situasi seperti itu. Sebagai sesama warga kota kita sangat prihatin jika ada oknum yang salah dalam pemanfaatan trotoar. Bukannya sebagai hak pejalan kaki malah dijadikan lahan bisnis untuk meraup keuntungan pribadi.

Disisi lain pemerintah kota pun tidak boleh berdiam diri melihat pelanggaran hukum oleh oknum tertentu. Bupati atau wali kota harus tegas dalam mengatur kewajiban setiap warga. Jangan karena ada kepentingan tertentu lalu wali kota diam saja tanpa menertibkan pelanggaran tersebut.

Sehingga jangan menunggu warga yang selama ini merasa hak mereka telah dirampas dan bertindak sendiri dalam menertibkan. Itu sama saja akan memicu konflik horizontal sesama warga. Kalau sudah demikian, maka tindakan main hakim sendiri tidak dapat dihindari.

Oleh karena itu pemerintah harus mengawal dan memberikan penyuluhan dan kesadaran bagi mereka yang telah melanggar. Bangun komunikasi persuasif agar hak-hak pejalan kaki tidak dirampas. Kembalikan fungsi trotoar sesuai dengan aturan yang ada. Bagaimanapun pemerintah tidak boleh diskriminatif. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun