Ketika saya sedang menikmati segelas kopi hangat di sebuah warung pinggiran sebuah kampung, tiba-tiba ditengah ramainya warga, seseorang menghampiri saya dengan selembar surat kabar ditangannya, seraya mengajukan sebuah pertanyaan. Dan sebetulnya sebelum seseorang itu mengajukan pertanyaan, saya sudah kaget lebih dahulu karena kemunculannya yang tiba-tiba didepan saya.
Begini pertanyaannya, dari dua pasang calon (paslon) presiden dan wakil presiden yang tadi malam (Kamis, 17 Januari 2017) telah melakukan debat episode pertama, manakah menurut bapak yang layak jadi Presiden Indonesia?Â
Wah, pertanyaan sederhana namun sulit untuk dijawab. Dan sejenak saya pun diam, seolah-olah sedang berpikir keras untuk mendapatkan jawabannya.
Lalu saya sendiri mulai penasaran dengan soal itu, hingga hendak mempertanyakan kembali, mengapa itu yang Anda tanyakan? Namun sebelum sampai kesana, saya coba-coba kaitkan antara peristiwa debat tadi malam dengan kondisi terkini. Kebetulan ditangan seseorang tersebut ada surat kabar lokal yang saya lihat judul beritanya kelihatan sedikit tendensius dan menjagokan paslon tertentu.
Lantas saya pun mencoba memecah suasana agak deadlock itu dengan mencoba untuk melakukan semacam investigasi atas rasa penasaran saya tadi. Kemudian saya pun mengajukan pertanyaan balik. Kalau menurut bapak (panggilan saya kepada seseorang tersebut) sendiri diantara mereka siapa yang layak dipilih menjadi Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024?
Ia pun terlihat terkejut dengan pertanyaan balik. Namun bedanya dengan saya, ia langsung bisa memberikan jawabannya. "kalau menurut saya, kedua pasang calon tersebut tidak layak untuk dipilih sebagai Presiden Indonesia". Begitu katanya.
Lho, tentu semakin membuat saya penasaran. Karena saya tidak menyangka jika jawaban tersebut begitu deras dan lancar saja meluncur. Padahal ia bukanlah seorang politisi dari sebuah partai atau punya pengalaman sebagai pengamat politik. Tapi kok begitu tegas pernyataannya. Dan dalam hati kecil saya pun setuju dengan penilaiannya. Rasanya jawaban yang ia berikan sangat tepat dan mendekati benar.
Lalu, saya lanjutkan investigasi dengan memanfaatkan informan tersebut. Kali ini pertanyaan yang saya ajukan mengarah pada alasan dibalik jawaban sang narasumber. "Mengapa bapak begitu optimis mengatakan mereka tidak layak?, padahal Jokowi itu Presiden Indonesia saat ini". Begitu pertanyaan kedua saya.
Nah kali ini ia mulai grogi dan kelihatan agak sedikit bingung. Dugaan saya, ia tidak memiliki jawaban yang tegas seperti halnya jawaban pertama tadi. Sambil sabar menunggu, lalu pelan-pelan ia mulai memberikan jawaban. Begini pak "Jokowi memang presiden saat ini. Akan tetapi ia hanya memiliki keberuntungan saja pada pilpres lalu sehingga terpilih." Â Katanya.
"Pak Jokowi secara kapasitas ia kurang mumpuni. Memang beliau memiliki pengalaman dalam pemerintahan tetapi itu tidak cukup. Jika pada level Wali Kota barangkali masih bolehlah. Untuk level presiden rasanya perlu diganti". Ujar sang infoman melanjutkan.
Dari dua jawaban itu saya mulai menganalisa kira-kira apa yang sesungguhnya dimaksud dan dorongan ia memberikan respon macam itu. Diantara variabel yang ingin saya gali terutama ditautkan dengan debat capres edisi perdana yang telah berlangsung.
Dari berbagai sumber yang berhasil saya himpun, banyak pendapat publik yang menyimpulkan dan menggaris-bawahi kalau penampilan dua paslon memang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Argumentasi mereka didasari pada fakta bahwa debat tadi malam tidak memuaskan publik.
Ketidakpuasan tersebut terutama publik mengkaitkannya dengan kemampuan paslon dalam menjawab setiap soal debat dengan kecerdasan akademis. Terlihat ada paslon yang selalu melihat contekan saat memberikan jawaban dari moderator atau paslon sebelahnya. Gaya ini tidak memberikan keyakinan maksimal bagi publik untuk mereka nyatakan bagus. Justru sebaliknya, mereka berpendapat itu bukan model presiden berkelas.
Ditambah lagi dengan kemampuan mengelola emosional yang terlihat lemah. Paslon sering menanggapi semua hal dengan tensi emosi yang tidak nyaman dilihat oleh publik, baik yang di studio maupun yang menonton di rumah. Paslon seperti menyalurkan rasa marahnya ketika menanggapi atau saat menjawab.
Sehingga tidak salah jika masyarakat dan netizen mengatakan debat Capres-Cawapres 2019 garing, kering, dan tidak berisi. Saya sendiri hampir setuju dengan pendapat masyarakat. Sampai-sampai debat ini dianggap hanya sebagai formalitas saja dan bukan sesuatu yang sangat subtansial.
Berbagai premis yang ada memang seperti puzzle, yang nanti akan menjadi satu kesatuan yang utuh untuk melihat kedua paslon yang ada. Ironinya dari sekarang pun publik sudah yakin untuk mengatakan bahwa Indonesia sedang mengalami krisis politisi dengan kualitas level nasional apalagi tingkat dunia.
Pandangan sebagian masyarakat seperti itu tentu sah-sah saja atau boleh-boleh saja sabagai sebuah perspektif. Tidak ada yang salah, namun sudut pandang demikian juga bukan tanpa dasar.Â
Sehingga para politisi tidak boleh meremehkan pendapat publik meskipun mereka tidak pernah menjadi pengurus partai politik atau menjadi pengamat politik. Justru sebagai rakyat, mereka telah merasakan sendiri buah dari kebijakan para politisi baik mereka sebagai legislatif maupun eksekutif.
Dari pengalaman hidup itulah lalu membawa mereka (rakyat) mampu melihat sosok presiden masa depan yang benar-benar menjadi kebutuhan bangsa ini. Sayangnya kedua paslon yang ada saat ini, tidak begitu sempurna dimata publik. Terlepas dari persoalan terpaksa memilih karena tidak ada pilihan lain.
Sesungguhnya rakyat menginginkan calon presiden yang memiliki visi besar untuk bangsa ini, berpihak pada rakyat kecil, jujur, dan amanah dalam arti memenuhi janjinya, dan tidak plin plan dalam membuat kebijakan. Sedangkan dari sisi intelektualitas, sosok calon presiden yang diinginkan adalah orang yang cerdas, kapasitasnya sejajar dengan para pemimpin dunia.
Begitulah analisis sederhana saya dari jawaban seseorang yang saya jumpai disebuah warung kopi pinggir kota dengan pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan. Namun toh akhirnya saya pun tidak dapat menjawab pertanyaannya.Â
Biarlah publik sendiri yang mencari jawaban atas apa yang mereka ingin ketahui. Lagi pula saat ini begitu banyak referensi yang dapat mereka gunakan dalam membuat keputusan pilihan pada pileg dan pilpres mendatang.
Yang pasti, salah satu dari paslon yang ada, suka tidak suka akan terpilih menjadi presiden dan wakil presiden Indonesia periode 2019-2024. Dengan segala kekurangan dan kelebihan yang mereka miliki dan itulah lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H