Selain Thailand dan Filipina, ternyata Indonesia termasuk salah satu negara yang bertengger di ranking teratas dalam omzet prostitusi. Perputaran uang di sektor Prostitusi di dunia mencapai Rp 2.697 triliun (kurs: Rp 14.500/dolar AS).
Jumlah putaran rupiah yang sangat fantastis itu dilaporkan oleh Havocscope, lembaga peneliti pasar gelap di dunia, termasuk prostitusi seperti dilansir oleh detiknew.com, Senin (7/1/2019).
Havocscope memasukkan Indonesia berada di antara 24 negara yang ada di daftar Havocscope. Menurut laporan ini, perputaran uang di dunia prostitusi di Indonesia mencapai US$ 2,25 miliar atau setara Rp 32 triliun (pada kurs Rp 14.500), luar biasa.
Terlepas dari data tersebut benar atau salah, valid atau tidak valid. Yang pasti secara ekonomi prostitusi ternyata memiliki potensi yang sangat besar. Dengan putaran uang 32 triliun rupiah per tahun tentu sangat menarik dari sisi bisnis.
Dari data diatas jelas terlihat bahwa permintaan terhadap layanan esek-esek yang bernama prostitusi sangat tinggi. Barangkali pertumbuhan permintaan bisa mencapai 500 persen setiap tahunnya. Apalagi jika dikelola dengan konsep bisnis yang modern, pasti omset yang dihasilkan dapat mengalahkan bisnis kelapa sawit yang kini anjlok kedasar laut.
Saya rasa praktik prostitusi di Indonesia perlu ditelusuri secara mendalam. Perlu ada lembaga khusus yang diberikan tugas untuk melakukan penelitian secara lengkap. Mulai dari sisi suplai, proses, hingga pasar. Lembaga tersebut dapat mengkaji secara ekonomi berapa tingkat putaran uang di bidang ini.
Mencuatnya isu prostitusi beberapa hari ini, telah mengingatkan masyarakat kembali soal gang Dolly di Surabaya sebelum akhirnya ditutup. Dimana Dolly merupakan salah satu lokalisasi terbesar di Surabaya bahkan di Indonesia yang dikenal dengan pasar jajanan seks yang ramai dikunjungi oleh pembeli layanan seks.
Menurut Direktur Eksekutif Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Inang Warsito mengatakan, lokalisasi prostitusi tumbuh karena adanya permintaan. Pada umumnya pasar prostitusi adalah para laki-laki hidung belang dari berbagai kalangan profesi dan tingkat pendapatan.
Diperkirakan ada 10 juta laki-laki pembeli seks dan 60 persennya sudah menikah. Mereka adalah laki-laki berusia muda yang bekerja jauh dari rumah. Di luar jam kerja mereka mencari penyaluran seks.
Dolly pernah menjadi industri seks terkenal di Surabaya. Transaksi bisnis berjalan normal, seolah-olah seperti layaknya bisnis legal pada umumnya. Mulai dari pekerja seks komersil (PSK), penyedia tempat, agen atau muncikari, bekerja secara profesional untuk menghasilkan pendapatan (revenue) yang menggiurkan.
Meskipun sebenarnya transaksi seksual adalah transaksi yang tidak humanis. Bahkan PSK yang dijual merupakan hasil perdagangan manusia (human trafficking). Para muncikari merekrut anak-anak yang sudah rusak, sebagian diiming-iming uang banyak agar mereka mau menjadi pelayan nafsu seks.
Memang persoalan prostitusi muncul disebabkan oleh faktor kebutuhan seks dan ekonomi. Pada umumnya PSK pertama kali terjerumus karena ingin melepaskan diri himpitan ekonomi. Lalu setelah melakukannya, ia pun merasa enak dan kecanduan. Sangat sedikit diantara mereka yang sengaja mencari kepuasan seks.
Hal tersebut membuktikan bahwa, industri seksual memang tidak manusiawi. Mencari rezeki dengan cara yang tidak membuat pelakunya menambah terhormat. Bukan hanya pelaku tetapi juga pembeli layanan tersebut. Maka meskipun secara bisnis dan ekonomi putaran uangnya bisa triliunan rupiah, yang jelas Indonesia tidak boleh melegalkan bisnis gelap tersebut.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H