Pemerintah pusat tidak bisa menganggap masalah Papua ini sebagai persoalan sepele dan sederhana. Papua memerlukan sebuah pendekatan yang khas dalam penyelesaiannya. Mengedepankan pendekatan militer dan kekerasan, maka akibatnya akan seperti terjadi di Aceh selama 46 tahun lalu. Jangan dikira bahwa TNI/Polri dapat dengan mudah menyelesaikan OPM di Papua.
Merujuk pada pendapat Koordinator Kontras, Yati Andriani yang menyebut, peristiwa 1 Desember 2018 Papua, menunjukkan bahwa persoalan di Papua tidak hanya sebatas persoalan ekonomi dan pembangunan.Â
Mungkin saja peristiwa penembakan tersebut ada kaitannya dengan ideologi dan politik. Jika demikian, maka masalah kekerasan dengan senjata atau gangguan keamanan hanyalah satu cara untuk mewujudkan cita-cita ideologi dan politik mereka.
Coba perhatikan bagaimana lantangnya Mantan komisioner Komisi Nasional untuk Hak Azasi Manusia (Komnas HAM), Natalius Pigai, putra asli Papua mengkritik pemerintah dengan mengatakan bahwa banyak janji Presiden Joko Widodo yang belum terealisasi hingga tahun keempat ini, misalnya di Papua, dari 39 janji presiden hanya dua janji yang terealisasi.Â
Janji Jokowi terkait pengurangan kemiskinan dan jaminan hidup belum terealisasi. Bahkan tingkat kematian ibu dan anak khususnya di Papua masih sangat tinggi.
Perlu diingat oleh pemerintah siapapun yang berkuasa bahwa, diantara banyak dorongan GAM melakukan "teguran" keras kepada pemerintah Indonesia adalah karena ada janji Soekarno dimasanya yang tidak direalisasikan bagi rakyat Aceh, bahkan rakyat Aceh mengganggap hal itu sebagai pengkhianatan pemerintah orde lama terhadap Aceh yang sebelumnya dengan sangat tulus Aceh membantu Indonesia mencapai kemerdekaan.
Ditambah lagi dengan kebijakan pembekuan status pelabuhan bebas Sabang oleh Soeharto. Aceh yang saat itu begitu maju dan makmur secara ekonomi melalui kemajuan perdagangan di kawasan bebas Sabang tiba-tiba seperti kota mati karena akibat pencabutan status tersebut.Â
Lalu pemerintah mengalihkan pelabuhan besar ke Batam dan Sumatera Utara. Maka semakin terlukalah hati masyarakat Aceh karena kebijakan tidak adil pemerintah orde baru.
Saya rasa Presiden Republik Indonesia bisa memandang soal Papua ini dengan pikiran yang jernih dan terbuka. Bahkan bukan hanya melibatkan logika dan hitung-hitungan angka namun ikutkan pula perasaan bapak untuk merasakan dan berempati dengan nasib masyarakat disana.
Adapun otonomi khusus dan diiringi dengan sejumlah anggaran yang dikucurkan ke tanah Papua tentu sangat bagus. Akan tetapi itu hanya strategi jangka pendek.Â
Lalu bagaimana setelah dana otsus berakhir? Terlalu banyak janji yang tidak ditepati akan menjadi 'api dalam sekam' yang dapat membakar kekuasaan pemerintah pusat dan menciptakan embrio pemberontakan rakyat.