Memang saat ini dosen di tanah air sedang semangat-semangatnya menulis jurnal internasional terindeks bukan hanya di Scopus namun juga lainnya. Target Scopus menjadi tren dosen Indonesia dalam memilih jurnal ilmiahnya. Sehingga ada istilah warung kopi yang mengatakan dosen mabuk Scopus.
Mengapa harus Scopus? Ini tentu ada kaitannya dengan kebijakan Kemenristek Dikti yang menetapkan jurnal Internasional bereputasi terindeks Scopuslah yang mendapatkan KUM lebih tinggi dalam mengurus kepangkatan dosen. Jika suatu saat Kemenristek Dikti mengubah jurnal internasional yang, maka itulah yang menjadi target bagi dosen.
Agar tulisan kita dimuat di jurnal internasional bereputasi atau terindeks Scopus memang bukanlah perkara gampang, tidak semudah yang dibayangkan meskipun semua ada jalan keluarnya. Semua membutuhkan proses waktu dan biaya yang tidak sedikit.Â
Apalagi kalau gunakan jasa editor dan translete, harus konsultasi guru besar atau pembimbing, menggunakan jasa reviewer dan validator ahli, mendeseminasikan gagasan di seminar internasional dan konferensi, dan lain sebagainya.
Belum lagi menunggu direview oleh reviewer publisher jurnal internasional tersebut yang terbilang cukup lama, pengalaman saya saat ketika pertama kali diajak oleh dosen saya Dr. Shabri A. Madjid, M.Ec menulis jurnal internasional terindeks Scopus sampai naskah tersebut kami kirimkan, lalu menunggu hingga hampir satu tahun baru terbit, setelah melewati beberapa revisi hasil koreksi reviewer mereka.
Jadi memang tidak mudah. Memang ada juga dosen yang lain, mengirimkan jurnal mereka ke jurnal internasional yang katanya terindeks Scopus. Setelah kirim naskah dan mengirimkan uang dalam jumlah puluhan juta rupiah, ternyata tidak kunjung terbit hingga hampir 2 tahun. Jika kasusnya seperti ini maka itulah yang disebut termakan oleh jurnal internasional abal-abal.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H