Meskipun tidak jauh berbeda antara kuah beulangong khas masing-masing daerah, namun cita rasanya tidak sama. Masakan Pidie lebih dominan cabe merah dalam gulainya sedangkan kuah beulangong khas Aceh Besar lebih sedikit cabe merah namun menggunakan kelapa giling lebih kental.
Kuah beulangong memperat silaturrahmi
Kira-kira pukul 12.30 Wib siang, kuah beulangong pun sudah siap dibagikan kepada warga. Biasanya bilal masjid atau meunasah memberikan pengumuman melalui pengeras suara kepada warganya agar segera mengambil jatah kuah di dapur umum.
Di Gampong Tanjung Selamat sendiri ada sekitar 6 buah kuali besar kuah beulangong yang dibagikan kepada seluruh warga yang ikut meuripee (patungan) infak untuk membeli Sapi maupun Kambing.Â
Terdapat sekitar 800 Kepala Keluarga atau hampir 2.000 warga yang menikmati lezatnya kuah beulangong kenduri maulid.
Setelah pengumuman disampaikan, seketika warga pun mulai berdatangan ke tempat yang telah ditentukan. Disana petugas yang ditunjuk sudah siap menuangkan kuah beulangong ke dalam wadah yang dibawa masing-masing warga dari rumah.
Pendistribusian ini dilakukan dengan koordinasi oleh kepala kampung atau geusyik. Disamping itu pula ada tokoh-tokoh tetua kampung dan tokoh pemuda yang memang menjadi tim inti pelaksanaan acara maulid.Â
Mekanisme pembagian ditetapkan berdasarkan aturan hasil musyawarah yang telah dilakukan pada saat awal rencana kegiatan maulid mau dilaksanakan.
Dari 6-8 kuali besar kuah beulangong yang telah masak tidak semua dibagikan ke warga. Biasanya disisakan satu belanga besar untuk lauk para tamu undangan saat makan bersama dilakukan pada sore hari (setelah ashar).
Inilah saat-saat dimana para warga saling bertemu satu sama lain yang selama ini jarang jumpa. Kuah beulangong telah menjadi jembatan silaturrahmi antar warga.Â
Saling bertemu dan makan bersama menikmati kenduri maulid. Begitulah cara masyarakat Aceh memaknai peringatan hari lahir Rasullullah Saw.(*)