Hampir dua bulan lebih sejak masa kempanye kontestasi pemilu presiden dan wakil presiden periode 2019-2024 dimulai, situasi politik di tanah air masih terkendali meskipun tensinya meningkat tajam. Suasana panas menjelang masa pencoblosan yang akan berlangsung pada April 2019 tahun depan sebagai penentuan kemenangan, menjadi pendorong terjadinya persaingan ketat antar kubu.
Saling ngotot untuk terpilih menjadi the next president Republik Indonesia terlihat jelas sepanjang masa kempanye yang kini sedang berlangsung. Masing-masing kubu dan tim nasional kandidat sebagai mesin pemenangan pasangan yang diusung, Â berupaya keras mengeluarkan jurus-jurus jitu untuk meraih dukungan rakyat.
Berbagai macam taktik dan strategi pun dijalankan oleh tim pemenangan. Serangan-serangan terus ditingkatkan untuk melemahkan lawan politiknya. Mulai dari serangan yang sifatnya soft sampai serangan keras kerap dilakukan oleh para capres/cawapres.
Situasi saling serang tersebut memang bukanlah hal aneh dalam dunia politik. Apalagi dalam konteks kontestasi, upaya meraih pengaruh yang lebih luas dari pemilih menjadi salah satu target para calon. Untuk mewujudkan tujuan tersebut strategi pun dilaksanakan dengan sistematis dan terukur.
Salah satu strategi yang sering digunakan dalam dunia politik praktis adalah komunikasi. Komunikasi menjadi alat utama dan sangat penting dalam mempengaruhi publik. Melalui pengembangan konten dan teknik yang tepat, komunikasi menjadi lebih efektif dan berdampak.
Meskipun strategi komunikasi massa besar pengaruhnya terhadap persepsi dan pandangan publik, namun politisi sering kali abai terhadap cara berkomunikasi yang mereka jalankan serta dampaknya. Lihatlah bagaimana elit politik Indonesia berkomunikasi. Pendapat saya selain gayanya yang sering tidak menarik, terlebih isi pembicaraannya lebih banyak bualan alias kosong gagasan.
Ntah itu disengaja atau tidak, yang jelas hari-hari publik disuguhkan dengan berbagai diksi dan narasi tanpa makna dari elit politisi. Sekaliber orang nomor satu dinegeri ini pun ikut latah melemparkan diksi dan narasi nyinyir kepada rakyatnya. Semestinya ia bisa menempatkan diri pada posisi suri tauladan bangsa.
***
Menarik acara yang saya nonton tadi malam (Rabu, 14/11/2018) pukul 21:00 Wib di KompasTV, program Satu Meja yang dipandu oleh Budiman, dalam pengantarnya hos handal itu mengatakan hampir genap dua bulan masa kampanye Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden untuk Pemilu 2019 bergulir.
Riuh rendah pertarungan politik pun terus mengisi ruang publik. Seakan miskin narasi, para elit justru berlomba melontarkan beragam diksi. Dari mulai istilah cebong, kampret, tampang boyolali, genderuwo, "buta-budek", hingga politik cabai.
Meski menuai kontroversi, nyatanya kehadiran diksi politik justru menjadi perhatian publik. Sejatinya, ajang kontestasi adalah panggung adu argumentasi berbasis ide dan gagasan, bukan justru membangun narasi berlatar emosi.