Di negara-negara industri maju yang sudah bebas buta huruf, pelbagai media berita seperti koran, radio, dan telivisi, merupakan wahana utama penyebaran informasi dari berbagai peristiwa dengan beragam sumber.
 Banyak majalah dan surat kabar yang demikian populer sehingga mencapai cakupan nasional bahkan internasional. Namun di negara-negara yang memiliki banyak kelompok etnik dan bahasa daerah, daya jangkau dari masing-masing media relatif terbatas, apalagi belum semua semua penduduknya bebas buta huruf. Di negara-negara seperti ini tentu popularitas media tergolong rendah.
Inggris, Jerman, Amerika Serikat, dan berbagai negara maju lainnya beruntung telah memiliki berbagai macam terbitan yang berskala luas. Bahkan negara-negara tersebut memiliki koran-koran yang sampai ke para pembacanya di seluruh penjuru negara dalam waktu yang relatif sama di pagi hari.
Bagaimana dengan Indonesia?
Sebagai negara yang sedang menuju kemajuan tentu saja Indonesia tidak seperti di Inggris, Jerman, dan AS. Karakteristik media di negara berkembang sebagaimana halnya Indonesia masih membutuhkan proses mencapai tahap kedewasaan.
Apalagi dengan jumlah masyarakat yang masih belum melek membaca rendah. Atau tingkat buta huruf yang masih tinggi. Selain itu budaya membaca masyarakat Indonesia juga belum begitu menggembirakan, rata-rata waktu yang dihabiskan untuk membaca masih di bawah 2 jam per hari.
Dalam hal daya baca juga masih perlu terus ditingkatkan. Indikasi ini tercermin pada sejumlah pustaka baik di lembaga pendidikan maupun pustaka umum, sangat sedikit yang meminjam buku-buku yang tebal dan berat. Masyarakat tidak antusias membaca buku-buku yang membutuhkan waktu membaca lebih lama.
Kondisi tersebut di atas mempengaruhi perkembangan media pertama di Indonesia. Bagaimana pun antara media dan masyarakat atau para pembaca saling memiliki hubungan dan saling mempengaruhi satu sama lainnya.
Peran media
Tidak dapat dipungkiri bahwa media baik telivisi, media online, maupun media cetak seperti koran, majalah, jurnal, dan lain sebagainya mempunyai peran sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan manusia.
Negara-negara yang sangat mengandalkan perekonomian di bidang perdagangan internasional semakin lama semakin tergantung pada media. Karena berbagai informasi akan diperoleh dari pemberitaan media tersebut.
Bahkan para pebisnis menggunakan media untuk memajukan usaha-usaha mereka dengan fasilitasi advertorial, maupun kegiatan-kegiatan kehumasan atau public relation. Sehingga peran media menjadi sangat penting.
Dalam kehidupan politik media juga menjadi salah satu kunci untuk meraih posisi kekuasaan. Dan di banyak negara para politisi selalu memanfaatkan media sebagai corong politik mereka. Hingga tak jarang kita temui para politisi tersebut juga sekaligus pemilik media.
Di Indonesia bisa dilihat beberapa media dimiliki oleh politisi. Posisi mereka tergolong tinggi baik di struktur partai maupun dalam menajemen perusahaan media yang ia pegang.
Akibatnya fungsi media menjadi berubah. Yang seharusnya adalah sebagai alat penyiaran publik dan menyampaikan informasi bagi masyarakat. Namun menjadi alat yang bersifat eksklusif dan menyuarakan kepentingan pribadi dan kelompoknya saja. Media menjadi tidak lagi berimbang dalam pemberitaan. Bahkan sebaliknya, telah menjadi alat propaganda untuk memukul lawan politiknya.
Stepi Anriani, dosen  STIN dan pengamat Kamnas mengatakan bahwa media pers termasuk televisi dalam dinamika pilpres 2019 di Indonesia pada posisi memihak. Netralitas media sangat dipertanyakan. Menurut Stepi, fenomena itu lahir dan tercipta karena mereka pemilik media dan sekaligus juga aktor politik. Disisi lain, mereka memadukan kepentingan politik dan bisnis.
Apa yang dikatakan oleh Stepi Anriani memang tidak salah. Kita bisa lihat sendiri secara faktual. Beberapa stasuin televisi swasta tanah air dalam siaran dan kontennya sarat kepentingan pemilik dan politisi yang mereka dukung. Ini bukti bahwa media kita tidak lagi netral.
Tidak lagi kritis
Karena media sangat memihak secara subjektif, maka membuat ia tidak lagi memiliki daya kritis. Media cenderung tidak objektif dalam pemberitaan maupun sudut pandang. Media hanya akan mengangkat isu-isu yang menguntungkan kelompok mereka saja dan menutup diri jika hal itu merugikan.
Termasuk di dalamnya kebebasan pers mulai tercabut dengan sendirinya. Publik tidak lagi memiliki ruang untuk menyampaikan pikiran kritis mereka melalui media besar milik politisi. Karena jika masyarakat bersuara tidak sejalan dengan kemauan pihak berkepentingan maka itu bisa menjadi masalah bagi nara sumber.
Jika kebebasan pers dan daya kritis media sudah hilang, justru yang terjadi kemudian adalah terjadinya pembodohan publik secara massal. Media berubah bukan lagi menjadi alat pencerahan bagi publik. Namun pencipta hoaks dan berita sesat dan menyesatkan.
Semoga di negara ini, media tidak dijadikan sebagai alat untuk membungkam pola pikir kritis masyarakat. Juga tidak melulu menyajikan pesan-pesan pencitraan tanpa makna subtansial. Marilah kita belajar dari negara-negara maju lainnya yang menempatkan media sebagai alat strategis nasional yang berperan secara lebih luas untuk kepentingan negara, bukan untuk kepentingan segelintir kelompok yang haus kekuasaan.
Kepada masyarakat teruslah mengembangkan cara berpikir kritis, tidak perlu terjebak pada strategi pencitraan politik yang hanya mempertontonkan drama yang didesain sedemikian rupa untuk mengelabui fakta-fakta yang benar.
Bagi saya hanya satu kalimat, tidak pantas mendukung media yang kehilangan daya kritis. Media yang tidak kritis sama saja seperti mayat. (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI