Tepatnya hari ini, 16 Oktober setiap tahunnya, memperingati hari pangan sedunia. Tanggal ketika Organisasi Pangan dan Pertanian, lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa, didirikan pada tahun 1945. Hari Pangan Sedunia (HPS) didirikan oleh negara-negara anggota FAO pada konferensi umum ke-20 bulan November 1979.
Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian Kuntoro Boga Andri mengatakan, peringatan HPS tahun ini diharapkan dapat menjadi momentum strategis memperkenalkan pembangunan sektor pertanian kepada dunia. (Kompas.com, 26/8/2018).
Pembangunan sektor pertanian meliputi lahan, sumber air dan saluran irigasi, waduk, sarana prasarana pertanian, saprodi, budaya bertani, sampai kepada aspek yang lebih krusial yaitu petani itu sendiri. Jadi ketika kita bicara soal pertanian di Indonesia, maka salah satu unsur yang harus menjadi perhatian adalah nasib petani.
Tidak dapat dipungkiri bahwa nasib petani Indonesia jika diukur dengan kesejahteraan secara ekonomi belumlah menggembirakan. Masih terdapat banyak persoalan yang melilit petani. Bukan hanya dalam kaitannya dengan kapasitas dalam berproduksi. Namun juga dalam aspek non teknis produksi.
Termasuk menyangkut kebijakan pemerintah dalam bidang pertanian. Petani merasa bahwa pemerintah terutama kementerian pertanian belum sepenuhnya mendukung mereka dalam banyak hal. Dari sisi hulu, dukungan pemerintah terhadap penyediaan saprodi kurang memadai untuk menutupi seluruh kebutuhan petani. Misalnya jumlah produksi pupuk bersubsidi. Di beberapa daerah, petani masih kesulitan mendapatkan pupuk yang harga lebih rendah. Sehingga petani terpaksa membeli pupuk dengan harga pasar. Padahal mereka adalah petani miskin penggarap lahan.
Oleh karena itu bagaimana nasib petani bisa menjadi lebih baik. Jika untuk berproduksi saja masih kesulitan. Petani seperti bertarung sendirian. Bagaikan pemain matador yang melawan banteng seorang diri. Nasib mereka seperti berada diujung tanduk. Antara hidup dan mati. Maka tidak heran jika kemudian, anak-anak muda Indonesia enggan menjadi petani. Bahkan yang sudah menjadi petani pun, sekarang ini lebih memilih pekerjaan yang lain.
Celakanya kondisi seperti ini seakan-akan sangat dinikmati oleh berbagai pihak. Seperti tidak ada kekuatiran sedikit pun bahwa satu saat nanti Indonesia akan mengalami krisis regenerasi petani dan pertanian. Dan situasi itu kini mulai tampak gejalanya. Dimana produksi pertanian Indonesia mengalami penurunan. Salah satu penyebabnya adalah minat masyarakat untuk berprofesi sebagai petani mengalami penurunan.
Maka pada peringatan hari pangan sedunia kali ini, hendaknya bukan hanya dilakukan untuk sekedar serimonial saja. Apalagi untuk gagah-gagahan tanpa makna. Perlu dilakukan secara serius yant menyentuh pada subtansi, pokok persoalan sektor pertanian saat ini dan ancaman masa depan.
Buatlah sebuah kebijakan jangka panjang yang membela kepentingan para petani dalam upaya mensejahterakan mereka. Sehingga petani Indonesia tidak selalu identik dengan kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan stigma negatif lainnya. Padahal pejabat makan nasi, presiden, anggota DPR, semuanya masih makan nasi. Lalu mengapa nasi yang begitu penting dan dihasilkan oleh tangan para petani, tetapi justru kita tidak membela dan memperbaiki kehidupan mereka, sungguh sangat naif.
Apalagi belakangan gonjang-ganjing impor beras cukup menjadi bahan perdebatan yang sengit antara para pihak. Saling tuding dan klaim sudah menjadi alat pembodohan bagi masyarakat terutama petani. Satu pihak mengatakan tidak impor namun yang lainnya bilang impor terbatas. Kebijakan semacam ini justru membuat semangat petani untuk meningkatkan produksi jadi menurun.
Sebagai orang awam dan sebagai anak petani saya sangat berharap kepada pemerintah, dan pemangku kepentingan tolonglah perhatikan kesejahteraan petani. Apalagi dengan kondisi cuaca dan alam yang tidak menentukan ini membuat petani sering gagal panen. Sedangkan biaya yang sudah dikeluarkan begitu banyak. Namun tidak memberikan hasil yang maksimal bahkan merugi.
Hentikanlah melihat petani sebagai masyarakat marginal dan hentikan pula memarginalkan mereka dengan kebijakan yang tidak memberdayakan petani. Saya berharap sekali kaum petani Indonesia juga bisa menikmati keuntungan yang baik dari hasil usaha tani yang mereka lakukan.
Mungkin sekian saja dan terima kasih. Salam***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H