Saat itulah aku melihat, batang pohon asam yang sudah berusia puluhan tahun, yang kata orang batangnya sangat kuat. Bergoyang bak pohon pisang yang sedang diayun oleh seekor monyet. Ya, hampir-hampir aku melihat bahwa pohon itu seperti mau tercabut dari akarnya. Tidak aku menyangka pohon asam yang dulu begitu gagah, tegak berdiri. Ternyata pagi itu pohon itu tidak ada apa-apanya. Baru digoyang gempa 8,9 SR pohon mulai terlihat lemah bagaikan genjer. Sungguh kekuatan Tuhan diatas segala-galanya.
Detik demi detik gempa mulai ku hitung. Sampai beberapa detik bahkan sudah terhitung menit, gempa pun belum berhenti. Sedangkan kami sudah ada yang mulai mual-mual bahkan ada yang sudah muntah. Hampir satu menit gempa berjalan. Rumah-rumah besar bertingkat mulai dikuatirkan akan roboh dan ambrul.
Alhamdulillah meskipun terdapat banyak rumah bak menara gading dilingkungan tempat tinggal ku, namun tidak ada yang runtuh. Tetapi suara gemuruh dan pecahan piring, gelas, lemari perabot semakin jelas terdengar sampai keluar jalan, di mana kami berkumpul di jalan depan rumah.
Kraaang,..kring,... Suara piring berjatuhan. Ditengah kepanikan yang itu tidak ada satupun yang bersuara. Hanya yang terdengar adalah setiap kami mengucapkan asma dan nama-nama Allah yang Maha Suci. Berzikir, tahmid dengan berharap gempa segera berhenti.
Lalu, tepat pukul 08:00 wib gempa pun perlahan reda dan melemah kekuatannya.
Dalam detik sunyi bagaikan denyut nadi bumi ini berhenti. Perlahan dengan langkah gontai. Aku pun mendekat pada istriku, yang memang sejak awal gempa tidak jauh-jauh. Kemudian aku pun mencoba menelisik apa yang dirasakannya barusan. Ingin memastikan tentang sebesar apa sisa keberaniannya yang masih ada. Dan ia menjawab, "tidak apa-apa papa".
Dalam kondisi yang belum terkendali sepenuhnya itu. Masing-masing mulai memberanikan diri untuk masuk ke rumah masing-masing. Tentu saja untuk melihat apa yang terjadi di dalam rumah saat gempa terjadi barusan. Namun sahabat, tahukah kalian apa yang terjadi berikutnya?
Aku melihat begitu banyak orang yang berlarian di sudut jalan yang lain. Orang-orang yang memacu langkahnya dengan cepat tersebut sambil meneriakkan "air laut naik, air laut naik, air laut naik". Sekali lagi teriakan itu tidak terbersit sedikit juga bahwa benar air laut naik kedaratan, apalagi sampai 3 kilometer jaraknya dari bibir pantai.
Sebab itu sulit dipercaya, maka diantara kami tidak satupun yang mengambil langkah-langkah untuk lari menjauh. Sampai akhirnya, apa yang diteriakkan itu ternyata benar adanya. Saat itulah aku baru tersadar bahwa gempa dahsyat 8,9 SR turut menggerakkan air laut untuk menyapu bumi Aceh Darussalam.
Satu persatu mayat dan jenazah mulai terlihat diantara puing-puing bangunan reruntuhan dan semak-semak. Bayangkan, dengan ketinggian gelombang air laut mencapai puluhan meter yang mampu menenggelamkan ratusan ribu rumah beserta penghuninya baru saja terjadi. Maka akibatnya adalah begitu banyak korban jiwa berjatuhan. Anak-anak, bayi, orang tua, dan siapa saja yang nahas, telah menjadi sosok tanpa nyawa. Tubuhnya hitam terbalut lumpur lautan dalam, aromanya menyengat menusuk hitung. Bangkai-bangkai manusia tergeletak begitu saja bagaikan buah mangga yang berjatuhan di bawah pohonnya.
Itulah saat aku dan istri ku beserta putri kami yang masih berusia dua tahun berlari untuk mencari tempat yang lebih aman. Sasaran kami waktu itu adalah sebuah masjid dilingkungan kampus di Darussalam. Masjid berlantai dua tersebut kami rasa cocok sebagai tempat berlindung. Dengan bayangan, jika air laut naik maka kami pun bisa naik ke lantai dua masjid.