Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar dari Perempuan Pencari Tiram

21 Agustus 2018   07:21 Diperbarui: 21 Agustus 2018   08:57 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Memang nasib baik tidak selalu berpihak kepadanya. Jika air laut pasang, maka ia harus lebih dalam menyelam. Seolah sedalam beban kesusahan yang dideritanya".

Aminah tak berkeluh kesah, meski tubuhnya terasa kedinginan. Sesekali perempuan berusia 51 tahun itu beristirahat, sambil menghangatkan dirinya untuk mengusir gemetaran tubuhnya yang kian terasa. Sejenak Aminah yang mulai direnggut usia tersebut berdiri dengan pandangan kosong, seakan tidak nampak apapun dimatanya. 

Sejenak kemudian ibu dengan empat orang putranya yang masih kecil itu menjinjing karung yang ia gunakan untuk menampung tiram yang sudah didapatnya. Dia bangkit dari tempat jedanya sejenak menuju kembali ke muara sungai Lamnyong kawasan Darussalam Banda Aceh. 

Ia menuruni dengan jalan setapak, maklum karena bantaran sungai itu agak sedikit meninggi. Sambil menenteng sebilah pisau yang ia gunakan untuk mencongkel tiram yang menempel di dinding tembok sepanjang kaki jembatan Krueng Cut. 

Di tepi sungai itu, rupanya sekelompok pencari tiram yang lain telah lebih dulu ada. Setelah ia melihat kiri dan kanannya, Aminah pun bergabung dengan komunitas perempuan pencari tiram dari desa lainnya. 

Foto Koleksi: Ishak Mutiara
Foto Koleksi: Ishak Mutiara
Ia memang tidak mengenal semua perempuan tetangga desanya itu, ada beberapa yang ia tahu karena kebetulan mempunyai pekerjaan yang sama, mencari tiram di sungai dan muara. Di antara mereka beberapa masih ada yang berusia sedikit lebih muda. 

"Hari ini cuaca kurang baik untuk mencari tiram, air pasang sangat menyulitkan untuk menyelam lebih dalam, jadi tidak mendapatkan lebih banyak banyak". Begitu kata Aminah kepada saya waktu itu. 

Namun ia mengaku tetap harus bekerja walau kondisi cuaca sangat tidak menguntungkan bagi dirinya, "apalagi jika musim hujan, badan saya jadi kedinginan". Lanjut Aminah. 

Dengan sisa tenaga yang ia punya, Aminah terus berusaha mencongkel tiram yang menempel di dinding tembok, kadang-kadang tangannya berdarah, terluka terkena cangkang tiram yang sangat tajam itu. Namun ia tidak pernah merintih, tidak pula berkata perih. Bagi dirinya itu adalah hal biasa dan sudah resikonya.

Di sela-sela sembil membersihkan tiram yang berhasil ia dapatkan yang tidak seberapa itu, Aminah mengisahkan kondisi kehidupan keluarganya yang sederhana. "Suami saya hanya seorang pekerja serabutan, tidak ada pekerjaan tetap yang ia jalani dalam keseharian. Terkadang menarik becak, kadang pula jadi buruh bangunan di waktu lainnya." Aminah berkata-kata dengan suara berat, seperti ada rasa sesak yang dirasakannya.

Aminah adalah gambaran ketegaran hidup seorang ibu. Tiram-tiram yang berhasil ia kumpulkan adalah harapan bagi dirinya dan keluarga mereka. Jika nasibnya baik, Aminah mendapatkan lebih banyak tiram, sehingga saat dijual memperoleh uang yang dapat memenuhi kebutuhan keluarga. 

Biasanya setiap hari Aminah mendapatkan rezeki Rp 50.000 dari hasil kerja kerasnya. Dari uang yang diperolehnya itu ia gunakan untuk membeli sekilo beras, kebutuhan dapur, dan sedikit jajan bagi anak-anaknya yang masih duduk di bangku SD. Uang sebesar itu memang tidak cukup, namun Aminah tidak mau mengeluh.

Meski demikian, Aminah tak mau menyerah dengan beban berat hidup yang ia pikul. Baginya, akan terasa lebih berat jika dia tidak mampu menanggung beban hidupnya untuk menyekolahkan anak-anak demi masa depannya. 

Buktinya, sejak pagi hari ketika orang-orang sibuk berangkat ke kantornya, Aminah telah berada di tepian sungai menantang dinginnya air laut. "saya pergi dari rumah jam 07.00 Wib pagi setelah anak-anak berangkat ke sekolah, dan pulang sore hari menjelang petang." paparnya. 

Begitulah kerasnya kehidupan yang harus dijalani oleh Aminah, demi berjuang untuk masa depan anak-anaknya, ia rela merendam seharian di dalam air untuk mencari tiram yang dapat ia jual untuk mendapatkan sejumlah uang. 

Meskipun seluruh badannya sakit, terasa remuk sehabis bekerja. Namun profesinya itu tetap ia jalani dengan penuh kesabaran, semangat dan tidak berprasangka buruk kepada siapapun. Hebatnya lagi, Aminah tidak pernah mau menjadi pengemis dan peminta-minta. 

Bagi Aminah menjaga kehormatan adalah yang paling utama. Biar kita miskin, tetapi memiliki harga diri. Begitu semboyan hidup yang ia pegang. 

Semoga kisah ini ada manfaatnya. Salam

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun