Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Petani Aceh Semakin Tidak Sejahtera?

4 Agustus 2018   15:45 Diperbarui: 8 Agustus 2018   15:07 1538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai negara agraris yang memiliki lahan pertanian yang sangat luas semestinya mampu menjadi negara produsen produk-produk pertanian. Sehingga komoditas pangan dan produk pangan lainnya kebutuhan masyarakat tidak perlu diimpor. Bahkan sebaliknya, Indonesia mampu mengekspor.

Namun sayangnya sampai hari ini Indonesia masih melakukan impor untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Salah satu komoditas yang rajin diimpor oleh Indonesia adalah beras. Sangat ironi memang, negara agraris, memilki lahan pertanian yang luas, air dan curah hujan mencukupi, jumlah petaninya sangat banyak. Namun berasnya diimpor.

Salah satu penyebab terjadi impor beras dan beberapa jenis bahan pangan lainnya, menurut Siswono Yudo Husodo karena Indonesia tertinggal dalam kemampuan produksi dan harus memenuhinya dengan impor. (Kompas, 2/8/2018).

Disisi lain menurut Pak Sis (begitu akrab dipanggil) dalam tulisan opininya tersebut menukilkan bahwa kelas menengah kita tumbuh pesat, dari 45 juta orang pada tahun 1999 (25 persen penduduk) menjadi 170 juta orang atau 70 persen penduduk pada 2015 dan diperkirakan The Boston Consulting mencapai 141 juta orang pada 2020.

Dengan tingkat kesejahteraan dan pendidikan lebih tinggi, mereka menuntut pangan, pakaian dan perlengkapan sehari-hari dengan mutu yang tinggi dan sarana canggih yang belum bisa kita produksi sendiri, menjadi faktor pendorong impor barang konsumsi.

Dalam kondisi dan situasi tersebut pemerintah dihadapkan pada pilihan sulit, antara meningkatkan kesejahteraan petani dengan memaksimalkan pendapatan yang mereka terima dan melakukan impor dengan harga yang lebih rendah sekaligus memukul penghasilan petani.

Kenyataannya kini kesejahteraan petani Indonesia pada umumnya dan petani di Provinsi Aceh pada khusus sangat buruk. Indikator ini dapat dilihat pada indeks Nilai Tukar Petani (NTP) yang baru saja dirilis oleh Biro Pusat Statistik (BPS).

Nilai Tukar Petani (NTP) diperoleh dari perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani, merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat pertumbuhan kemampuan/daya beli petani.

NTP juga menunjukkan daya tukar (term of trade) dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi. Semakin tinggi NTP, semakin kuat pula tingkat daya beli petani.

Melalui NTP kita dapat melihat gambaran kemampuan petani dalam upaya memperoleh tingkat kesejahteraan mereka dalam usaha pertanian. Bahkan NTP mampu menjadi penjelas atas daya tukar produk-produk pertanian yang dihasilkan oleh petani dengan barang-barang lainya yang barangkali dihasilkan oleh industri manufaktur.

Berdasarkan laporan BPS Provinsi Aceh (1 Agustus 2018), hasil pemantauan harga-harga perdesaan beberapa daerah di Provinsi Aceh pada Juli 2018, dihasilkan NTP sebesar 94,00 atau mengalami penurunan indeks sebesar 0,88 persen. Hal ini disebabkan indeks yang diterima petani (It) menurun sebesar 0.07 persen, sedangkan indeks yang dibayar petani (Ib) meningkat sebesar  0,82 persen.

Penurunan NTP Provinsi Aceh sangat menkuatirkan, bagaimana tidak? Aceh yang dikenal sebagai basis pertanian bahkan digadang-gadang sebagai salah satu daerah sebagai lumbung pangan nasional tetapi tingkat pendapatan petani sangat buruk. Dengan kontribusi 27 persen lebih sektor pertanian terhadap PDRB Aceh. Ternyata nasib petani sangat termaginalkan dalam konteks ekonomi.

Angka NTP yang berada di bawah 100 mengindikasikan bahwa rata-rata NTP tersebut tidak lebih baik dibanding tahun 2012 sebagai tahun dasar perhitungannya dan menurun sebesar 0,88 persen dibanding bulan sebelumnya.

Indeks Harga yang Diterima Petani (It) pada Juli 2018 mengalami penurunan sebesar 0,07 persen dibanding periode sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh menurunnya It pada ketiga subsektor, yaitu Hortikultura, Tanaman Perkebunan Rakyat dan Peternakan, Kenaikan It subsektor tanaman pangan dan subsektor perikanan tidak dapat mendorong kenaikan It secara keseluruhan.

Selama Juli 2018, Indeks Harga yang Dibayar Petani (Ib) di Provinsi Aceh meningkat sebesar 0,82 persen dibanding periode sebelumnya. Peningkatan Ib tersebut terjadi pada semua subsektor dengan peningkatan tertinggi terjadi pada subsektor tanaman pangan sebesar 0,95 persen, dan yang terendah terjadi pada subsektor peternakan sebesar 0,61 persen

Melihat data-data tersebut diatas, maka patutlah jika kesejahteraan petani di negeri ini tidak akan pernah sejahtera secara ekonomi. Jika pemerintah tidak mampu membenahi sistim kepertanian kita dan memperbaiki tata niaga sektor pertanian, pangan dan agro input.

Penyebab rendahnya NTP karena ada biaya yang dikeluarkan petani meningkat. Jika kita mengacu kepada hasil kajian lain ditemukan bahwa pengeluaran paling besar petani adalah biaya produksi pertanian dan konsumsi rumah tangga mereka. 

Artinya petani sebagai produsen pangan namun harga jual komoditas mereka rendah, giliran  mereka belanja sejumlah kebutuhan sehari-hari justru mahal.

Salam.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun