Isu terorisme tidak pernah akan habis, sejak kemunculannya, terorisme selalu berhasil menjadi top news dalam pemberitaan media global.Â
Sudah menjadi opini publik bahwa terorisme identik dengan kekerasan (ekstrimisme) dan radikalisme. Hal ini disebabkan oleh pendefinisian terorisme yang ada saat ini tidak jelas filosofi keilmuannya.
Terorisme dipandang sebagai sebuah gerakan anti kemanusiaan dan kejahatan luar biasa (ordinary crime). Sehingga terorisme menjadi musuh bersama setiap negara.Â
Pelaku terorisme pun sangat beragam, dan biasanya mereka bergerak dengan sebuah organisasi (kelompok) atau terstruktur, memiliki manajemen dan logistik. Dalam setiap gerakannya mereka memiliki target tertentu.Â
Kelompok teroris semakin berkembang dalam satu dekade terakhir, meskipun perang melawan terorisme juga terus dilakukan oleh banyak negara namun demikian jaringan teroris pun seperti tidak ada habisnya.Â
Sebab itu, tak heran jika terorisme sekarang ini sudah masuk ke ranah perguruan tinggi sekali pun. Kelompok ini merekrut anggota baru dari kalangan anak muda dan mahasiswa.Â
Peristiwa penangkapan teroris yang baru saja terjadi di Universitas Riau (Unri) Â adalah bukti nyata betapa dunia kampus Indonesia sudah terkontaminasi ideologi terorisme.Â
Dalam kejadian tersebut, polisi menangkap pelaku teror yang akan beraksi di Jakarta dan Riau beserta barang bukti bom pipa yang dirancang untuk meledakkan DPR RI dan beberapa tempat yang lain. Begitu menurut keterangan pihak kepolisian.Â
Keterlibatan warga kampus dalam gerakan terorisme patut menjadi perhatian dan kajian yang mendalam oleh pihak rektorat dan Kemenristek Dikti RI. Karena secara logika, warga kampus merupakan para intelektualitas yang memiliki ilmu pengetahuan dan terdidik.Â
Sehingga tidak mungkin rasanya para mahasiswa mau menempatkan dirinya sebagai pelaku kejahatan yang bertolak belakang dengan nilai-nilai moral dan anti kemanusiaan. Kalau pun kemudian bahwa ada mahasiwa yang terlibat namun hal itu bukanlah suatu kondisi umum.
Agar virus terorisme tidak semakin menyebar luas di lingkungan kampus, maka perlu segera dilakukan langkah-langkah pencegahan dan penanganan terutama oleh pihak pemerintah dan rektorat, sebelum melibatkan pihak aparat (polisi/TNI).
Sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap seluruh proses pendidikan di internal kampus, rektorat harus lebih proaktif untuk melakukan identifikasi dengan cara-cara yang lebih elegan, terstruktur dan tidak semena-mena.Â
Rektor sebagai pimpinan tertinggi di sebuah perguruan tinggi bisa menggalang kerjasama dengan seluruh sivitas akademika untuk mengawasi dan memantau seluruh aktivitas mahasiswa di kampus melalui penyusunan sebuah prosedur baku sebagai pedoman teknis pelaksanaan penyaringan atau pembersihan pengaruh paham terorisme di lingkungan kampus. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari ekses yang justru bertentangan dengan hukum dan hak azasi manusia (HAM).Â
Strategi lain yang dapat dilakukan untuk mencegah mewabahnya paham teroris. Pihak kampus perlu melakukan pendidikan ideologi pancasila secara intensif dengan jumlah jam belajarnya lebih banyak. Jika masa orde baru dulu ada program pendidikan Pancasila pola P4 100 jam, maka sekarang bisa dihidupkan kembali.Â
Menangani kaum intelektual yang sarat ilmu pengetahuan tersebut, memang tidak boleh sedikit pun mengedepankan kekerasan dan kriminalisasi. Namun harus mengedepankan cara-cara ilmiah dan logis dengan pendekatan ilmiah.Â
Melalui proses edukasi, mahasiswa yang terlanjur salah memahami ideologi terorisme yang sering dikaitkan dengan ajaran agama tertentu lebih mudah dibersihkan atau dapat diluruskan kembali. Bagaimana pun kaum intelektual terkadang mereka sering lupa pada realitas sosial.Â
Penting untuk diketahui bahwa persoalan terorisme bukan jihad seperti yang salah dipahami oleh mereka yang mengaku berjuang menurut agama. Justru masalah terorisme adalah bentuk pengingkaran terhadap perang suci dalam membela agama.Â
Oleh sebab itulah, argumentasi awal yang harus dibangun oleh rektorat dan segenap para pengajar di kampus adalah bagaimana mengatakan teroris itu bukanlah jihad dan jihad tidaklah sama dengan agresi teroris. Keduanya bagaikan langit dan bumi, seperti siang dan malam.
Dengan demikian proses "clear and clean" akan berjalan dengan semangat kerjasama dan kolaborasi yang baik. Inilah cara yang berbeda dalam menangani warga kampus yang terindikasi terkena virus terorisme agar mereka bisa disadarkan kembali.Â
Hindari melakukan vonis buruk karena akan melahirkan sikap perlawanan dari mereka yang sudah tertanam mental berperang dan menyerang. Karena faktor tersebut akan menyebabkan kegagalan pelaksanaan strategi penanganan masalah terorisme warga kampus secara damai.Â
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H