Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Akankah Rancangan Peraturan KPU Disahkan oleh Kemenkumham?

1 Juni 2018   18:43 Diperbarui: 2 Juni 2018   08:26 983
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaikan petir disiang hari, tiba-tiba suara gemuruh terdengar keras dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia, perihal pelarangan mantan narapidana korupsi menjadi bakal calon legislatif DPR, DPR Provinsi dan DPR Kabupaten/Kota.

Berita itu pun secepat kilat menyambar para politisi dan pihak berkepentingan. Kemudian pelbagai argumentasi dari stakeholder juga bermunculan menanggapi pernyataan Ketua KPU RI tersebut. 

Pihak KPU mengatakan bahwa tambahan syarat untuk menjadi bakal calon legislatif pada pileg 2019 mendatang adalah mereka bukan berstatus mantan napi korupsi yang pernah dihukum penjara oleh vonis pengadilan. 

Pandangan pihak penyelenggara Pemilu di Indonesia tersebut menurut saya patut menjadi pertimbangan, mengingat kejahatan tindak pidana korupsi di negara ini sudah dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (ordinary crime). 

Sebagai ordinary crime, maka sepatutnya pelaku korupsi harus dihukum dengan hukuman seberat-beratnya. Bukan hanya hukuman kurungan/penjara, penyitaan aset hasil kejahatan bahkan negara dapat mencabut hak politiknya selama jangka waktu tertentu, misal 2 kali periode pemilu. 

Dalam kaitan itulah saya kira semangat KPU mengeluarkan syarat tersebut untuk dimasukkan dalam rancangan peraturan KPU yang akan disahkan oleh Kementerian Hukum dan Ham Republik Indonesia menjadi Peraturan KPU (PKPU) yang akan berlaku dalam pileg 2019 mendatangkan. 

Namun dari keinginan KPU tersebut, siapa sangka ternyata tanggapan pelarangan mantan napi korupsi menjadi caleg tidak hanya datang dari partai politik tetapi juga dari orang nomor satu di republik ini, Presiden Joko Widodo. 

Dalam pernyataannya Joko Widodo tidak setuju dengan KPU, Presiden mengatakan bahwa mantan napi korupsi juga bisa ikut menjadi caleg pada pileg mendatang. Pernyataan Presiden Joko Widodo tersebut tentu saja berseberangan dengan pihak KPU. 

Akibatnya persoalan ini pun menjadi topik pembicaraan hangat dikalangan politisi, pegiat anti korupsi dan masyarakat luas. Tanggapan mereka pun beragam, mereka yang selama ini getol berjuang agar Indonesia bebas korupsi, syarat yang akan ditetapkan oleh KPU tentu saja sebagai bentuk dukungan negara terhadap upaya pemberantas korupsi di tanah air, dengan memberikan efek jera termasuk mencabut hak politiknya, maka akan menjadi pelajaran bagi pelaku korupsi lainnya. Dengan cara ini mungkin jumlah tindak pidana korupsi akan berkurang. 

Namun bagi pemerintah, barangkali presiden melihatnya dari sisi lain. Ditinjau dari segi hak azasi manusia mungkin pelarangan nyaleg bagi napi korupsi oleh KPU sangat bertentangan. Pemerintah tentu saja perlu mengawal setiap peraturan yang akan dibuat agar tidak mencederai hak politik masyarakat karena pemerintah nantinya bisa dituduh melanggar HAM.

Akan tetapi jika kita melihat pasal 7 ayat 1 huruf (i) rancangan PKPU setiap orang diperbolehkan menjadi bakal calon legislatif DPR, DPR Provinsi dan DPR Kabupaten /Kota asal memenuhi syarat bukan mantan nara pidana bandar narkoba, kejahatan seksual anak, atau korupsi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun