Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

"Ongkang-ongkang Kaki Dapat Rp 112 Juta," Berubah Menjadi "Buah Tangan" di Kota Bogor

31 Mei 2018   13:01 Diperbarui: 31 Mei 2018   13:22 1686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pernahkah Anda membaca judul tulisan ini sebelumnya dalam lalu lintas berita di internet? Apalagi sejak mencuat kepermukaan gaji BPIP yang menjadi polemik sejak beberapa hari lalu? Nah tahukah Anda apa yang terjadi kemudian? 

Hari ini (31/5) judul berita tersebut kembali menjadi headline beberapa media daring namun dengan konten yang berbeda, akibat menuliskan Megawati "Ongkang-ongkang kaki dapat Rp112 juta" oleh Media Radar Bogor sebagai judul pemberitaannya, massa PDIP marah di kantor Radar dan memukul staf kantor media tersebut. 

Dari hasil penelusuran beberapa sumber berita yang kami lakukan, misalnya media cnnindonesia (31/5), memberitakan bahwa telah terjadi aksi protes dari sejumlah massa PDIP, mereka keberatan dengan penggunaan kata dalam berita tersebut. 

Pihak PDIP meminta koran tersebut meralat pemberitaan dengan menuliskan bahwa Megawati belum dan tidak mau mengambil penghasilan tersebut. Hal itu untuk menegaskan bahwa fasilitas yang diberikan negara tidak lantas membuat Megawati tampak serakah. Begitulah cnnindonesia memberitakan.

Memang sangat disesalkan sehingga peristiwa anarkis ini terjadi, atas peristiwa tersebut menyebabkan staf koran Radar mengalami pukulan dari massa yang marah. Koran Radar juga menderita kerugian karena properti yang dirusak oleh anggota parpol besar tersebut. 

Pemimpin Redaksi Radar Bogor menyayangkan peristiwa kekerasan dan perusakan oleh kader dan simpatisan PDIP di kantor Radar Bogor. Menurutnya hal itu justru menunjukkan sikap partai yang buruk. 

Namun terlepas dari siapa benar dan salah, barangkali peristiwa ini dapat menjadi pelajaran bagi kita yang senang menulis di Kompasiana agar tetap memperhatikan etika menulis agar terhindar dari tuduhan merusak nama baik orang lain dan tidak menimbulkan peristiwa hukum. 

Perhatikan juga berbagai aspek yang mungkin muncul sebagai dampak dari kata atau frase yang digunakan untuk mengambarkan sebuah peristiwa maupun objek tertentu. Bagaimanapun kalimat yang dirangkai dalam satu tulisan tertentu dapat membentuk sebuah opini tertentu pula.

Sebagai pekerja pers yang mungkin masih amatiran (belum profesional) diperlukan suatu sikap terbuka untuk terus belajar dan menerima masukan tentang ilmu jurnalistik yang menjujung tinggi nilai-nilai penghormatan terhadap hak-hak orang lain. Sehingga dalam menjalankan tugasnya, insan pers bisa mengedepankan profesionalisme dalam menghasilkan berita sebagai informasi yang layak dipercaya. 

Namun begitu, karena ini adalah negara hukum, semestinya jika ada pihak yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan tentu saja dapat menempuh jalur hukum bahkan di setiap media pun terbuka fasilitas hak jawab. Artinya semua ada mekanismenya, tidak kemudian mengedepankan kekerasan dan main hakim sendiri. 

Peristiwa ini semakin mencoreng nama baik partai politik di mata rakyat, yang memang tingkat kepercayaan rakyat terhadap parpol sangat rendah. Bagaimana rakyat bisa mempercayai kepemimpinan bangsa jika kader-kadernya seperti preman? Harusnya mereka memberikan contoh yang baik terhadap rakyat dalam menyelesaikan sebuah masalah. 

Disisi lain, pemukulan terhadap pekerja media/pers kerap terjadi selama ini. Kekerasan terhadap jurnalis seakan-akan telah menjadi pemandangan umum. Pelanggaran hukum terhadap profesi jurnalispun dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan, aparatur pemerintah sampai pejabat negara. Sangat ironis! 

Semoga cukuplah ini peristiwa yang terakhir kali terjadi terhadap para jurnalis, begitu pun media juga harus benar-benar independen dalam pemberitaan. Memang media juga sebagai industri memikirkan kepentingan bisnis namun jangan sampai mengabaikan pelanggaran etika profesi dan hukum yang berlaku. Semoga! 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun