Setelah pasar menunggu respon Bank Indonesia terhadap pelemahan nilai rupiah sejak sepekan lalu, Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo akhirnya mengumumkan kebijakan moneter melalui instrumen suku bunga dengan menaikkan suku bunga acuan BI 7-DRR sebesar 25 bps menjadi 4,5% pada kamis (17/5).
Kebijakan menggerek suku bunga acuan ini dimaksudkan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia, bersamaan dengan dukungan bauran kebijkan yang lainnya. Bahkan jika instabilitas berlanjut kemungkinan suku bunga acuan BI juga akan mengalami perubahan.
Seperti yang diketahui secara luas bahwa sepanjang 3 pekan terakhir nilai mata uang rupiah jatuh pada level yang cukup rendah bahkan posisi terburuk sepanjang tiga tahun terakhir hingga mencapai Rp14.200 per dollar AS. Oleh karena itu publik menginginkan pemegang otoritas moneter melakukan sesuatu untuk mengendalikan laju pelemahan rupiah yang sangat tajam tersebut. Alhasil BI rate naik menjadi posisi sekarang ini.
Akan tetapi menurut BI naiknya suku bunga acuan tidak terkait dengan melemahnya rupiah, hal ini seperti dikatakan oleh Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo mengatakan, porsi kenaikan suku bunga BI tidak terkait dengan melemahnya rupiah.
Namun BI melihat bahwa ada pengaruh pelemahan rupiah terhadap inflasi. Sebab itu BI ingin menekan peningkatan inflasi sehingga tidak mempengaruhi daya beli masyarakat. Namun di sisi lain tentu memiliki dampak atau efek terhadap kegiatan perekonomian makro secara menyeluruh dan akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan.
Keputusan BI menaikkan suku bunga acuannya secara langsung akan berdampak pada bisnis sektor perbankan, artinya bank-bank umum juga akan mengalami kenaikan suku bunga deposito, pada akhirnya biaya dana (cost of fund) juga akan meningkat.
Kenaikan biaya dana pada bank operasional tentu saja dapat berpengaruh kepada naiknya suku bunga kredit. Efeknya adalah terjadi tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi yang disebabkan oleh tingginya suku bunga pinjaman, ini menjadi alasan menurunnya permintaan kredit.
Kebijakan pengetatan moneter yang dilakukan oleh BI barangkali masih dalam batas soft, meskipun begitu sektor rill akan mendapatkan pengaruh, ditengah kesulitan likuiditas dunia usaha sekaligus tidak sanggup menambah pinjaman baru karena suku bunga kredit mengalami kenaikan. Sehingga pengeluaran investasi dan pembelian barang modal oleh pengusaha akan ditunda.
Secara teori mekanisme bekerjanya perubahan BI 7DRR sampai mempengaruhi inflasi tersebut sering disebut sebagai mekanisme transmisi kebijakan moneter. Mekanisme ini menggambarkan tindakan Bank Indonesia melalui perubahan-perubahan instrumen moneter dan target operasionalnya mempengaruhi berbagai variable ekonomi dan keuangan sebelum akhirnya berpengaruh ke tujuan akhir inflasi.Â
Mekanisme tersebut terjadi melalui interaksi antara Bank Sentral, perbankan dan sektor keuangan, serta sektor riil. Perubahan BI 7DRR mempengaruhi inflasi melalui berbagai jalur, diantaranya jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur harga aset, dan jalur ekspektasi.
Karena itu kebijakan menaikkan atau menurunkan BI rate berimplikasi tidak saja pada inflasi, tetapi juga pada pertumbuhan, dan nilai tukar. Dalam kaitannya dengan inflasi, pertumbuhan ekonomi yang tinggi berkesesuaian dengan tingkat inflasi yang rendah.Â