Indonesia baru saja memperingati Hari Kebangkitan Nasional 2018, tema yang diangkat pada Harkitnas tahun ini pun sangat menarik dan kekinian "Pembangunan Sumber Daya Manusia Memperkuat Pondasi Nasional Indonesia di Era Digital."
Dari tema yang dipilih terlihat sangat visioner dan mampu membangkitkan semangat rakyat Indonesia untuk mengisi kemerdekaan ini dengan menguatkan modal sumber daya manusia.Â
Berbicara tentang sumber daya manusia berarti kita bicara tentang pembangunan manusia secara komprehensif, terpadu dan berkesinambungan. Bukan hanya pada aspek pendidikan saja, namun termasuk didalamnya mengenai pendidikan, kesehatan, pangan, ekonomi dan sosial budaya yang mendukung terciptanya mekanisme proses menghasilkan sumber daya manusia secara sistemik.
Untuk menghasilkan sumber daya manusia unggul, Indonesia telah menetapkan visi mencerdaskan bangsa melalui proses pendidikan sebagaimana dituangkan dalam UUD 1945 dan UU Sistem Pendidikan Nasional.
Menurut UU Pendidikan Nasional No 20/2003 secara eksplisit mengakui bahwa Indonesia menjalankan sistim pendidikan umum dan agama. (Hal ini bisa dilihat pada pasal dalam UU tersebut), praktik pendidikan model tersebut tentu sangat bagus dan positif, artinya ada keseimbangan antara pengetahuan umum dan pendidikan agama. Dengan begitu akan melahirkan sumber daya manusia Indonesia yang cerdas dan beragama, berkarakter religius dan berakhlak mulia.
Dalam konteks pendidikan agama, maka peran guru agama sangat besar. Apalagi pada sekolah umum (non agama) seperti SD, SMP dan SMA guru agama menjadi ujung tombak dalam mengajarkan ilmu agama bagi peserta didiknya. Sementara pada sekolah agama seperti madrasah dan pesantren pelajaran muatan agama sangat dominan.
Dalam Islam, guru agama itu sering disebut Ustaz. Mereka menjalankan fungsi pendidikan dan pengajaran agama Islam sesuai dengan syariat yang telah digariskan, memberikan pengetahuan tentang agama yang bersumber dari Al-Quran dan Hadits. Pada konteks yang lebih jauh adalah bagaimana ustaz mampu menghubungkan antara ilmu agama dengan realitas sosial termasuk fenomena alam semesta kepada anak didiknya.
Sebagaimana diketahui Al-Quran dan Hadits merupakan pedoman hidup ummat Islam, yang didalamnya disampaikan sejarah kehidupan manusia, tentang keimanan dan tauhid, mengenai ibadah serta tata cara hubungan antar manusia dan berbagai penjelasan lainnya secara utuh sebagai suatu kebenaran yang datang Allah dan Rasul Nya.
Bagi penganut agama Islam, firman Allah adalah sesuatu yang mutlak dipatuhi dan dijalankan, tidak ada tawar menawar sejauh mampu dilaksanakan, sehingga tidak perlu terheran-heran jika kaum muslimin menginginkan berlakunya syariat islam dalam kehidupan sosial mereka. Maka kemudian muncullah gerakan-gerakan yang ingin mengubah negara Indonesia menjadi negara Islam.Â
Sekilas kelihatannya gerakan tersebut seperti sedang memperjuangkan agama Islam dengan konsep negara Islam. Namun apakah Allah sendiri menyuruh ummat Islam berbuat demikian? Nah, disinilah persoalannya. Bagaimana seseorang memahami secara mendalam terhadap firman-firman Allah yang ada dalam Al-Quran.
Peran Ulama ditengah-tengah Ummat
Ulama memiliki kedudukan sangat tinggi dalam Islam, mereka adalah pewaris para nabi. Maknanya bahwa ketika masa kenabian telah berakhir (wafat), maka pemegang tanggung jawab utama menjalankan misi nabi selanjutnya adalah para ulama.Â
Secara harfiah menurut bahasa 'ulama' dapat diartikan sebagai orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan. Pengetahuan yang dimaksud disini adalah ilmu agama Islam. Sedangkan menurut wikipedia ulama dapat diartikan sebagai pemuka agama atau pemimpin agama yang bertugas untuk mengayomi, membina, dan membimbing umat Islam.
Bimbingan yang dimaksud baik dalam masalah-masalah agama maupum masalah sehari hari yang diperlukan, baik dari sisi keagamaan maupun sosial kemasyarakatan. Makna sebenarnya dalam bahasa Arab adalah ilmuwan atau peneliti, kemudian arti ulama tersebut berubah ketika diserap ke dalam Bahasa Indonesia, yang maknanya adalah sebagai orang yang ahli dalam ilmu agama Islam.Â
Dari pengertian tersebut diatas maka dapat dengan jelas kita lihat, Ulama sebagai kaum intelektual Islam yang memiliki tugas mengayomi, membina dan membimbing masyarakat. Beliau adalah para guru yang mengalirkan ilmu-ilmunya ke urat-urat nadi kaum muslimin pada khususnya agar ummat Islam Indonesia menemukan jalan hidup yang lurus dan benar.
Ditangan para ulamalah bagaimana kualitas hidup masyarakat muslim ditentukan, sistem tatanan sosial dibentuk dan dijalankan. Bahkan sampai persoalan ekonomi ummat pun menjadi tanggung jawab para ulama. Jadi begitu luasnya peran ulama ditengah-tengah ummat. Sedangkan kegiatan dakwah ataupun ceramah itu hanyalah sebagian kecil saja dari fungsi ulama dalam aspek pendidikan.
Ulama menjadi suluh atau cahaya bagi seluruh ummat, memberikan penyuluhan dan pencerahan agar kehidupan masyarakat senantiasa berada jalan makruf. Mencegah kemungkaran adalah bagian dari misi ulama sejak dulu bahkan hingga akhir zaman.
Seperti kata para ulama semisal Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulum al-Din, Imam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu al-Fatawa, dan Prof Dr Abdul Karim Zaidan dalam kitabnya Ushul al-Da'wah bahwa ketika ada pihak pemerintah, maka tugas ulama dalam menegakkan amar makruf nahi mungkar itu hanya terbatas dalam dua level saja, yaitu memberitahukan dan menasihati. (Ali Mustafa Yaqub, Imam Besar Masjid Istiqlal/Republika 24/03/2015)
Melihat penjelasan di atas, rasanya sangat tidak pantas jika kita menuding para ulama sebagai sumber munculnya persoalan terorisme di Indonesia. Hampir tidak ada tesis yang menemukan bahwa para ulama Indonesia sebagai pencetak teroris. Justru yang kita temukan, para ulama bersatu padu dengan para pemuka agama lain berjuang melawan penjajahan Belanda dalam merebut kemerdekaan Indonesia.
Untuk pembuktian batapa besar jasa para ulama dalam memperjuangkan negara ini, saya tidak perlu menyebutkan nama-nama mereka satu persatu. Karena hal tersebut sudah diketahui secara luas, dan nama tokoh-tokohnya pun sudah kita hafal. Salah satu dari mereka pernah menjadi Presiden Republik Indonesia. Dengan demikian, apakah masih rasionalkah kita mencurigai ulama?
Presiden Joko Widodo dalam banyak kesempatan sering mengatakan bahwa beliau merasa perlu dekat dengan para ulama karena yang paling banyak mengatahui persoalan yang dihadapi ummat adalah mereka. Ditambahkan beliau "ulama yang secara langsung bergelut dengan ummat".Â
Sehingga menurut Presiden, untuk menyelesaikan persoalan masyarakat bisa melalui para ulama. Jadi kalau pandangan Presiden saja seperti itu, maka apakah wajar kalau pembantu Presiden berkata lain? Wallahu bisshawab.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H