Tidak bisa dipungkiri, sebagian besar masyarakat Indonesia mengenal BI sebagai lembaga yang tugas utamanya adalah mencetak uang dan induk dari bank-bank, baik bank pemerintah maupun swasta.Â
Padahal BI mempunyai peran yang bukan sekedar mencetak uang atau mengurusi bank-bank yang ada dibawahnya. Hal ini tampak jelas dari pasal UU No 6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia (UU BI).Â
Dalam UU BI pasal 4 ayat (2) disebutkan bahwa "Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melakukan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU tersebut ".
Dari teks pasal diatas terlihat, untuk menjamin independensi dalam kebijakan yang diambil oleh BI, pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas BI. Bahkan BI wajib menolak atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun.Â
Lalu bagaimana dengan campur tangan politik? Fakta dilapangan, berdasarkan riwayat atau histori ditemukan, Â apa yang dilakukan oleh BI sulit dipisahkan dari politik.Â
Gubernur BI pertama Sjafruddin Prawiranegara pernah mengatakan bahwa bank sentral di Indonesia tidak bisa memisahkan diri dengan masalah-masalah politik.Â
Pengamat politik Fachry Ali juga pernah berpendapat bahwa keberadaan bank sentral secara struktural akan selalu terkait dengan politik. Sampai saat ini, independensi BI juga belum bisa dikatakan murni 100 persen.Â
Misalnya dalam hal kepemimpinan, Bi masih tergantung pada DPR dalam menentukan siapa yang pantas dan kredibel duduk sebagai Gubernur BI atau Deputi Gubernur BI. Sehingga rentan terlibat politik balas jasa ketika nanti terpilih.Â
Selanjutnya, BI sebagai bank sentral juga harus mandiri dan terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Tidak boleh BI ragu dalam mengeluarkan kebijakan moneternya. Meskipun tidak disukai secara politik populis oleh sekelompok penguasa.Â
Pemimpin BI harus berani memberikan komentar dan catatan atas kebijakan penguasa yang tidak sejalan dengan kebijakan moneter secara makroekonomi dan keuangan. Serta tidak takut pada intervensi pihak manapun.Â
Tentu kita tidak ingin kasus pengucuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tahun 1997 di mana karena BI masih dibawah kontrol penuh pemerintah sehingga BLBI menjadi persoalan politik. Meskipun saat itu BLBI sesuatu yang tidak dapat dihindari.Â