Berdasarkan data dari Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Aceh, kredit macet di Aceh pada triwulan pertama 2018 mencapai Rp 688 miliar. Dari jumlah tersebut, sektor perdagangan mendominasi dengan nilai kredit macet Rp 319 miliar. Kemudian diikuti sektor konstruksi Rp 111 miliar dan jasa-jasa Rp 55 miliar (Serambi Indonesia, 22 April 2018).
Menurut Pemimpin kantor perwakilan Bank Indonesia Banda Aceh Zainal Arifin Lubis, jumlah kredit macet di Aceh termasuk tinggi dibanding daerah lain di Indonesia. Meskipun dalam beberapa tahun terakhir trennya mulai menurun. Sebagai perbandingan, tahun 2014 kredit macet di Aceh mencapai Rp 1,1 triliun. Tapi, pada 2015 turun menjadi Rp 990 miliar, lalu 2016 menjadi Rp 789 miliar, dan 2017 sebesar Rp 634 miliar. Sementara untuk tahun 2017 sampai triwulan pertama, kredit macet mencapai Rp 688 miliar.
Bila kita amati dari data yang dikeluarkan oleh BI di atas, ternyata sektor perdagangan memberikan kontribusi terbesar jumlah kredit macet di Aceh periode triwulan pertama tahun 2018. Hal ini menimbulkan tanda tanya ada masalah apa dengan sektor perdagangan di Aceh. Di sisi lain sebetulnya yang menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi Aceh adalah sektor pertanian, perkebunan dan perikanan, kontribusi sektor pertanian terhadap produk domestik regional bruto Aceh di atas 27 persen. Nah, apakah perbankan selama ini keliru memilih sektor andalan dalam menyalurkan kredit?
Dari hasil penelusuran berbagai sumber informasi memang ditemukan sejumlah pedagang di Kota Banda Aceh mengeluh karena omsetnya menurun dan sepi pembeli. Bahkan keluhan mereka mewakili aspirasi para pedagang lainnya di Pasar Atjeh. Sejumlah pedagang tas, sepatu, dan pakaian muslim di Pasar Atjeh juga menyampaikan bahwa akhir-akhir ini sangat sepi pembeli.
Meskipun begitu, kita juga perlu berhati-hati untuk menyimpulkan bahwa sudah pasti daya beli masyarakat yang menjadi faktor utama lesunya sektor perdagangan di Aceh, apalagi di era digital ini di mana masyarakat cenderung lebih senang membeli secara online.
Penyebab kredit macet
Pada umunya kredit usaha di Aceh lebih banyak dinikmati oleh pelaku UMKM berbagai sektor, mulai dari sektor perdagangan sampai sektor pertanian, namun jika kita melihat data yang dirilis oleh Bank Indonesia Aceh, sektor perdagangan besar dan eceran, industri pengolahan mendapatkan kucuran kredit yang lebih besar mencapai 52,9 persen, dan sektor yang paling sedikit adalah sektor pertanian/perikanan hanya 8,4 persen. Alasan pihak bank lebih mengutamakan sektor perdagangan karena dari sisi risikonya yang rendah, mudah dikontrol dan memiliki cash flow yang relatif cepat.
Menurut laporan BI Aceh (2016) berdasarkan klasifikasi usaha sebagian besar kredit UMKM disalurkan pada usaha menengah mencapai 45,5 persen dan selebihnya kepada usaha kecil yaitu 29,6 persen dan usaha mikro sebesar 25,0 persen, sementara jenis kredit yang diberikan adalah kredit modal kerja (KMK). Sedangkan bank penyalur didominasi oleh bank persero milik pemerintah.
Bila kita mengacu pada berbagai hasil penelitian empiris terkait dengan kredit usaha secara umum yang dilakukan oleh para akademisi dan praktisi ditemukan bahwa kredit macet atau non performing loan (NPL) disebabkan oleh banyak faktor, antara lain adalah pertumbuhan ekonomi, tingkat suku bunga, itikad baik debitur untuk membayar (karakter), dan lain sebagainya. Dengan kata lain bahwa kredit macet tersebut ada hubungannya dengan variabel makro ekonomi dan moneter.
Menurut Hamdani (2016) dalam penelitiannya menemukan bahwa dalam jangka pendek, variabel Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) memengaruhi dan memiliki hubungan satu arah dengan kredit UMKM sedangkan variabel suku bunga memiliki hubungan sebab akibat dengan kredit UMKM, begitu juga halnya variabel NPL memiliki hubungan satu arah dengan kredit UMKM di Aceh.
Sementara Zainal Arifin Lubis (acehbisnis.co, 21 April 2018) mengatakan beberapa faktor penyebab tingginya kredit macet di Aceh; pertama, aspek bisnis yaitu bila bisnis tidak berkembang dan kurangnya pasar terhadap produk yang dihasilkan, serta operasional kegiatan juga kurang menguntungkan, sehingga pengembalian pinjaman menjadi lemah. Kedua, aspek karakter, yaitu pengembalian uang ke bank menunggak. Peminjam mengangap uang itu uang rakyat, sehingga mereka enggan mengembalikan uang tersebut.
Namun alasan debitur mengganggap uang tersebut adalah uang rakyat sangat kecil kemungkinan, karena saat debitur mengajukan pinjaman oleh petugas bank pasti sudah menyampaikan seluruh informasi yang perlu diketahui oleh calon peminjam dan lagi pula debitur pun dengan suka rela menyerahkan jaminan tambahan sebagai agunan atas asset yang mereka miliki.
Maka, yang perlu dipertanyakan adalah bagaimana proses pemberian kredit oleh petugas bank tersebut. Patut diduga bahwa proses yang dilakukan tidak sesuai prosedur. Sehingga potensi kredit macet memang sudah diketahui sejak awal namun diabaikan atau tidak mampu di maintenance oleh bank.
Perekonomian Aceh
Kepala BPS Aceh Wahyudin mengatakan Perekonomian Aceh Triwulan IV-2017 yang diukur berdasarkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp37,77 triliun atau sebesar US$2,79 milyar. Sementara PDRB tanpa migas adalah sebesar Rp36,72 triliun atau sebesar US$2,71 milyar.
Ekonomi Aceh dengan migas secara kumulatif (c to c) hingga triwulan IV-2017 tumbuh sebesar 4,19 persen, pertumbuhan c to c tanpa migas adalah sebesar 4,14 persen. Bila dibandingkan triwulan lV-2016 (y-on-y) tumbuh sebesar 3,58 persen. Rendahnya pertumbuhan ekonomi Aceh bahkan di bawah rata-rata nasional bisa menjadi salah satu faktor penyebab tingginya kredit macet.
Dalam rapat terbatas bidang perekonomian Presiden RI memberikan perhatian dan arahan khusus kepada Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh untuk mengelola serta memanfaatkan seluruh potensi unggulan untuk mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi di Aceh, sekaligus memberikan kesejahteraan bagi rakyat Aceh, fokus mengembangkan sektor unggulan, misalnya industri pertanian hingga penghiliran industri.
Dari berbagai data dan informasi yang telah diuraikan di atas, menurut penulis penyebab utama tingginya kredit macet di Aceh sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi Aceh yang mengalami penurunan. sehingga menyebabkan proses bisnis yang dilakukan oleh debitur mengalami hambatan. Hal ini terlihat pada penurunan omset penjualan para pedagang di pasar-pasar di Aceh. Rendahnya daya beli masyarakat juga menjadi persoalan tersendiri dalam perekonomian Aceh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H