Mungkin diantara kita pernah mendengar ucapan terima kasih atau pidato dari orang-orang yang berhasil dan sukses kepada orang tua / gurunya,
Mungkin kira-kira begini," Saya berterima kasih kepada papa dan mama, bapak dan ibu ( Guru ) karena telah mendidik saya dengan penuh cinta juga dengan keras, saya bisajadi seperti ini karena kalian dulu mendidik saya seperti itu."
Beberapa waktu lalu dalam debat Pilkada DKI Jakarta terjadi perdebatan antara Bapak Ahok dan Anies tentang masalah pendidikan, secara garis besar Ahok bersikap lebih keras terhadap anak, bila terlibat tawuran atau tindakan bullying. KJP akan dicabut dan mereka akan dikeluarkan dari sekolah, sementara Anies mengatakan tidak bisa seperti itu, mengeluarkan anak ibarat memberhentikan dia menjadi anakmu bila dia nakal.
2 peristiwa itu mengingatkan saya betapa seringnya saya dulu dipukul oleh Alm. papa sewaktu saya masih kecil, entah sudah berapa rotan yang patah karena saya melanggar aturan yang dibuat oleh papa. Walau saya sering menangis, memohon untuk tidak dipukul, tapi papa tetap tidak bergeming dan memukul saya. Namun sekarang saya bersyukur, karena bila dulu saya tidak dipukul saya mungkin akan jauh lebih nakal dari sekarang.
Waktu saya sekolah dulu ada beberapa anak yang dibuat tidak naik kelas oleh suster kepala sekolah saya karena mereka merayakan ulang tahun teman dengan menyiramkan air dan melemparkan telur kepada yang berulang tahun.Â
Ada banyak protes ketika itu, tapi suster tetap pada keputusannya untuk tidak menaikan anak-anak itu.Â
Dan dulu sanksi bagi yang bertengkar adalah keluar dari sekolah.
Saya juga memiliki teman yang pernah dikeluarkan dari sekolah dan tidak naik kelas, bahkan kakak saya pun pernah tidak naik kelas dan tidak lulus UNAS,
Teman yang tidak naik kelas pernah bercerita kalau dia malu pulang ke rumah, karena dia telah membuat orang tua kecewa dan akhirnya semalaman dia tidur di teras rumah. Dari semua cerita itu saya melihat ada banyak perubahan yang besar yang terjadi saat mereka mengalami pengalaman pahit.
Dari pengalaman saya sebagai anak di atas, saya lebih setuju dengan apa yang dikatakan Bp. Ahok.
..............................................Â
Setelah lulus SMA saya juga pernah 8 tahun membantu progam pembinaan karakter di 3 sekolah swasta katolik ( SMPK, SMAK, dan SMKK ) di Surabaya, semakin lama saya berada di sana jujur saya semakin tidak bisa merumuskan standard yang baik dalam mendidik siswa. Setiap guru mempunyai cara mendidik yang berbeda-beda, gaya komunikasi yang tidak sama, dan punya standard keras dan tegas yang berbeda-beda juga. Dan setiap anak pun mempunyai penerimaan yang berbeda-beda pula. Kadang para guru mencurhatkan kalau mereka tidak bisa terlalu keras baik dalam mendidik maupun dalam memberikan penilaian karena aturan yang telah berubah.
Pada dasarnya saya tidak setuju dengan guru yang mendidik dengan memukul tapi saya pernah melihat sendiri guru yang menghajar siswanya karena siswa itu terlalu kurang ajar dan menantang sang guru berkelahi. Saya rasa guru pun manusia yang berhak membela dirinya.
Saya pernah mengatakan kepada junior saya ( di bagian pembinaan karakter )," jangan karena kamu ingin dilihat sebagai pembimbing yang baik, santun, pemaaf kamu jadi tidak bisa tegas terhadap mereka, mungkin saat kamu menghukum kamu akan iba, sedih tapi kamu harus yakin, dari pada melihat mereka jadi orang yang tidak baik nanti, lebih baik mereka dihukum sekarang.Â
Dan yang terpenting lagi bila mereka sudah dihukum dan kamu melihat masih ada amarah di hatinya kamu harus rekonsiliasi dan menjelaskan kenapa kamu menghukum dia.
Saya tahu kalau kenakalan anak kemungkinan berasal dari salah asuh terutama dalam keluarga, namun jangan sampai masalah keluarga menjadi alasan untuk mereka melakukan kesalahan dan mendapat maaf. Kebetulan kemarin  ( 18/03/2017 ) saya melihat berita tawuran pelajar di Jakarta yang mengakibatkan kematian seorang pelajar. Bila sudah begini, masihkan kita berkata dengan naif kalau kalau pelaku tawuran tidak boleh dikeluarkan dari sekolah. Masihkan kita ingin menjerumuskan nasib pelajar yang menjadi pelaku dengan tidak memberikan hukuman berat bagi mereka ? Masihkah kita "menganak"an mereka dengan selalu menganggap mereka korban dan belum dewasa untuk meneriba akibat dari perbuatan mereka ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H