Tiktok sebuah platform jejaring sosial video musik yang berasal dari Tiongkok merupakan sebuah tempat untuk menunjukkan kreativitas seperti banyaknya konten klip video menari yang diiringi oleh lagu kekinian yang diunggah pada platform tersebut. Akan tetapi, Hal tersebut mendorong munculnya pelecehan seksual di ranah digital seperti komentar yang mengobjektifikasi bagian tubuh pada klip video yang diunggah.
Banyak orang menganggap hal tersebut wajar dan justru cenderung menyalahkan korban karena korban dianggap mengundang terjadinya pelecehan seksual online tersebut seperti menari dengan berpakaian minim, menari dengan menunjukkan lekukan tubuh, hingga korban dianggap "centil". Stereotipe tersebut menumbuhkan pola pikir di masyarakat bahwa yang seharusnya menjadi korban dalam pelecehan seksual malah dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya tindakan pelecehan seksual atau biasa disebut dengan victim blaming.
Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan, dalam rentang waktu 2008 hingga 2019, kekerasan seksual terhadap perempuan meningkat hampir 8 kali lipat atau sebesar 792%.
Sementara itu, riset online yang dilakukan oleh Lentera Sintas Indonesia menunjukkan bahwa 93% penyintas kekerasan seksual enggan untuk melaporkan kasus yang dialami untuk diproses ke jalur hukum. Oleh karena itu, kasus kekerasan seksual yang tercatat di Komnas Perempuan seperti analogi gunung es yang mana dari sekian banyak kasus yang tercatat, hanya sebagian kasus yang terungkap. Banyaknya kasus kekerasan seksual yang ada disebabkan dengan adanya rape culture. Menurut Boswell dan Spade (1996), rape culture adalah seperangkat nilai dan keyakinan yang menyediakan lingkungan yang kondusif untuk terjadinya kekerasan seksual.Â
Menurut piramida kekerasan seksual yang diinisiasi oleh komunitas 11th Principle: Consent!, rape jokes merupakan hierarki paling bawah yang mana paling umum ditemukan di masyarakat baik di dalam sosial media maupun dalam kehidupan sehari-hari. Media seperti Tiktok memainkan peran penting dalam mengakomodasi dan melegitimasi humor yang mengobjektifikasi bagian tubuh seksual yang mengarah kepada rape jokes. Oleh karena itu, komentar pada sosial media yang cenderung melecehkan dengan mengobjektifikasi bagian tubuh seksual merupakan salah satu hal yang menumbuhkan dan menjaga eksistensi rape culture.
Apakah pantas menjustifikasi seseorang yang seharusnya menjadi korban dalam pelecehan seksual dalam ranah digital malah menganggap korban sebagai pihak yang bertanggung jawab. Selama konten tersebut tidak melanggar ketentuan hukum seperti yang ada pada Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pronografi yang menyebutkan,
"Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; kekerasan seksual; masturbasi atau onani; ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; alat kelamin; atau pornografi anak",
tentunya sangat tidak etis untuk menjustifikasi korban sebagai seorang "pendosa" dan mewajarkan pelecehan seksual yang ada hanya karena korban membuat konten berjoget diiringi musik yang menunjukkan lekukan tubuh dengan dalil moralitas dan agama. Karena kembali lagi, mengunggah konten di media sosial merupakan sebuah risiko yang harus ditanggung oleh content creator, batasan dalam membuat konten di Tiktok bagi creator tentu sangat perlu untuk dipertimbangkan mengingat masyarakat kita yang belum siap untuk menerima dan menghargai kebebasan berekspresi yang ada.
Dengan adanya normalisasi pada rape culture dan victim blaming yang sering tidak disadari seperti dalam berkegiatan di sosial media, maka akan menimbulkan dampak yang luar biasa dan jika diakumulasikan maka normalisasi dari hal yang terlihat sepele tersebut akan menyebabkan banyaknya kasus kekerasan seksual yang akan terjadi di masyarakat.
Dampak paling besar akan dirasakan oleh para penyintas kekerasan seksual karena sudah menjadi korban dari tindak kekerasan seksual, ditambah dengan adanya pola pikir victim blaming yang tumbuh di masyarakat. Oleh karena itu, perlunya menjaga sikap dalam bersosial media dan edukasi mengenai etika dalam bersosial media dari berbagai pihak untuk meyadarkan masyarakat bahwa hal yang dianggap sepele seperti mengomentari konten dengan mengobjektifikasi bagian tubuh seksual ternyata menimbulkan dampak yang besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H