Mohon tunggu...
CanduPuisi
CanduPuisi Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis tentang kehidupan

Author and Podcaster -every day always excited, every week improve literacy, every month a complete plan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ada Udang di balik Bakwan (Rumah Pondok Bambu)

16 Desember 2023   22:48 Diperbarui: 16 Desember 2023   22:58 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

"Sudah hampir seminggu kami tidak bertegur sapa. Kami Seperti orang tunawicara tanpa bahasa, orang tunawicara saja masih menggunakan bahasaisyarat sedangkan kami tidak sama sekali.
Walau lah kami tidak bertegur sapa, istriku tetap menjalankan tugas nya layak seorang istri, dengan susah payah ia mengantarkan makanan ke sawah untukku.

Dalam hati ini pun tak tega mendiaminya, tetapi aku kesal dengan sikapnya yang keras kepala. Apa susah nya menjual rumah itu, padahal itu bukan miliknya.

Sayang, kamu marah sama mas? "tanyaku hati hati
Enggak, apa yang mesti aku marahkan sama mas? Jawab istriku cuek.
Tapi, wajahmu dan sikapmu sangat dingin ke mas, wajahmu seperti limau purut, asam! " ujarku sedikit bertanya.
Mas makan dulu, habis tu aku mau pulang kerumah,ada yang ingin aku kerjakan! Sambil menyiapkan makan siang di pondok.

Setelah selesai makan siang,istriku menyusun rantang dan berpamitan pergi. Aku melanjutkan pekerjaan disawah.

Hari telah sore, aku bergegas pulang. Sesampai Dirumah aku melihat istriku sedang menyapu halaman rumah kami yang tidak begitu luas.

Sayang, Mas pulang. "Aku menyapa dia dan dia menyalamku.
Pakain Mas udah diatas kasur , Air udah di siapkan.
"sambil meninggalkanku lalu pergi ke dalam rumah.

Setelah selesai mandi dan berpakaian. Aku melihat istriku sedang melipat pakaian, aku bergumam dalam hati mungkin ini saatnya membicarkan permasalahan kami.

Sayang, Mas mau bicara penting?.

Kalau Mas, hanya membicarakan soal Rumah peninggalan orang tua mas ini, saya tetap dengan pendirian saya Mas."

Eeh, tidak, Mas hanya ingin bertanya, mau sampai kapan kamu marah sama mas?.

Sampai Mas tidak menjual rumah ini.

Kamu tu keras kepala sekali ya, berapa susahnya sih nurut sama Mas.

Mas, yang keras kepala,ya Mas yang ngotot jual rumah ini. Sudahlah Mas, kalau hanya membicarakan ini lagi. Lebih baik kita sudahi aja. Kalau Mas, sayang sama keluarga ini mas, mas tidak akan menjual tanah ini.

Ah terserah kamulah! Mas pergi dulu.

Aku bingung bagaimana membujuk istriku supaya mau menjual rumah ini. Akhirnya aku pergi kewarung pak lumban. Sesampai di sana. Aku memesan kopi.

Ah, Ahmad sudah lama kau tidak kesini, kemana aja kau? Itu muka kayak lepat medan. Ada apa?

Aku sibuk di sawah Pak,  maklumlah mau masa panen.
Aku. Lagi ada masalah. Istriku masih ngotot dia tidak mau di jual Rumah reot itu.

Ah kau itu, tidak pandai merayu. Coba lah kau bawa istri kau jalan kekota, kau belikan dia bunga atau apa gitu.

Mana lah dia mau itu pak lumban. Tapi kalau hadiah mungkin bisa aku pertimbangkan.

Aku pikir, sudah lama sekali aku tidak memberi hadiah untuk istriku, sejak akad sampai sekarang. Anak ku pun sudah kuliah.

Sama siapa aku bisa pesan hadiah itu pak lumban?

Hah, kau ingat si zul anak pak sueb. Yang sekrang balik kekampung ini.

Lah bukan nya Pak Sueb udah lama pindah kekota. Kenapa anaknya pulang kekampung kita.

Kalau yang aku tahu informasinya, dia pulang kekampung karena bosan di kota dan ingin mencari kehidupan disini. Ya aku tidak tahu kenapa dia mencari nafkah kesini, tapi mungkin di kota sudah tidak ada lagi tempat cari nafkah.

Jadi penasaran aku. Tapi kata engkong Lim, Aku jual aja tanah rumah ku dan hidup di kota lebih enak.

Ya mana kita tahu tujuan orang di balik itu Mad.

Ah Tidak jelas juga pak Lumban ini. Kemarin Pak Lumban bilang aku takut istri.

Ah kau itu gk bisa di bawa bercanda.

Ah aku besok mau ke rumahnya Si Zullah.

Suasana hatiku mulai ragu, tapi semua udah terlanjur mengiakan ke Toke untuk jual tanahku, ditambah aku sudah menerima panjar 5 juta.
Ah makin pusing kepala aku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun