"Sudah hampir seminggu kami tidak bertegur sapa. Kami Seperti orang tunawicara tanpa bahasa, orang tunawicara saja masih menggunakan bahasaisyarat sedangkan kami tidak sama sekali.
Walau lah kami tidak bertegur sapa, istriku tetap menjalankan tugas nya layak seorang istri, dengan susah payah ia mengantarkan makanan ke sawah untukku.
Dalam hati ini pun tak tega mendiaminya, tetapi aku kesal dengan sikapnya yang keras kepala. Apa susah nya menjual rumah itu, padahal itu bukan miliknya.
Sayang, kamu marah sama mas? "tanyaku hati hati
Enggak, apa yang mesti aku marahkan sama mas? Jawab istriku cuek.
Tapi, wajahmu dan sikapmu sangat dingin ke mas, wajahmu seperti limau purut, asam! " ujarku sedikit bertanya.
Mas makan dulu, habis tu aku mau pulang kerumah,ada yang ingin aku kerjakan! Sambil menyiapkan makan siang di pondok.
Setelah selesai makan siang,istriku menyusun rantang dan berpamitan pergi. Aku melanjutkan pekerjaan disawah.
Hari telah sore, aku bergegas pulang. Sesampai Dirumah aku melihat istriku sedang menyapu halaman rumah kami yang tidak begitu luas.
Sayang, Mas pulang. "Aku menyapa dia dan dia menyalamku.
Pakain Mas udah diatas kasur , Air udah di siapkan.
"sambil meninggalkanku lalu pergi ke dalam rumah.
Setelah selesai mandi dan berpakaian. Aku melihat istriku sedang melipat pakaian, aku bergumam dalam hati mungkin ini saatnya membicarkan permasalahan kami.
Sayang, Mas mau bicara penting?.
Kalau Mas, hanya membicarakan soal Rumah peninggalan orang tua mas ini, saya tetap dengan pendirian saya Mas."
Eeh, tidak, Mas hanya ingin bertanya, mau sampai kapan kamu marah sama mas?.
Sampai Mas tidak menjual rumah ini.