Pandangan abu-abu mengenai peristiwa Gerakan 30 September sepertinya tetap menjadi abu-abu di era Reformasi saat ini. Seolah-olah pemerintah bersama masa mengatasnamakan Pancasila turut menjadi garda depan membentengi kelahiran Partai berlambang Palu Arit ini.
Selama 32 tahun masyarakat terdoktrin bahwa ideologi Komunis merupakan ideologi penuh darah, mulai dari anti-Agama, anti-Tuhan, dan tidak beradab. Di era orde baru ribuan buku berbau Marxisme dimusnahkan, dan tokoh-tokoh PKI ditahan hingga dibunuh.
Sebelum orde baru runtuh puluhan tokoh yang memperjuangkan reformasi dijadikan tersangka dan dituduh sebagai PKI. Padahal jika kita menengok di masa orde baru, jelas-jelas tokoh-tokoh tersebut tidak memiliki akses mempelajari Komunisme.
menit 12:40 : wawancara salah satu kepada mahasiswa yang merupakan tokoh demostran 98 mengenai pendapatnya mereka di tuduh komunis
“. . . Kami hanya menertawakan jika mereka mengisukan kami sebagai komunis, . . . kami pun tidak tahu seperti apa itu komunis”
Pada era Reformasi, Presiden ke 4 Indonesia yang dikenal dengan sapaan Gus Dur memiliki wacana untuk mencabut TAP MPRS No.23/1996 yang berisi tentang Pembubaran PKI dan Larangan Penyebaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme. Hal tersebut tentu sempat menjadi polemik, hingga akhirnya Gus Dur dilengserkan dan wacana tersebut tidak pernah terlaksana.
Kebangkitan PKI ?
Mulai dari tahun 2014 hingga saat ini masyarakat dikejutkan oleh isu-su kebangkitan PKI. Mulai dari lambang PKI yang menjadi konsumsi publik dimusnahkan (mainan tentara merah / red army di bantul), teriakan HAM perihal korban G30S dianggap sebagai bentuk kelahiran baru PKI (pemutaran film Senyap diboikot oleh ormas hingga aparat kepolisian), hingga yang tak kalah menariknya ialah isu logo Bank Indonesia pada uang 100.000.
Sejak tahun 2009 saya tertarik untuk mencari tahu alasan apa yang menyebabkan komunisme dianggap sebuah ideology yang berseberang dengan Pancasila. Bisa dibilang merupakan Pancasila merupakan sebuah masterpiece design yang diciptakan oleh para pengusung kemerdekaan Indonesia. Nama Pancasila sendiri diambil dari bahasa sansekerta yang memiliki arti panca adalah lima, dan sila adalah prinsip atau asas. Maka Pancasila merupakan Lima Prinsip / Asas yang menjadi pedoman bagi Indonesia.
Sedangkan Komunis sendiri muncul sebagai tandingan atas Paham Kapitalisme, yang merupakan sistem ekonomi politik di mana perdagangan, industri dan alat-alat produksi dikendalikan oleh pemilik swasta dengan tujuan membuat keuntungan dalam ekonomi pasar. Sedangkan Komunisme merupakan sistem ekonomi politik di mana perdagangan, industri dan alat-alat produksi dikendalikan secara komunal / kolektif, bertujuan untuk kesejahteraan secara kolektif atau bersama-sama.
Jika dikaitkan dengan Pancasila tentu kedua paham ini, Komunisme dan Kapitalisme bukanlah merupakan kontradiksi dari Pancasila. Lima butir yang terdapat pada Pancasila lebih bersifat ke arah tujuan sebuah negara atau prinsip sebuah negara. Sedangkan tidak ada butir Pancasila yang memaparkan sebuah cara tujuan itu bisa dicapai.
Pada awalnya saya sedikit pesimis terhadap Pancasila karena hanya memaparkan bentuk-bentuk yang masih abstrak. Hingga pada suatu saat saya kembali kagum dengan karena Pancasila secara perlahan menuntun kita kepada era Post-Modern, “dimana tidak ditemukannya paham tunggal atau sebuah ideologi tunggal, namun justru memayungi berbagai macam ideologi yang bertebaran.” Hal ini sangat cocok dengan latar belakang Indonesia yang memiliki banyak keberagaman mulai dari suku, ras, dan agama.
Menengok ke era Orde-Lama, Soekarno pernah mengusulkan untuk memanyungi berbagai ideologi tunggal dengan manifesnya yang bernama Nasakom (Nasionalis, Agamis, dan Komunis). Soekarno tahu betul bahwa terdapat 3 poros kekuatan di Negara Indonesia. Namun pada kenyataannya masyarakat saat itu belum siap dengan era Post-Modern, Soekarno pun dilengserkan dan menjadi tahanan politik karena dianggap membela komunis. Pada akhirnya sistem ekonomi politik lebih condong ke arah Kapitalisme di era Orde Baru.
Post-Modern di Era Reformasi
Post Modern di Era Reformasi rasanya masih cukup kurang di sadari oleh masyarakat Indonesia. Bahkan terlihat berbagai Politisi kurang berani memberi pemaparan real, dan mereka selalu mencari titik aman pada setiap komentarnya di media. Sampai saat ini hanya Presiden ke-4 yang berani memberi pemaparan real, namun hal itu justru dimanfaatkan oleh politisi lain untuk melakukan mobilisasi masa dengan tujuan melengserannya.
Memang cukup rumit untuk memahami seperti apakah kondisi politik di era post-modern saat ini. Visual yang terlintas di kepala saya ialah sebuah lukisan abstrak yang menampilkan coretan ekspresi tidak tertata, namun pada akhirnya saya pun menemukan sebuah kurva yang mampu di cerna dengan cukup mudah.
Jika kita menengok kebelakang tentang kemerdekaan Indonesia, lahirnya kemerdekaan berawal dari dua titik yang berseberang. Titik pertama ialah Anarchism yang berada di bawah, anarchism sendiri merupakan ideology tandingan dari monarchism, Anarchism (Anti Monarchism) atau anti kerajaan / kemimpinan. Semangat-semangat yang terdapat pada Anarchism cukup sederhana yaitu manusia bebas / merdeka.
Untuk mencapai kebebasan dan kemerdekaan dibutuhkan sebuah mobilisasi masa dengan cara membentuk sebuah kesamaan tujuan yaitu membangun sebuah negara yaitu Indonesia, yang terdapat pada titik atas Fascism atau sebuah kepemimpinan otoriter. Melalui kepemimpinan ini muncul kesamaan tujuan yang di balut rasa nasionalisme. Bisa di katakan kedua titik ini merupakan sebuah kontradiksi yang selalu tarik-menarik, namun pada kenyataannya mampu mencapai kemerdekaan.
Bahkan di era postmodern saat ini sangat jarang pemimpin konsisten tehadap kebijakan politiknya seperti Stalin yang selalu di kiri atas atau Hitler yang selalu di kanan atas. Munculnya berbagai perbedaan paham ideologi tidak harus di perdebatkan lagi, karena pada era saat ini perbedaan tersebut justru bisa dimanfaatkan untuk menemukan titik manakah yang tepat dan sesuai dengan permasalahan apa yang di hadapi.
Contoh Kebijakan Kiri dan Kanan :
Ketika menengok pada kebijakan yang diambil pemerintah saat ini terkadang condong ke kanan (kapitalsm, neo-liberalsm) dan terkadang condong ke kiri (communism, collectivsm) sesuai dengan kebutuhan saat itu. Rasanya sedikit lucu ketika melihat beberapa individu / masa yang berteriak dengan lantang anti komunis kemudian meng-iyakan beberapa kebijakan pemerintah yang berbau kiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H