Mohon tunggu...
Candra umaiyah
Candra umaiyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Bhasa Inggris, Fakultas Bahasa dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Ultan Agung Semarang

DR. Ira Alia Maerani; Candra umaiyah, Dosen FH Unissula; Mahasiswa PBI FBIK

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konsep Bhineka Tunggal Ika di Era Modern dalam Pandangan Islam

28 Juni 2021   06:15 Diperbarui: 28 Juni 2021   06:59 662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dr. Ira Meerani ; Candra Umaiyah

Dosen FH Unissula ; Mahasiswa PBI FBIK Unissula

Bhinneka Tunggal Ika yang berasal dari bahasa Sansekerta itu apabila dipandang dari segi kebahasaan tersusun atas kata “Bhinneka”, “Tunggal”, dan “Ika”. Kata “Bhinneka” berasal dari kata “Bhinna” dan “Ika”. “Bhinna” artinya berbeda-beda dan “Ika” artinya itu. Jadi, kata “Bhinneka” berarti “yang berbeda-beda itu”. Sedangkan kata “Tunggal” artinya satu, dan “Ika” artinya itu. Berdasarkan analisa tersebut dapat disimpulkan bahwa semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” berarti “beranekaragam namun satu jua” yang selalu erat merekat di setiap sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai Bangsa yang majemuk, Indonesia dalam sudut pandang konsep multikulturalisme memberikan penekanan yang terletak pada pemahaman dan hidup dengan perbedaan sosial, budaya dan agama secara individual maupun kelompok. Multikulturalisme tersebut akan berperan sebagai pengikat dan penyatu perbedaanperbedaan yang timbul dalam masyarakat Indonesia yang multikultural sehingga akan menciptakan kestabilan nasional. Selain daripada itu, Semboyan Bhinneka Tunggal Ika memiliki kedudukan yang penting sebagai identitas dan karakter bagi bangsa indonesia, serta menjadi salah satu dari 4 pilar kebangsaan di Indonesia.

Berikut peran Bhinkena Tunggal Ika :

Menjaga Kesatuan Republik Indonesia.

Menciptakan Persatuan Di Indonesia.

Membangun Kehidupan Nasional.

Membangun Berbagai Aspek Di Indonesia.

Mencapai Tujuan Nasional.

Penentu Kebijaksanaan Peraturan Negara.

 Memasuki zaman globalisasi seperti sekarang ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat, globalisasi yang didefinisikan sebagai fenomena kekinian yang membuka jalur terhadap berbagai macam ideologi dan menggiring kepada perubahan sosial yang terbentuk atas interaksi sosial di masyarakat melalui media informasi, telah membawa pengaruh pertentangan secara ideologis “liberalisme” yang berkembang dari aliran “kapitalisme”, serta paham etnosentrisme yang membawa perubahan secara destruktif pada tatanan sosial masyarakat Indonesia. Globalisasi juga telah mendorong berbagai bangsa untuk melakukan pembaharuan dan perubahan termasuk Indonesia. 

Terkait adanya globalisasi yang membawa paham etnosentrisme perlulah mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah maupun masyarakat umum. Sumner (dalam Berry, 1999) menyatakan bahwa etnosentrisme merupakan suatu kecenderungan kuat yang diterapkan suatu kelompok dengan membuat patokan kelopok sendiri sebagai patokan satu-satunya ketika memandang kelompok lain, dengan akibat menempatkan kelompok sendiri pada kedudukan teratas dan mendudukkan kelompok lain pada kedudukan lebih rendah, sedangkan Myers mendefinisikan etnosentrisme sebagai keyakinan suatu kelompok terhadap superioritas etnis dan budayanya sendiri sehingga menganggap rendah kelompok lain di luar kelompoknya. Sehingga dengan demikian etnosentrisme dapat diartikan sebagai pandangan yang menganggap bahwa kelompok atau kebudayaan sendiri lebih baik daripada kelompok atau kebudayaan lainnya.  Tentu dari definisi yang telah tertera di atas kita dapat menyimpulkan bahwa etnosentrisme memiliki implikasi negatif terhadap tatanan sosial masyarakat yang dampak bisa menciptakan konflik antar suku karena masing-masing saling membanggakan budayanya tanpa menghormati budaya lain, adanya aliran politik yang terselubung dalam budaya bangsa, menghambat proses asimilasi atau perpaduan budaya-budaya yang ada serta tidak dapat mengembangkan budanyanya sesuai dengan perkembangan zaman modern. Etnosentrisme memiliki dampak positif bagi suatu bangsa seperti halnya mengintensifkan semangat patriotisme, juga menjaga integritas dan stabilitas budaya serta menghargai cinta untuk bangsanya. Tentu saja jika etnosentrisme yang berlebih akan memberi dampak negativ pada bangsa itu sendiri seperti mendorong konflik sosial dan menghambat proses asimilasi berbagai kelompok. Maka dari itu paham etnosentrime tidak boleh ditafsirkan secara bebas karena dapat merusak konsep Bhineka Tunggal Ika itu sendiri. 

Dalam Islam sendiri konsep Bhineka Tunggal Ika sudah ada sejak zaman dahulu. Selain perbedaan suku bangsa dan warna kulit, Islam juga mengakui adanya perbedaan strata sosial-ekonomi sebagai anugerah dari Allah SWT. Tak bisa dipungkiri, dengan iradah-Nya, manusia diciptakan memiliki perbedaan kekayaan, tingkat pendidikan dan profesi. Allah SWT telah menetapkan rezeki di antara manusia dan membagi kedudukan manusia karena rezeki yang telah Ia berikan. Islam adalah sistem kehidupan yang telah menjamin kebersamaan dan keadilan bagi semua manusia. Secara fikrah maupun tharîqah, seluruh hukum Islam memberikan perlindungan bagi semua kalangan; lintas sosial, suku bangsa, bahkan hingga lintas agama. 

Kemajemukan masyarakat adalah realita Ilahi. Secara fitrah dan hakiki masyarakat memang plural.

Pluralitas berbeda dengan pluralisme. Pluralisme bukanlah seperti yang diterangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya);—kebudayaan berbagai kebudayaan yang berbeda-beda dalam suatu masyarakat. Konsep pluralisme muncul dengan alasan fanatisme agama telah menimbulkan pengkotak-kotakkan masyarakat dan disharmonisasi. Karena itu harus ada cara pandang pluralisme; mendudukkan semua agama dan keyakinan sama rendah dan sama tinggi, termasuk sama benarnya. Jadi, tak ada lagi terminologi kufur dan iman karena keduanya dikaburkan bahkan dihilangkan. 

Dalam sistem Islam tidak dikenal dikotomi masyarakat mayoritas-minoritas. Sekalipun kaum Muslim dominan di suatu wilayah Daulah Khilafah, bukan berarti mereka memiliki privilege atau hak prerogatif yang tidak bisa dimiliki warga minoritas. Di hadapan syariah Islam semua warga adalah sama. Tidak ada gap dan arogansi warga mayoritas. 

Praktik hidup berbhineka, majemuk, plural atau apapun sebutannya telah menjadi catatan emas dalam sejarah dunia yang ditorehkan umat Islam dan para khalifah mereka. Tak ada diskriminasi, gap atau hak privilege pada satu kelompok di atas kelompok lain. 

Ustadz Ali Masykur menjelaskan, bahwa kita sebagai umat Islam yang hidup di negara yang banyak akan suku, budaya, ras, dan agama haruslah menjaga kebinekaan Indonesia agar tetap utuh. Umat Islam tidak perlu melakukan tindakan anarkisme seperti pengeboman-pengeboman dalam menegakkan agama Islam yang mengakibatkan sebuah pandangan bahwa Islam adalah agama yang radikal. Ia berpesan bahwa perdamaian itu harganya sangat mahal. Karena itu, jangan sampai mudah terpancing dengan perbedaan–perbedaan yang ada, sehingga menimbulkan perpecahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun