Mohon tunggu...
Candra D Adam
Candra D Adam Mohon Tunggu... Lainnya - The Man From Nowhere

Pecinta Sepak Bola - Penulis (ke)Lepas(an)

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Hikayat Sepak Bola Wanita Indonesia: Dianggap Runtuhkan Akhlak, lalu Berjaya, dan Kemudian Redup

28 Januari 2022   01:10 Diperbarui: 29 Januari 2022   01:50 1792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buana Putri dalam salah satu pertandingan. (Dok. Majalah Kartini, No. 267 11-24 Februari 1985. Via Historia.id)

Timnas Wanita Indonesia yang tengah berlaga dalam gelaran AFC Women’s Asian Cup 2022, belakangan ini tengah menjadi sorotan. Kekalahan telak 18-0 dari Australia pada fase grup, banyak menimbulkan respon negatif dari kalangan pecinta sepak bola di Indonesia.

Tak sedikit yang menganggap kekalahan telak tersebut adalah gambaran bahwa Indonesia belum siap dengan Timnas Wanita-nya. Kompetisi sepak bola wanita yang saat ini nasibnya belum jelas setelah terkena efek pandemi, disebut sebagai salah satu alasan dari ketidaksiapan Timnas Wanita.

Padahal, di bawah asuhan Rudy Eka Priyambada, nyatanya Timnas Wanita berhasil menembus AFC Women’s Asian Cup 2022 setelah penantian panjang selama 33 tahun. Terakhir kali Timnas Wanita berlaga di AFC Women’s Asian Cup (Sebelumnya bernama AFC Women’s Championship) adalah pada 1989 di Hongkong.

Penampilan Zahra Musdalifah dan kawan-kawan dalam 2022 AFC Women's Asian Cup qualification, sejatinya tidak terlalu buruk. Timnas wanita bahkan mampu menyingkirkan Singapura di fase Grup lewat 2 kali kemenangan dengan skor masing-masing 1-0.

Ini sekaligus menjadikan Garuda Pertiwi lolos ke Putaran Final AFC Women’s Asian Cup 2022, karena Korea Utara dan Iraq yang tergabung di Grup C bersama Indonesia dan Singapura, memilih untuk mengundurkan diri akibat Covid-19.

Dan jika kita melihat lebih dalam lagi, menurut FIFA dalam update terbarunya per tanggal 10 Desember 2021, Timnas Wanita Indonesia ada pada urutan ke 94 Women’s World Rangking, dan ada di urutan 19 AFC Women’s Rangking, serta menempati urutan ke 7 dalam AFF Women’s Rangking.

Kelahiran Sepak Bola Wanita di Indonesia

Sejatinya, sepak bola wanita di Indonesia sudah eksis setidaknya selama lebih dari 50 tahun. Dan di era sepak bola modern seperti sekarang, seharusnya sepak bola wanita bukanlah hal yang asing bagi Indonesia.

Buana Putri dalam salah satu pertandingan. (Dok. Majalah Kartini, No. 267 11-24 Februari 1985. Via Historia.id)
Buana Putri dalam salah satu pertandingan. (Dok. Majalah Kartini, No. 267 11-24 Februari 1985. Via Historia.id)

Sebagai sebuah bangsa yang cukup fanatik dengan budaya sepak bolanya, Indonesia setidaknya punya modal pengetahuan dalam mengembangkan sepak bola wanitanya.

Eksistensi kaum Hawa dalam sejarah sepak bola di Indonesia, sebenarnya bisa kita lacak jauh hingga ke era 60-an. Nama Wiwi Hadhi Kusdarti, mungkin terdengar asing bahkan bagi pecinta sepak bola Indonesia sendiri.

Yang tak banyak orang tahu, bahwa Mace (Sapaan akrab Wiwi Hadhi Kusdarti) bisa dibilang sebagai pionir sepak bola wanita di Indonesia.

Berawal dari Surat Pembaca yang dikirimkan oleh Mace ke Redaksi Harian Umum Pikiran Rakyat, pada 16 Januari 1969, yang isinya adalah pendapat Mace tentang pembentukkan tim sepak bola wanita di Indonesia. Yang petikannya sebagai berikut,

Redaksi jth, Setelah membatja "PR" tgl 17 1968 tentang kemungkinan dibentuknja Kesebelasan Wanita di Indonesia, saja berpendapat, ada baiknja kalau mulai dari sekarang diadakan suatu pendaftaran chusus bagi wanita2 jang berhasrat untuk mengikuti latihan2 sepakbola.

Saja kira, tidak adanja minat dari kaum wanita Indonesia untuk bermain sepakbola, hanja karena perasaan malu, sebab di Indonesia belum ada Kesebelasan Wanita seperti diluar negeri. Tapi saja jakin, bahwa wanita2 Indonesia pun tidak kalah dengan wanita2 dari negara2 lainnja dalam tjabang olahraga ini.

Oleh sebab itu saja mengadjak kaum wanita Indonesia, terutama jg ada di Bandung ini jg berminat dalam lapangan sepakbola, untuk bersama2 membentuk kesebelasan dan berlatih, misalnja dibawah pimpinan Persib sendiri.

Apalagi sekarang sudah banjak kesebelasan2 wanita dari luar negeri jang mengundang kita. Mudah2an adjakan ini mendapat sambutan dari kawan2 sesama wanita jang berminat untuk terdjun dalam tjabang olahraga ini.

Bak gayung bersambut, surat Mace yang sudah dimuat dalam Harian Umum Pikiran Rakyat, direspon dengan positif oleh Pimpinan Tim Putra Priangan, salah satu klub anggota Persib Bandung. Secara pribadi, Mace kemudian diminta untuk mengikuti rapat bersama pengurus Persib.

Dari rapat tersebut, kemudian menghasilkan keputusan untuk membentuk sebuah tim sepak bola wanita pada 5 Februari 1969, dengan nama Kesebelasan Sepak Bola Wanita (KSW) Putri Priangan. Dan dalam sejarah panjang sepak bola Indonesia, KSW Putri Priangan kemudian dikenal sebagai tim sepak bola wanita pertama di Indonesia.

Setelah munculnya KSW Putri Priangan, kemudian mulai muncul banyak kesebelasan sepak bola wanita lainnya di Bandung. Hal ini kemudian berdampak pada pendirian kesebelasan-kesebelasan wanita di Ibu Kota Republik Indonesia, Jakarta.

Tersebutlah nama Kesebelasan Sepak Bola Wanita Buana Putri, yang terbentuk di Jakarta dan disponsori oleh salah satu unit dari Perusahaan Surat Kabar Baratha Yudha, yaitu Koran Buana. Sebelumnya, Koran Buana juga sudah memiliki Kesebelasan Putra yang bernama Buana Putra.

Pasang Budy Al Shodiq, dalam Skripsi yang berjudul Emansipasi Olahraga: Wanita dalam Sepakbola Indonesia Pada Masa Orde Baru di Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2019. Menyebutkan bahwa Buana Putri terbentuk dari kelompok pemudi yang dulu memiliki sebutan RIC (Remaja Indonesia Club). Di dalamnya, terdapat atlet-atlet putri berbakat yang ada di wilayah Ibukota Jakarta.

Dan masih menurut Shodiq,  Buana Putri terbentuk berkat kemunculan tim sepakbola wanita sebelumnya, yaitu Putri Priyangan. Buana Putri adalah tim sepakbola wanita yang didirikan oleh Dewi Wibowo, istri dari pemilik perusahaan koran Bharata Yudha. Dewi Wibowo ini yang pada akhirnya menjadi ketua dari Liga Sepakbola Wanita (Galanita) atau BKSW (Badan Kerjasama Sepakbola Wanita)

Mencoba Mendobrak Budaya Patriarki

Perjuangan Mace, Dewi Wibowo, dan para pegiat sepak bola wanita lainnya di Indonesia bukan tanpa pertentangan, karena pada waktu itu sepak bola wanita masih sangat tabu dan dianggap melampaui fitrah perempuan.

Bahkan salah satu Surat Kabar Nasional, mengecam kegiatan Mace, Dewi, dan kaum Hawa lainnya yang bergelut di lapangan hijau, lewat headline yang berjudul "Sepak Bola Wanita Runtuhkan Akhlak".

Namun, para pegiat sepak bola wanita saat itu tak bergeming dengan hujatan dan cacian yang meluncur liar kepada mereka. Seperti sebuah lumut yang didera air hujan terus menerus, hujatan-hujatan tersebut justru merangsang tumbuhnya aktifitas sepak bola wanita di berbagai daerah di Indonesia.

Kemudian mulai muncul banyak tim sepak bola wanita di daerah lain seperti di Jakarta, Malang, Tegal, Surabaya, Ambon, dan berbagai daerah lainnya.

Jika dilihat lebih jauh lagi, kemunculan sepak bola wanita di dunia sejatinya tidak terlalu jauh dari kemunculan sepak bola yang dimainkan oleh kaum Adam. Pada 23 Maret 1895, sebuah pertandingan sepakbola wanita pertama terjadi di Lapangan Crouch End Athletic, Alexandra Park, London, yang mempertemukan Tim Utara dan Tim Selatan.

Pada waktu itu, di Inggris dan hampir semua wilayah di benua eropa, kebebasan perempuan dalam berpakain masih sangat terbatas. Sehingga Kedua Tim tidak bermain dengan kaos dan celana pendek seperti halnya sepakbola lelaki karena dianggap terlalu vulgar. Sebagai gantinya, mereka menggunakan blouse, topi dan celana baggy tiga-perempat yang lazim digunakan saat itu.

(Baca juga: "Paradoks" Belanda dalam Sejarah Sepak Bola Indonesia)

Kemunculan sepak bola wanita di dunia, yang berawal  dari eropa, juga tidak lepas dari hujatan banyak pihak yang masih terpengaruh dengan budaya patriarki. Sehingga saat itu, sepak bola wanita sempat gagal berkembang karena banyaknya anggapan bahwa sepak bola adalah olahraga yang keras, dan tidak pantas dilakukan oleh kaum perempuan.

Nama Lady Florence Dixie dan Nettie J. Honeyball, kemudian dikenal sebagai tokoh pendobrak budaya patriarki yang ada di kalangan masyarakat Inggris kala itu. Lady Florence adalah seorang penulis, dan lewat tulisan-tulisannya ia kerap menyuarakan dukungan terhadap sepak bola wanita.

Dalam salah satu tulisannya, Florence mengatakan bahwa, “Sepak bola adalah olahraga untuk wanita, hiburan semua orang lain yang akan memastikan kesehatan, dan membantu dalam menghancurkan monster berkepala hydra itu, pakaian wanita saat ini”.

Sedangkan Netty Honeyball adalah seorang pesepakbola wanita sekaligus kapten di timnya. Honeyball pernah mendapatkan hujatan, karena beredarnya sebuah foto tentang dirinya yang menggunakan kostum sepak bola seperti halnya laki-laki. Hal ini dinilai menyalahi etika berbusana kaum perempuan eropa di masa itu.

Namun Honeyball menjawab tekanan tersebut dengan mengatakan bahwa, “Perempuan bukanlah makhluk penghias dan tidak berguna yang digambarkan laki-laki. Kami tidak memainkan anggota la-di-da. Kami memainkan permainan dengan semangat yang tepat,”.

Frederic Angels dalam bukunya “The Origin of the Family, Private Property, and the State” yang terbit pada 1884, menyebut bahwa budaya patriarki sebagai sistem dominasi paling awal dan tercatat dalam sejarah dunia mengenai kekalahan jenis kelamin perempuan.

Dalam pengertian Angels ini, patriarki dipahami sebagai bentuk dari organisasi politik yang mendistribusikan kekuasaan secara tidak setara antara laki-laki dan perempuan sehingga merugikan perempuan.

Definisi budaya patriarki tersebut, kemudian terus menerus diperbarui sejak abad 20. Seperti menurut Women’s Human Rights Education Institute, budaya patriarki adalah distribusi kekuasaan yang tidak merata antara laki-laki dan perempuan dalam aspek-aspek tertentu dalam sebuah masyarakat.

Budaya patriarki, yang sejatinya hingga kini masih bisa kita jumpai dalam tatanan sosial masyarakat modern di berbagai belahan dunia, memang seakan menempatkan perempuan pada “lantai dasar” aktivitas kehidupan manusia.

Dan sepak bola sebagai olahraga permainan kolektif, yang beberapa diantaranya ditujukkan untuk mengikis diskriminasi kelas sosial dan mengangkat semangat egalitarianisme, pada kenyataannya justru beberapa kali terhalang oleh budaya patriarki.

Wiwi Hadhi Kusdarti, Dewi Wibowo, Lady Florence Dixie, dan Nettie J. Honeyball, pada akhirnya patut untuk ditahbiskan sebagai para pendobrak belenggu budaya patriarki dalam kehidupan sosial masyarakat, khususnya dalam sepak bola.

Karena jasa mereka dalam menyemai semangat kesetaraan di lapangan hijau, membuat nama mereka terukir dalam sejarah panjang perjalanan sepak bola wanita.

Di era modern seperti sekarang, FIFA, sebagai induk organisasi sepak bola dunia, mencoba menjadi yang terdepan dalam mengusung semangat kesetaraan di lapangan hijau, sehingga bisa diikuti oleh Federasi dan Asosiasi sepak bola di berbagai wilayah di dunia. Hal ini bisa kita dapati pada banyaknya kejuaraan sepak bola wanita yang digelar secara resmi, dan masuk dalam kalender resmi FIFA.

Era Kejayaan Sepak Bola Wanita Indonesia

Buana Putri, sebagai salah satu pionir kesebelasan sepak bola wanita di Indonesia, dalam sejarahnya kemudian berhasil mendominasi di hampir tiap gelaran turnamen sepak bola wanita. Saudara tuanya, Putri Priangan, bahkan banyak kehilangan para pemain bintangnya yang berpindah ke Buana Putri.

Sebagai tim sepak bola wanita yang saat itu dianggap terbaik di era 70-an hingga 90-an, dominasinya dalam kancah sepak bola wanita di tanah air salah satunya bisa dilihat lewat capain Buana Putri dalam berbagai gelaran seperti Piala Kartini, Piala Gubernur DKI, dan Piala Invitasi Galanita (Piala Bu Tien Soeharto).

Prestasi Buana Putri di dalam negeri kemudian menjadikannya memperoleh kesempatan untuk mewakili Indonesia di berbagai kompetisi level internasional, setidaknya sebelum Timnas Wanita dibentuk. Salah satu prestasi terbaik Buana Putri di kompetisi level internasional adalah ketika berhasil menempati peringkat ke-4 fase grup dalam gelaran Piala Asia Wanita 1981 di Hongkong.

Sementara, Putri Priangan, sebagai kesebelasan wanita pertama di Indonesia, jauh lebih lama lagi bahkan pernah melakukan partai eksibisi melawan kesebelasan wanita asal Penang, Malaysia. Tepatnya pada 13 Maret 1969, Putri Priangan sebagai tuan rumah kalah 0-5 dari Kesebelasan Wanita Penang.

Lalu pada 9 Agustus 1969, untuk pertama kalinya Putri Priangan diundang tampil dalam partai sepak bola wanita internasional di Singapura, yaitu Pesta Sukan (Kemerdekaan Singapura), mewakili Indonesia. Sayangnya, Putri Priangan kalah di partai eksebisi tersebut dari tuan rumah Singapura lewat babak tos koin.

Dan karena mulai tumbuhnya gairah sepak bola di kalangan wanita di Indonesia, membuat PSSI yang kala itu dipimpin oleh Sjarnoebi Said kemudian menggelar kejuaran wanita di Indonesia, yaitu Piala Kartini pada 1981 dan Invitasi Liga Sepak Bola Wanita (Galanita) pada 1982.

Piala Kartini I kemudian diselenggarakan pada 23 hingga 27 Mei 1981. Tercatat ada empat kesebelasan wanita yang ikut serta pada turnamen ini, diantaranya adalah Putri Priangan (Bandung), Putri Pagilaran (Pekalongan), Sasana Bakti (Surabaya), dan Buana Putri (Jakarta).

Hasilnya, Buana Putri muncul sebagai kampiun Piala Kartini I, setelah berhasil mengalahkan Putri Priangan. Kala itu Papat Yunisal dan kawan-kawan harus mengakui keunggulan Buana Putri dengan skor 1-0, lewat gol tunggal Katherina di partai final.

Pertandingan Piala Kartini I sendiri diadakan di Stadion Pluit, Jakarta Utara. Meskipun geliat sepak bola wanita sudah berlangsung cukup lama di Indonesia, namun sebagai turnamen resmi pertama yang digelar oleh PSSI, Piala Kartini I mendapat animo yang cukup besar di kalangan masyarakat waktu itu.

Sedangkan Invitasi Galanita I, diselenggarakan pada 21 hingga 31 Oktober 1982, yang dibuka secara resmi oleh Menko Kesra, Surono. Pembukaan Invitasi Galanita I, juga dihadiri oleh Gubernur DKI Jakarta, Soeprapto, dan Ketua Umum PSSI Sjarnoebi Said. Salah satu tujuan diadakannya Invitasi Galanita 1982, yaitu ingin menghimpun 30 pemain yang akan diikutsertakan pada Piala Asia Wanita edisi kelima.

Invitasi Galanita I, diikuti oleh 9 tim yaitu Buana Putri (Jakarta), Putri Jaya (Jakarta), Putri Priangan (Bandung), Putri Pagilaran (Pekalongan), Putri Mataram (Yogyakarta), Mojolaban (Sukoharjo), Putri Setia (Surabaya), Anging Mamiri (Makassar), dan Putri Cendrawasih (Jayapura).

Buana Putri lagi-lagi mendominasi dengan tampil sebagai kampiun Invitasi Galanita I. Buana Putri berhasil melewati babak penyisihan grup dan semifinal, dengan mengalahkan Putri Pagilaran dengan skor 4-0 di Stadion Kuningan, yang sekarang dikenal dengan Stadion Soemantri Brodjonegoro, Jakarta Selatan.

Kesuksesan Buana Putri, bahkan mampu menarik hati salah seorang Sutradara Film, Arizal. Dalam Film Warkop DKI yang berjudul Maju Kena Mundur Kena (1983), yang juga mengangkat jargon “Mengolahragakan Mayarakat dan Memasyarakatkan Olahraga”, yang kala itu sedang menjadi trending topic di masyarakat. Sebagai Sutradara, Arizal mengajak Buana Putri untuk tampil dalam salah satu scene pertandingan sepak bola di Film ini.

Jika kita mundur sedikit di tahun 1980, Jakarta bahkan menjadi provinsi pertama yang menggelar Galanita dari 27 provinsi yang ada di Indonesia saat itu. Komisaris Daerah (Komda) PSSI DKI Jakarta, di bawah kepemimpinan Urip Widodo, resmi menggelar Galanita yang bertepatan dengan Hari Kartini, pada 21 April 1980.

(Baca juga: PSSI: Antara Kebijakan Pragmatis dan Regenerasi di Timnas)

Penyelenggaraan Galanita, merupakan ide dari Ketua Umum PSSI saat itu, Ali Sadikin, lewat Sidang Pengurus Paripurna (SPP) PSSI pada 6 - 8 Oktober 1978. Selain Galanita, PSSI juga mengembangkan sepak bola melalui Liga Sepak Bola Utama (Galatama), Liga Sepak Bola Karyawan (Galakarya) dan Liga Sepak Bola Siswa (Galasiswa).

Gelaran Galanita DKI I, diikuti oleh 7 peserta, yaitu Putri Jaya, Dharma Putri, Putri Sunda Kelapa, Wanita Warga Jaya, Putri Metropolitan, PSPB Marunda dan Bandar Jakarta. Dan pada waktu itu, kesebelasan Buana Putri mendapatkan keuntungan untuk langsung bermain di babak final. Galanita DKI I, memperebutkan piala dari Gubernur DKI Jakarta saat itu, Tjokropranolo.

Partai pembuka Galanita DKI I, mempertemukan kesebelasan Putri Metropolitan vs Dharma Putri di stadion Menteng, Jakarta Pusat, pada 21 April 1980. Pertandingan dibuka dengan tendangan pertama ketua Biro Galanita Jakarta, Dewi Wibowo, pendiri Buana Putri sekaigus istri dari Ketua Umum Persija saat itu, Sukarno Hadi Wibowo.

Pada Galanita DKI I, Buana Putri keluar sebagai kampiun setelah pada pertandingan final mengalahkan Putri Sunda Kelapa 4-0, pada 10 Mei 1980. Dan pada peringkat kedua dan ketiga, masing-masing ditempati oleh Putri Sunda Kelapa dan Putri Jaya.

Kepak Sayap Garuda Pertiwi di Kancah Internasional

Jika kita bicara capaian Timnas Putri Indonesia di kancah Internasional, Garuda Pertiwi menjalani debutnya pada Piala Asia 1977, di Taiwan. Tercatat, Timnas Wanita Indonesia berhasil tampil dalam 5 gelaran AFC Women’s Asian Cup (sebelumnya bernama AFC Women’s Championship), yaitu pada 1977, 1981 (Diwakili oleh Buana Putri), 1986, 1989, dan terakhir pada 2022 yang saat ini sedang terselenggara di India.

Pada gelaran AFC Women’s Asian Championship 1977 di Taiwan, kala itu Garuda Pertiwi mampu melaju hingga ke babak semifinal. Dan berhasil menempati peringkat ke-4, setelah kalah 0-2 dari Singapura di perebutan tempat ke-3.

Pada gelaran AFC Women’s Asian Championship 1977, Indonesia tergabung dalam Grup A bersama Taiwan dan Jepang. Indonesia yang finish di peringkat ke-2 Grup A, berhasil lolos ke babak semifinal bersama Taiwan sebagai peringkat pertama Grup A.

Di fase grup, Timnas Wanita Indonesia berhasil mengalahkan Jepang dengan skor 1-0 lewat gol tunggal dari Lantang. Meskipun pada pertandingan versus Taiwan, Indonesia digilas dengan skor 0-5. Dan di partai Semifinal, Indonesia harus kalah dari Thailand dengan skor 1-2, sekaligus menutup kans untuk melaju ke final.

Lalu pada gelaran AFC Women’s Championship 1981 di Hong Kong, Timnas Wanita yang diwakili oleh Buana Putri tergabung dalam Grup B bersama Taiwan, Thailand, dan Jepang. Namun pada gelaran ini, Indonesia tidak mampu berbicara banyak karena hanya mampu berkutat sebagai juru kunci di klasemen akhir Grup B, sehingga menutup kans untuk lolos ke babak semifinal.

Dan pada AFC Women’s Championship 1986 yang juga terselenggara di Hong Kong, Garuda Pertiwi tergabung di Grup B bersama Thailand, Hong Kong, dan Nepal. Indonesia berhasil menempati peringkat ke-2 klasemen akhir Grup B, sekaligus menjadikannya lolos ke babak semifinal bersama Thailand sebagai peringkat pertama klasemen akhir Grup B.

Pada babak semifinal AFC Women’s Championship 1986, Garuda Pertiwi yang saat itu dilatih oleh Muhardi, lagi-lagi gagal melaju ke partai final setelah dipecundangi oleh Republik Rakyat Tiongkok dengan skor 0-9. Timnas Wanita Indonesia yang pada saat itu dipunggawai oleh nama-nama seperti Rosita Pella, Rukijah, Elan Kaligis, dan Atmini, hanya mampu finish dengan meraih peringkat ke-4, setelah kalah 1-3 melawan Thailand dalam partai perebutan tempat ke-3.

Kemudian pada AFC Women’s Championship 1989 yang juga kembali bertempat di Hong Kong, Timnas Putri Indonesia tergabung di Grup B bersama Jepang, Hong Kong, dan Nepal. Kala itu Garuda Pertiwi gagal lolos dari fase grup setelah hanya mampu bercokol di peringkat ke-4 klasemen akhir Grup B.

Pada gelaran AFC Women’s Championship 1989, Timnas Wanita yang dilatih oleh Uan Hermawan,  tercatat hanya meraih satu kemenangan dari Nepal dengan skor 8-0, dan bermain imbang ketika bersua Hong Kong dengan skor 0-0, serta kalah telak dari Jepang dengan skor 0-11.

Sedangkan pada kejuaraan SEA Games, Garuda Pertiwi tercatat 5 kali tampil di ajang Pesta Olah Raga Asia Tenggara itu, diantaranya pada 1997, 2001, 2003, 2005, dan 2019. Dari 5 kali penampilannya di SEA Games, prestasi terbaik Garuda Pertiwi adalah ketika finish di peringkat ke-4, dalam 2 gelaran SEA Games yaitu di era kepelatihan Muhardi, pada 1997 dan 2001.

Lalu pada gelaran AFF Women’s Championship, Garuda Pertiwi mampu tampil 8 kali dalam gelaran yang pertama kali diadakan pada 2004 ini. Yaitu pada 2004, 2007, 2008, 2011, 2013, 2015, 2018, dan 2019. Dari 8 penampilan di AFF Women’s Championship, prestasi terbaik Garuda Pertiwi adalah di era kepelatihan Yusuf Bachtiar, yang berhasil finish di peringkat ke-4 pada 2004 di Vietnam.

Sementara pada ajang Asian Games, Timnas Putri Indonesia hanya satu kali berpartisipasi yaitu pada Asian Games 2018 di Indonesia. Sebagai tuan rumah, Garuda Pertiwi gagal lolos ke babak penyisihan. Dalam gelaran ini, Garuda Pertiwi tergabung dalam Grup A bersama Korea Selatan, Maladewa, dan Taiwan.

Di babak fase grup Asian Games 2018, Tim asuhan Satia Bagdja ini hanya mampu finish di peringkat ke-4, di bawah Korea Selatan dan Taiwan. Di fase grup ini, Timnas Putri 2 kali kalah yaitu dari Korea Selatan dengan skor 12-0, dan dari Taiwan dengan skor 4-0. Satu-satunya kemenangan Garuda Pertiwi adalah ketika bersua Maladewa dengan skor  6-0.

Mencoba Bangkit dari Keterpurukan

Jika kita melihat dari perjalanan sejarahnya, sepak bola wanita di Indonesia sempat mengalami keredupan setidaknya sejak pergolakan sosial dan politik yang terjadi pada 1998. Mandegnya kompetisi reguler sepak bola wanita semacam Piala Kartini dan Invitasi Galanita, membuat sepak bola wanita di Indonesia nyaris tenggelam ditelan keterbatasan.

Hal ini juga berpengaruh terhadap perjalanan Timnas Wanita Indonesia di kancah Internasional. Timnas Wanita Indonesia tercatat absen dalam gelaran AFC Women’s Asian Cup sejak 1989, dan selama 33 tahun penantian panjangnya, hingga kemudian di tahun ini Garuda Pertiwi kembali berpartisipasi pada AFC Women’s Asian Cup 2022 di India.

Hal yang sama juga terjadi pada perjalanan Timnas Wanita di ajang Women’s Tournament SEA Games, setelah keikut sertaannya pada 1997, 2001, 2003, dan 2005, Garuda Pertiwi juga sempat absen pada 4 gelaran yaitu pada 2007, 2009, 2013, dan 2017. Garuda Pertiwi kembali ikut serta dalam ajang Women’s Tournament SEA Games yaitu pada 2019.

Sementara dari 11 kali gelaran AFF Women’s Championship, Timnas Wanita Indonesia tercatat 3 kali absen dalam gelaran Turnamen Sepak Bola Asia Tenggara tersebut, yaitu pada 2006, 2012, dan 2016. Bahkan pada AFF Women’s Championship 2012, Timnas Wanita Indonesia tercatat mengundurkan diri dari gelaran tersebut.

Setelah vakumnya kompetisi regular antar klub sepak bola wanita di Indonesia, kemudian pada 6 Oktober 2019, PSSI menghidupkan kembali kompetisi regular sepak bola wanita nasional. Liga 1 Putri (Women’s League One) ditetapkan sebagai kompetisi kasta teratas sepak bola wanita, dan di kasta ke dua ada Liga Permaisuri.

Pada musim perdana Liga 1 Putri 2019, terdapat 10 tim wanita dari 18 klub Liga 1 yang  mengikuti kompetisi tersebut, diantaranya adalah Persija Putri, PSM Makassar Putri, Persib Putri, TIRA-Persikabo Kartini, Bali United Putri, Arema Putri, PSIS Semarang Putri, Persebaya Putri, PSS Sleman Putri, dan Galanita Persipura.

Format Liga 1 Putri 2019 sendiri, membagi 10 tim peserta ke dalam dua grup. Dan setiap grup akan memainkan empat seri pertandingan di stadion tuan rumah, dengan lima kali pertandingan untuk setiap seri. Dua tim terbaik dari setiap grup akan maju ke babak semifinal. Sementara pada babak semifinal dan final akan menggunakan format kandang-tandang.

Persib Putri keluar sebagai kampiun di musim perdana Liga 1 Putri ini. Setelah berhasil menaklukan TIRA-Persikabo di partai final dengan Agregat 6-1, dari dua partai yang dijalani yaitu 3-0 dan 3-1. Namun Liga 1 Putri sendiri baru bergulir sekali pada musim perdananya di 2019, setelah pada 2020 dan 2021 mengalami kevakuman dikarenakan Pandemi Covid-19.

Sebelum Liga 1 Putri bergulir, sebenarnya sudah ada kompetisi skala nasional yang bernama Piala Pertiwi, namun kompetisi ini bukanlah kompetisi antar klub seperti Galanita atau Liga 1 Putri, melainkan kompetisi antar Asprov (Asosiasi Provinsi) PSSI.

Piala Pertiwi sendiri adalah turnamen nasional utama sepak bola putri di Indonesia, dan merupakan bagain dari Piala Indonesia yang diikuti oleh klub-klub sepak bola putra. Kompetisi ini dikelola oleh Asosiasi Sepak Bola Wanita Indonesia (ASBWI), di bawah pengawasan PSSI, dan telah diadakan sejak tahun 2006.

Dan pada tahun 2022 ini, melalui pernyataan resmi dari Ketua Umum Asosiasi Sepak Bola Wanita Indonesia (ASBWI) yaitu H. Nadalsyah, Piala Pertiwi direncanakan akan bergulir pada 13 Februari 2022. Sementara untuk Liga 1 Putri sendiri direncanakan akan bergulir pada Agustus 2022.

ASBWI sebagai wadah sepak bola wanita Indonesia, memperoleh mandat dari PSSI untuk merencanakan dan menyelenggarakan Liga 1 Putri musim ke-2, serta mempersiapkan seleksi pemain untuk Timnas Wanita Indonesia yang akan berlaga di AFC Women’s Asian Cup 2022.

Dalam AFC Women’s Asian Cup 2022, dari 23 punggawa Garuda Pertiwi hanya ada 4 pemain yang berasal dari klub, yaitu Shalika Aurelia (Roma Calcio), Sabrina Mutiara (Arema Putri), Octavianti Dwi Nurmalita (Persiba Putri) dan Riska Aprilia (PSS Sleman Putri). Dan juga ada 1 pemain yang berasal dari Persiba Female FC yang berlaga di Woman Pro futsasl League, yaitu Rani Mulyasari. Sedangkan 18 pemain lainnya berasal dari berbagai Asprov PSSI.

Selain diterpa kekalahan telak 18-0 dari Australia di AFC Women’s Asian Cup 2022, Timnas Putri juga mengalami 2 kekalahan lainnya, yaitu dari Thailand dengan skor 4-0 dan dari Filipina dengan skor 6-0. Timnas Putri sendiri berada di Grup B bersama Australia, Filipina dan Thailand, dan terpaksa harus menjadi juru kunci di klasemen akhir Grup B, sekaligus menyingkirkan Rani Mulyasari dan kawan-kawan di AFC Women’s Asian Cup 2022.

Dari 3 pertandingan yang dijalani Garuda Pertiwi di AFC Women’s Asian Cup 2022, dengan total 28 kebobolan dan tanpa satu gol pun tercetak, tentunya menjadi catatan buruk bagi Rudy Eka Priyambada dan para anak asuhnya. Namun, kembalinya Garuda Pertiwi setelah 33 tahun absen dari gelaran AFC Women’s Asian Cup 2022, menjadikan prestasi tersendiri bagi Timnas Wanita yang bahkan kompetisinya sedang vakum.

Jika kita bicara soal kekalahan telak yang merundung Garuda Pertiwi di AFC Women’s Asian Cup 2022, skor telak yang terjadi dalam pertandingan sepak bola wanita sejatinya adalah hal yang terbilang wajar. Kazakhstan juga pernah dibantai 17-0 oleh Jerman pada Kejuaraan Eropa Wanita di 2011. Pada Kualifikasi Piala Dunia Wanita 2002, Guam bahkan pernah dibantai 19-0 oleh Iran.

Kemenangan Inggris 20-0 atas Latvia, bahkan melampaui kemenangan terbesar mereka sebelumnya ketika berhasil menggilas Hongaria dengan skor 13-0 pada 2005. Kemudian ada Kanada yang menghajar telak Puerto Rico 21-0, di Kejuaraan Wanita CONCACAF 1998. Australia juga pernah mengang besar 22-0 kontra Tonga dalam Kualifikasi Piala Dunia 2002 Zona Oceania.

Tahiti pernah pesta gol ketika kontra Kepulauan Cook dengan skor 30-0 dalam ajang South Pacific Games 1971. Autralia bahkan pernah mencatatkan rekor kemenangan terbesar dalam sejarah Timnas Wanitanya ketika berhasil mencabik-cabik Samoa Amerika dengan skor telak 31-0.

Namun rekor kekalahan terbesar dalam sejarah sepak bola dunia, sekaligus kebobolan terbanyak dalam sebuah gelaran kompetisi, menimpa Mikronesia dalam ajang Pacific Games 2015 di Papua Nugini. Tim U-23 Mikronesia sejatinya belum pernah terbentuk hingga tahun 2014, sebelum akhirnya diundang ke ajang Pacific Games pada 2015.

Mikronesia tampil buruk lewat kekalahan mereka dalam tiga pertandingan, dengan total kebobolan 114 gol. Kekalahan pertama adalah 30-0 dari Tahiti, kemudian kekalahan yang ke dua adalah 38-0 dari Fiji, serta yang terakhir oleh Vanuatu dengan skor 46-0.

Tentu tidak fair jika membandingkan sepak bola wanita dengan sepak bola pria, karena sejatinya sepak bola pria sendiri punya kompetisi profesional yang digelar secara konsisten dan berjenjang di berbagai negara, dan di berbagai Asosiasi dan Federasi di dunia. Skor-skor telak dalam pertandingan sepak bola wanita bisa terjadi karena ketidak seimbangan kualitas antar tim yang berlaga.

Ketidak seimbangan kualitas ini terjadi diantaranya karena pengelolaan sepak bola wanita yang kurang serius. Seperti yang terjadi pada sepak bola wanita Indonesia, performa buruk Garuda Pertiwi adalah imbas dari ketiadaannya kompetisi sepak bola wanita yang regular dan professional di tanah air, setidaknya dalam 2 tahun ini.

Kembalinya Liga 1 Putri yang rencananya akan bergulir pada Agustus 2022, serta Piala Pertiwi yang akan digelar pada 13 Februari 2022, diharapkan akan menjadi kawah candradimuka bagi para pesepakbola wanita di Indonesia. Ini sekaligus menjadi harapan bagi para pecinta sepak bola Indonesia, untuk kembali melihat Garuda Pertiwi tampil dalam gelaran prestisius sepak bola wanita di Asia atau bahkan Dunia.

Kebangkitan sepak bola wanita di Indonesia, sudah seharusnya disambut dan disuntik dengan berbagai macam dukungan baik dari para stake holder sepak bola Indonesia, maupun para pecinta sepak bola Indonesia.

Dan kegagalan Timnas Wanita di AFC Women’s Asian Cup 2022, tidak serta merta menjadikan publik sepak bola pesimis dalam melihat perkembangan sepak bola wanita Indonesia. Bagaimanapun seharusnya kita patut bangga dengan capaian Garuda Pertiwi.

(Baca juga: Kurniawan dan Jejak Para Pelatih Indonesia di Mancanegara)

(Sumber: RSSSF.com ; panditfootball.com ; indosport.com ; bola.kompas.com ; fifa.com ; pssi.org)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun