Pada awal kehadirannya, Sepak Bola memang belum terlalu banyak diminati oleh kebanyakan Warga Hindia Belanda sendiri. Selain karena bukan menjadi Olah Raga yang paling populer, Sepak Bola pada awalnya hanya dimainkan oleh Kaum Kasta teratas dalam Struktur Sosial Masyarakat di Hindia Belanda. Â Hal ini juga didasari oleh sikap Pemerintah Kolonianl di Hindia Belanda sendiri terhadap Penduduk Pribumi.
Menurut Raymond Kennedy, Kolonialisme Belanda memiliki ciri pokok yang diantaranya adalah membeda-bedakan Warna Kulit, dan jarak Sosial yang jauh antara Bangsa Terjajah dengan Penjajah. Ini tercermin dalam Stratifikasi Sosial yang ditetapkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Stratifikasi Sosial tersebut antara lain adalah, Golongan pertama yaitu Orang Belanda dan Orang Eropa (Kulit Putih). Sementara Golongan kedua adalah Orang Timur Asing (Arab, Tionghoa, India, dll). Dan di Golongan Ketiga barulah Orang Pribumi. Pembagian Golongan dan Kasta yang berdasarkan Ras, Suku Bangsa, dan Warna Kulit pada Penduduk Hindia Belanda ini, juga disahkan melalui Undang-Undang Article 163 Indische Staatsregeling.
Pembedaan Golongan Kelas Sosial berdasar warna kulit tersebut, diikuti pula dengan pembedaan hak dan kewajiban yang diterima. Hal ini bertujuan untuk menjaga prestise Pemerintah Kolonial dengan menciptakan Superioritas Orang Kulit Putih dan Inferioritas Kaum Pribumi. Dari sini, kita bisa membayangkan bagaimana Kesenjangan Sosial dalam kehidupan Masyarakat Hindia Belanda yang juga bisa kita dapati dalam Kegiatan Olah Raga, termasuk Sepak Bola.
Sebagai imbas dari stratifikasi sosial tersebut, lahirlah diskriminasi. Diskriminasi, ada di berbagai sektor kehidupan Masyarakat Pribumi di Hindia Belanda, termasuk juga di Sepak Bola. Bagaimanapun, ini merupakan sebuah ironi, karena pada awal kehadirannya di dunia, Sepak Bola dimaksudkan Sebagai Olah Raga Kolektif yang tak mengenal Latar Belakang dan Kelas Sosial.
Politik Kelas atau Golongan yang dianut oleh Kolonial Belanda pada waktu itu juga berdampak pada Sepak Bola. Beberapa klub yang didirikan oleh etnis tertentu hanya boleh diisi oleh Pemain yang berasal dari etnisnya. Hal ini berdampak pada munculnya Klub Sepak Bola bangsa Eropa, Klub Sepak Bola bangsa keturunan China, dan Klub Sepak Bola Bangsa Pribumi.
Karena setiap etnis melarang pertandingan antar etnis, maka muncullah Klub, Federasi, dan versi Kompetisi Sepak Bola yang berbeda pula untuk setiap etnis tersebut. Akan tetapi pada awalnya, justru hanya kompetisi buatan bangsa Eropa-lah yang mengizinkan pertandingan antar etnis ataupun mengizinkan klub mereka diisi oleh etnis selain Eropa.
Klub-klub yang didominasi oleh Bangsa Eropa asli dan sebagian kecil Bangsa Keturunan (Indo) dan pribumi yang berkompetisi dalam Turnamen Lokal di beberapa kota besar di Jawa, kemudian membentuk Federasi Sepak Bola kota yang mewakili keseluruhan Klub dari masing-masing kota.
Pada akhirnya mereka membuat sebuah Kompetisi antar Federasi yang mewakili Klub-klub kota asal Peserta. Turnamen sepak bola antar Federasi kota pertama yang diadakan diwakili oleh Federasi empat kota besar di Jawa, yaitu Batavia, Surabaya, Bandung, dan Semarang, yang dilangsungkan pada akhir bulan Agustus 1914 di Semarang, dengan nama Koloniale Tentoonstelling.
Pemenang dari turnamen ini adalah Federasi sepak bola Batavia (WJVB). Pemegang trofi pertama kompetisi ini adalah Kapten Kesebelasan Federasi Batavia, yaitu Ben "Jos" Stom yang merupakan mantan Pemain Tim Nasional (Timnas) Belanda, dan pemegang rekor penampilan pertama kali bersama Timnas Belanda dengan 9 penampilan.
Turnamen antar Federasi kembali digelar setiap tahun di tempat yang berbeda. Setahun setelah Turnamen pertama yang diadakan di Semarang, tahun berikutnya diadakan turnamen dengan nama Koloniale Tentoonstelling-Beker di Batavia. Pada turnamen ini, Â WJVB masih diperkuat oleh Ben "Jos" Stom, walau trofi juara kemudian hilang karena dicuri pada Kompetisi kedua ini.