Mohon tunggu...
Candra D Adam
Candra D Adam Mohon Tunggu... Lainnya - The Man From Nowhere

Pecinta Sepak Bola - Penulis (ke)Lepas(an)

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Belajar Sepak Bola Bersama "Ssaem" Shin Tae-Yong

25 Desember 2021   16:33 Diperbarui: 28 Januari 2022   04:03 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Shin Tae-Yong saat masih berseragam Seongnam Ilhwa. (Dok. inews.id)

Shin Tae-Yong, adalah pelatih asing ke-21 yang pernah dikontrak PSSI untuk menangani Timnas Indonesia, sejak era Pelatih asing pertama asal Belanda, Johannes Mastenbroek (1934-1938). Tae-Yong yang merupakan mantan Gelandang Serang Seongnam Ilhwa Chunma ini, adalah pelatih asing non-eropa ke dua yang menangani Timnas Indonesia, setelah Pelatih asal Singapura Choo Seng Quee (1951-1953).

Tae-Yong yang kelahiran 26 Mei 1969, mengawali karirnya sebagai Pelatih Sepak bola professional di klub yang juga pernah dibelanya sebagai pemain di K-League, Seongnam Ilhwa Chunma (2008 -2012). Capaian prestisius dalam Portofolio-nya sebagai Pelatih, adalah ketika menangani Timnas Korea Selatan di ajang FIFA World Cup 2018 di Russia. 

Bahkan saat itu Tim yang diasuhnya mampu menekuk Jerman dengan Skor 2-0 di Fase Group, meskipun keduanya tak berhasil lolos ke fase Knockout. 

Kemenangan atas Jerman adalah Sejarah Baru yang diciptakan Shin Tae-Yong bersama para anak asuhnya, yang di dalamnya ada nama-nama seperti Son Heung-Min, Ki Sung-yueng, Hwang Hee-chan dan Koo Ja-cheol.

Tak hanya itu, di Olimpiade Musim Panas 2016, Tae-Yong bersama dengan Timnas U-23 Korsel, berhasil menjadi Juara Group yang di bawahnya ada Jerman, Mexico, dan Fiji. Namun di Babak Perempat Final, Tae-Yong Bersama Timnas U-23 Korsel-nya disingkirkan oleh Honduras. 

Setahun sebelumnya di 2015, Tae-Yong Bersama Timnas Senior Korsel juga berhasil mencapai Final AFC Asian Cup 2015 melawan Australia, namun lagi-lagi Shin harus memupus mimpinya untuk menjadikan Korsel Juara, karena di partai Final tersebut Australia menyingkirkan mereka dengan skor 2-1.

Secara personal, Tae-Yong tidak terlalu asing dengan Negara Katulistiwa yang Timnas-nya sedang ia pegang saat ini. Saat membela Seongnam Ilhwa, sebagai Pemain dan Kapten Tim ia pernah bersua Klub asal Indonesia di Fase Group Asian Champions League 2004, yaitu Persik Kediri. 

Kala itu dalam partai kandang Seongnam, di Tancheon Sports Complex pada 11 Mei 2004 , Persik yang waktu itu masih digawangi nama-nama seperti Hamka Hamzah, Harianto, Khusnul Yuli, dan Juan Carlos, harus rela digilas 15-0. Shin Tae-Yong menyumbang 1 gol di laga kandang tersebut.

Terlepas dari itu semua, nama Tae-Yong sebagai pemain professional asal Korsel memang tak begitu dikenal oleh publik sepak bola Asia pada umumnya, tak seperti juniornya yang mampu berkarier dan menembus belantara Eropa seperti, Ahn Jung-Hwan, Park Ji-Sung, Park Chu-Young, dan penyerang Fenomenal Son Heung-Min. Tae-Yong tercatat hanya berkarier di K-League bersama Seongnam Ilhwa (1992-2004), dan Klub A-League, Queensland Roar (2005) hingga pensiun sebagai pemain di tahun 2005.

Lantas, Bagaimana dengan hasil dan capaian Timnas bersama Pelatih-pelatih dari Eropa sebelumnya?

Dari semua pelatih asing -yang kebanyakan dari Negara-negara di Eropa Timur dan Belanda- hanya beberapa saja yang mampu "melahirkan" prestasi di kompetisi resmi bagi Timnas Indonesia. Jika bicara prestasi di Level Asia dan Dunia, maka capain terbaik Timnas Indonesia ada di Era Kepelatihan Antun Pogacnick, yaitu peringkat keempat Asian Games 1954, dan perempat final Olimpiade Musim Panas 1956. Dan di era sebelum Indonesia merdeka, Johannes Mastenbroek pernah membawa Timnas yang waktu itu masih bernama Hindia Belanda di Babak awal Piala Dunia 1938.

(Baca juga: "Paradoks" Belanda dalam Sejarah Sepak Bola Indonesia)

Dan dari sekian banyak pelatih asing yang pernah menangani Timnas Indonesia, tercatat baru Antun Pogacnik dari Kroasia yang memiliki kontrak terlama bersama PSSI, yaitu dari Tahun 1954 hingga 1963. Kemudian sejak era 2000-an, kebanyakan pelatih Timnas Indonesia hanya mendapatkan kontrak yang singkat-singkat, sehingga sulit bagi Timnas untuk berkembang dan mendapatkan program jangka Panjang dari pelatih.

Selanjutnya sejak era 2000-an, tercatat ada nama-nama seperti Ivan Venkov Kolev (Bulgaria), Peter White (Inggris), Alfred Riedl (Austria), Wim Rijsbergen (Belanda), Luis Blanco (Argentina), Jacksen Tiago (Brazil), Luis Milla (Spanyol), dan terakhir Simon McMenemy (Inggris).

Dari semua Pelatih Asing sejak era 2000-an ini, secara capaian, Timnas Indonesia di Kompetisi Level AFF dan AFC tak mampu bicara banyak. Di AFC Cup Timnas kita hanya mampu bersaing di babak grup Piala Asia 2007, di bawah arahan Ivan Kolev. Dan di AFF Cup Timnas 3 kali jadi Runner UP di bawah asuhan Ivan Kolev pada 2002, sementara pada 2010 dan 2016  dibawah asuhan Alfred Riedl.

Bagaimana dengan era Luis Milla?

Di era kepelatihan mantan pemain Real Madrid dan Barcelona ini, secara capaian, Milla hanya mampu membawa Timnas sampai di perempat final Asian Games 2018, dan Peringkat ketiga SEA Games 2019.

Bagi publik sepak bola di Indonesia, mungkin Luis Milla-lah yang di era modern, secara taktik dan filosofi mampu membuat publik sepak bola Indonesia berharap banyak. Gaya permaianan pelatih asal Spanyol ini, serta filosofi sepak bola yang dibawanya, banyak menuai pujian dan harapan dari para pandit dan pemerhati sepak bola di Indonesia.

Seperti Umumnya pelatih asal spanyol, "demam" Tiki-taka coba dibawa Milla agar menular ke permainan Timnas Indonesia. Hasilnya? Jika diukur secara prestasi tentu tidak lah fair, Milla Resmi melatih Timnas Indonesia di Tahun 2018 dan putus kontraknya dengan PSSI di Tahun 2019. Seyogyanya, memang butuh waktu lebih untuk bisa menilai kinerja Pelatih dalam melatih Tim sekelas Timnas Indonesia dari segi permainan dan prestasi.

Turunnya Milla dari Kursi Kepelatihan Timnas Indonesia waktu itu menuai banyak respon dari publik sepak bola Indonesia, dan kebanyakan adalah respon Negatif. Itupun ditujukan kepada para pemegang "kekuasaan" di PSSI. Publik menyoroti hal ini sebagai sebuah Trend Negatif nan De Javu, PSSI dinilai terlalu pragmatis dalam mengelola masa depan Timnas, karena terlalu sering dan singkatnya Timnas gonta-ganti pelatih, jika dirasa gagal membawa Timnas Juara.

(Baca juga: "Duri dalam Daging" dan "Kambing Hitam" Timnas Indonesia)

Publik bahkan menuduh PSSI hanya mau instan terhadap pencapaian Timnas, tanpa mau berpikir lebih panjang dalam proses pengembangan secara keseluruhan. Tuduhan demi tuduhan di layangkan, terutama di media sosial, tak sedikit yang mengkritik para punggawa di elit PSSI yang dianggap punya Orientasi terhadap Politik Praktis dan Bisnis Semata. Para Elit ini dinilai menjadikan Sepak Bola hanya sebagai Tools mereka dalam rangka "memuluskan"kepentingan bisnis dan politik secara pribadi.

Kembali ke Shin Tae-Yong, di era inilah sebijaknya kita memang sudah harus Move On terhadap kejadian yang menimpa Luis Milla. Setidaknya hingga gelaran AFF Suzuki Cup 2020 di Singapura yang sedang bergulir saat ini, jika dilihat dari catatan pertandaingan yang telah dijalani Timnas bersama Tae-Yong, dalam laga resminya (hingga 24 Desember 2021), Timnas Senior sudah mencatatkan 6 kemenangan, 2 seri, dan 4 kekalahan.

Tentunya tidak fair jika kita melihat Polesan Tae-Yong hanya dari catatan tersebut. Secara pragmatis tujuan sepak bola memanglah kemenangan, tapi apakah kita lupa bahwa dalam mencapai sebuah kemenangan perlu banyak hal yang harus dilakukan?

Bahkan untuk kasus Timnas kita, Shin sendiri menyatakan keprihatinannya di awal-awal bergabungnya ia dengan Timnas. Bisa diartikan bahwa akan sangat banyak PR untuk Shin, bahkan setelah gelaran AFF Suzuki Cup 2020 usia. Yang berarti lagi bahwa untuk mencapai Kemenangan demi kemenangan, perlu dilakukan banyak hal untuk membangun performa Timnas agar selalu meningkat dan konsisten.

Kita, publik sepakbola Indonesia, tentunya ingin kemenangan-kemenangan Timnas diraih dengan "indah" dan dalam performa yang sangat baik serta konsisten. Tentunya itu semua harus dilalui dengan berbagai proses, padahal kita sendiri sama-sama tahu bagaimana performa Timnas sebelum Shin "hadir".

Secara teknis, jika kita mau melihat permainan dan filosofi yang diterapkan Tae-Yong, Timnas sedang ada dalam perkembangan ke arah positif. Permainan menekan di segala lini yang diterapkan Tae-Yong tentunya membutuhkan dukungan stamina yang kuat dari para pemain.

Padahal jika kita melihat permainan Timnas sebelumnya, stamina adalah salah satu hambatan bagi performa para pemain kita. Hal ini bisa kita dapatkan di pertandingan-pertandingan Timnas dan Petandingan-pertandingan kompetisi Liga 1, bagaimana kebanyakan pemain seperti kehabisan tenaga, setidaknya di menit 70 ke atas atau di penghujung babak ke dua. Terlihat dari banyaknya gol yang terjadi, baik di klub ataupun di timnas sering terlihat "kecolongan" dalam pertandingan di babak ke dua.

Jika anda ingat statemen Tae-Yong di awal kepelatihannya di Timnas, bahwa pemain kita punya masalah dalam stamina, bagaimana secara fisik pemain kita masih lemah, sehingga pemain-pemain kita kesulitan untuk memanage staminanya di lapangan.

Kita bisa lihat di Level Asia Tenggara, Timnas kita secara fisik dan stamina masih ada di bawah Vietnam dan Thailand, meskipun kemudian terlihat lebih membaik dan berprogres di gelaran AFF Suzuki Cup 2020 saat ini. Jika bicara performa Timnas sebelum AFF Suzuki Cup 2020, para pemain kita sering anti-klimaks dalam banyak pertandingan, terutama di penghujung babak ke dua walaupun dalam posisi unggul secara skor dari lawan.

Dengan kondisi fisik yang prima dan stabil, serta konsisten dalam tiap pertandingannya, Shin mengharapkan gaya permainan menekan yang ia terapkan, akan mampu diaplikasikan oleh pemain di lapangan. Tak hanya soal menekan, shin juga mengharapkan pemain kita mampu bermain cepat, terutama dalam hal Transisi pemain, baik saat bertahan atau menyerang.

Di saat kita punya kesempatan untuk menyerang balik lewat ruang-ruang kosong yang ditinggalkan pemain lawan, baik di area garis pertahanan dan tengahdari lawan, pemain kita diharapkan mampu dengan cepat memanfaatkan momen-momen tersebut. Tentunya sekali lagi, pemain dituntut untuk kuat secara fisik dan stamina, serta punya kecepatan diatas rata-rata pemain lawan.

Dan dalam posisi diserang balik pun, gelandang bertahan dan stopper kita, atau pemain-pemain kita yang terdekat dengan garis pertahanan sendiri, dituntut untuk bergerak lebih cepat guna memutus counter attack dan menghalau pergerakan yang sedang dibangun lawan.

Bisa dibayangkan betapa banyaknya tenaga yang harus dikuras dalam mengaplikasikan gaya permainan Tae-Yong ini. Belum lagi soal penyusunan serangan yang terorganisir dari kaki ke kaki, dalam pengamatan saya, keinginan Shin ini setidaknya sudah dapat direalisasikan oleh para pemain di dua pertandingan, yaitu kontra Malaysia dan Sigapura di Babak Group dan Semifinal AFF Suzuki Cup 2020. Gol pertama Irfan Jaya saat melawan Malaysia, dan Gol Witan Sulaiman saat bersua Singapura di leg pertama semifinal AFF Suzuki Cup 2020, adalah representasi dari taktik serangan yang diinginkan Tae-Yong.

Memang berbeda dengan Tiki-taka yang dibangun dengan operan bola sejak dari garis pertahanan sendiri, taktik serangan Tae-Yong menekankan pada pemanfaatan ruang gerak, terutama ketika pressing yang dilakukan pemainnya berhasil melepaskan bola dari kaki lawan. 

Dan juga permainan bola dari kaki ke kaki dengan kombinasi Short Pass, True Pass dan Long Ball, baik dari tengah atau pun belakang sektor permainan kita. Untuk Saya, gaya permainan Tae-Yong justru lebih Dinamis di antar lini. Namun memang membutuhkan fokus yang tinggi, akurasi umpan, dan kecepatan pergerakan baik tan pa bola ataupun dengan bola. Di samping itu semua, stamina nafas kuda juga sangat diperlukan.

Soal akurasi umpan, dan teknik mengumpan Bola, ini pun pernah dikeluhkan oleh Tae-Yong terhadap pemain-pemain kita. Sedangkan dari segi pertahanan, setidaknya Shin sudah menemukan apa yang dimau, terutama ketika berhasil menemukan pemain yang menyuguhkan permainan bertahan nan kokoh. Saya sakan sebut beberapa yang paling menonjol dari sekian Defender yang kita punya di Timnas Senior AFFSuzuki Cup 2020, diantaranya Alfeandra Dewangga, Fachrudin, dan Rizki Ridho.

Ketiganya mampu bermain rapat dan disiplin sebagai tembok kokoh Timnas, tak terhitung sudah berapa kali Intercep yang dilakukan Dewa (Dewangga) dari tiap match-match yang dilakoninya. Blocking-blocking dan Marking yang dilakukan Fachrudin dan Ridho juga sedikit banyak mampu menetralisir rasa cemas di lini belakang Timnas.

Diantara ketiga terbaik yang saya sebutkan, mungkin Dewa yang paling komplit. Pemain berusia 20 Tahun asal PSIS Semarang ini, tidak hanya sukses bertugas sebagai Stopper, perannya sebagai Libero, mampu membuat serangan-serangan Timnas bisa terlahir dari lini belakang.

Dewa, beberapa kali terlihat bekerja keras untuk membantu serangan dari "sektor bawah" dengan umpan-umpannya, baik Truepass atau Longball, memang tidak semuanya punya akurasi Tinggi, namun setidaknya  mampu menambah kreatifitas permaianan, dan tentu menjadi suguhan yang indah dalam permainan sepak bola modern di Timnas Indonesia.

Rachmat Irianto, putra legenda Klub Bajul Ijo, Bejo Sugiantoro, juga bisa dikatakan cukup sukses menjalankan perannya sebagai Gelandang Bertahan. Tidak hanya lewatt Intercep dan pressing-pressing yang ditunjukannya, "tusukan-tusukan" nya di garis depan pertahanan lawan, mampu memecah konsentrasi Bek lawan dalam mengantisipasi pergerakan winger-winger Timnas yang bergerak cepat nan tak terduga, seperti Irfan dan Witan .

Beberapa kali Rachmat ikut merangsek ke depan garis pertahanan lawan, sehingga memudahkan para winger dan full back kita untuk bergerak lebih bebas, untuk kemudian menusuk atau mengirimkan umpan berbahaya di kotak penalty lawan. Seperti yang kita lihat lewat Gol pertama Timnas yang dicetak Irfan Jaya Kontra Malaysia.

Dalam permainan cepat nan menekan yang coba disuguhkan Tae-Yong, memang terlihat seperti mendisfungsikan peran striker sebagai ujung tombak lini depan. False nine seperti yang coba ditunjukkan Tae-Yong sebenarnya tidak benar-benar mematikan peran striker sebagai pencetak gol. 

Saya ambil Contoh Roberto Firmino di Liverpool, sebagai seorang False Nine, dia masih mampu menunjukkan taringnya sebagai Striker Pembunuh. Tentu jika bicara kualitas memang tidak fair membandingkan Bobby (Firmino) dengan striker-striker Timnas seperti Ezra Walian, Kushedya, Dedik, atau Hanis Sagara.

Namun apa yang diterapkan Tae-Yong untuk pemain False Nine-nya memang belum sesuai harapan. Kerja Ezra, Yudho, Dedik, dan Hanis yang bergantian mengisisi posisi striker Tunggal di Timnas, belum kita rasakan sepenuhnya efektif. Ezra seperti sering terlihat kwalahan mengikuti gaya permainan cepat dan menekan kawan-kawan di belakangnya. Sedangkan Yudho dan Dedik, yang dianggap cocok dengan gaya main Tae-Yong yang cepat dan bertekanan tinggi, terkesan tidak tampil dalam performa terbaiknya seperti yang mereka suguhkan setidaknya ketika membela Arema Malang.

Dan untuk Hanis, meskipun belum diberikan waktu bermain yang cukup, dan lebih banyak bermain dari bench, dalam beberapa kesempatan, pergerakan dan visi bermainnya sebenarnya patut kita apresiasi dan harapkan.

Di luar peran False Nine yang belum teraplikasi dengan baik, dalam permainan Timnas Indonesia di  gelaran AFF 2020 ini, kita masih belum bisa untuk benar-benar melihat peran lebih dari para Full Back-nya. Peran Asnawi Bahar di kanan, dan Pratama Arhan, masih harus dimaksimalkan dengan lebih baik. Terlepas dari Assist-nya saat melawan Singapura, Asnawi belum benar-benar ada dalam perorma terbaiknya. Terbukti ketika melawan Vietnam, pos yang ditempatinya bahkan menjadi bulan-bulanan winger dan gelandang Vietnam.

Begitupun dengan Arho (Pratama Arhan), terlepas dari performa terbaiknya saat melawan Malaysia, kontribusinya di sisi kiri pertahanan Timnas masih harus ia perbaiki dan tingkatkan. Arho masih sering melakukan kesalahan dalam kontrol bola dan umpan-umpannya, ia bersama Asnawai yang sering overlap ke depan dan meninggalkan posnya, beberapa kali menjadi celah untuk lawan dalam membuat jalur untuk serangan balik, walaupun pada akhirnya bisa dinetralisir juga oleh Defender-defender kita yang lain.

Terlepas dari pujian yang saya lemparkan, masih banyak PR -jika tidak bisa dikatakan sebagai kritik- untuk Shin dengan para pemain mudanya di Timnas Indonesia. Passing, sebagai Teknik dasar permainan sepak bola, yang sempat Tae-Yong kritik dan keluhkan dari awal, adalah juga PR besar bagi para punggawa Timnas saat ini. Soal Passing yang jelek, beberapa pemain asing yang pernah atau sedang merumput  di Liga Indonesia, pun mengeluhkan hal yang senada dengan Tae-Yong.

Banyak pemain ekspatriat yang mengeluhkan bagaiaman capek-nya bermain di Liga Indonesia, pemain dituntut untuk harus berlari-lari demi mengambil bola dari passing yang tak akurat. Terutama ketika harus dihadapkan dengan umpan lambung, umpan lambung yang terlalu melenceng lebar dari target, tentu akan menyulitkan si penerima umpan, karena harus mengejar dan mengambil bola dari umpan yang tak akurat, dan ini butuh tenaga lebih. Setidaknya itu jadi gambaran kecil dari kualitas Sepak Bola kita selama ini.

Soal efektivitas permainan, memang jadi salah satu yang Tae-Yong tekankan kepada para pemain Timnas. Umpan yang tidak efektif hanya akan menyulitkan rekan sendiri, dan bisa jadi merusak pola permainan yang akan dan sedang dibangun.

Di luar beberapa masalah teknis tadi, ada beberapa faktor non-teknis yang juga jadi pekerjaan rumah Tae-Yong. Masalah Mental. Mungkin di gelaran AFF Suzuki Cup 2020 ini  -setidaknya hingga fase Semifinal- kita belum melihat bagaimana mental yang "ngedrop" hadir dalam diri punggawa Timnas secara keselururhan.

Padahal dahulu hal ini seperti sebuah "kebiasaan" bagi pemain kita, mental yang gampang jatuh. Lawan Vietnam, meskipun Tae-Yong dikritik juga karena dianggap menerapkan sepak bola Bertahan, namun secara mental pemain-pemain kita teruji selama 90 menit.

Bagaimanapun, mental yang spartan dari para punggawa Timnas masih rentan untuk jatuh, apalagi dilihat dari segi Usia rata- rata punggawa Timnas Indonesia yang tergolong muda di gelaran AFF Cup 2020 ini, yaitu 23,8 tahun, menjadikan Timnas kita sebagai Tim dengan usia rata-rata termuda ke empat dengan Timor Leste sebagai yang pertama yaitu 21,3 tahun. Mental spartan yang ditunjukkan para garuda muda ini tentunya harus tetap dirawat dan dipupuk.

Bicara soal usia,  kenapa Tae-Yong justru mengisi skuad Timnas Indonesia Senior saat ini, dengan mayoritas Pemain Mudanya?

Dalam pandangan saya, ini adalah bagian dari "Proyek" jangka Panjang yang "Peletakan Batu Pertama"-nya sudah dan untuk seterusnya sedang dijalankan oleh Shin Tae-Yong. Jika dilihat, Tae-Yong tidak hanya sedang memperbaiki performa Timnas Indonesia, tapi bahkan sedang membangun dari yang lebih dasar lagi. Karena bagi Tae-Yong, untuk menjadikan Timnas tampil  dengan performa terbaik dan konsisten, perlu filosofi sepakbola yang diletakkan sebagai pondasi yang baru.

Tentu akan sulit bagi Tae-Yong, untuk menerapkan filosofi sepak bola yang baru, bagi para pemain yang secara usia sudah "terkontaminasi" kebiasan-kebiasan dalam bermain sebelumnya. Butuh Gelas Kosong agar ketika diisi air yang jernih tak membuat warna jernihnya berubah.

Sejauh ini, di luar segala macam ekspektasi besar publik sepak bola Indonesia terhadap Tae-Yong, saya melihat sosok Tae-Yong sebagai seorang Filsuf di Sepak Bola, setidaknya di persepakbolaan Indonesia saat ini.

Mungkin saya terlihat lebay atau naif? Terserah penilaian anda saja.

Yang jelas dari statemen-statemen yang dikeluarkan Tuan Shin di beberapa momen sebelumnya, salah satunya adalah bagaimana dia ingin bekerja keras Bersama pemainnya dalam 90 menit pertandingan, dengan tetap Berdiri di pinggir lapagan.

Dan kita sebagai publik sepak bola Indonesia, sepatutnya tidak boleh terlalu Overproud, ekspektasi berlebihan, dan terlalu larut dalam euforia. Karena bagaimanapun, mayoritas punggawa Timnas saat ini adalah para Garuda Muda, kita tidak boleh terlalu membebani mereka dengan itu semua.

Kita tetap harus mendoakan dan mendukung setiap perjuangan para punggawa Timnas dan Staff Pelatih, dan tetap terus mengamati dan mendukung kerja-kerja berikutnya dari Shin Tae-Yong beserta Staff dan anak-anak asuhnya. Sembari kita belajar Sepak Bola dan Filosofinya kepada Ssaem Shin.

(Sumber: transefrmarkt.com ; indosport.com; bola.kompas.com)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun