Bisa dibayangkan betapa banyaknya tenaga yang harus dikuras dalam mengaplikasikan gaya permainan Tae-Yong ini. Belum lagi soal penyusunan serangan yang terorganisir dari kaki ke kaki, dalam pengamatan saya, keinginan Shin ini setidaknya sudah dapat direalisasikan oleh para pemain di dua pertandingan, yaitu kontra Malaysia dan Sigapura di Babak Group dan Semifinal AFF Suzuki Cup 2020. Gol pertama Irfan Jaya saat melawan Malaysia, dan Gol Witan Sulaiman saat bersua Singapura di leg pertama semifinal AFF Suzuki Cup 2020, adalah representasi dari taktik serangan yang diinginkan Tae-Yong.
Memang berbeda dengan Tiki-taka yang dibangun dengan operan bola sejak dari garis pertahanan sendiri, taktik serangan Tae-Yong menekankan pada pemanfaatan ruang gerak, terutama ketika pressing yang dilakukan pemainnya berhasil melepaskan bola dari kaki lawan.Â
Dan juga permainan bola dari kaki ke kaki dengan kombinasi Short Pass, True Pass dan Long Ball, baik dari tengah atau pun belakang sektor permainan kita. Untuk Saya, gaya permainan Tae-Yong justru lebih Dinamis di antar lini. Namun memang membutuhkan fokus yang tinggi, akurasi umpan, dan kecepatan pergerakan baik tan pa bola ataupun dengan bola. Di samping itu semua, stamina nafas kuda juga sangat diperlukan.
Soal akurasi umpan, dan teknik mengumpan Bola, ini pun pernah dikeluhkan oleh Tae-Yong terhadap pemain-pemain kita. Sedangkan dari segi pertahanan, setidaknya Shin sudah menemukan apa yang dimau, terutama ketika berhasil menemukan pemain yang menyuguhkan permainan bertahan nan kokoh. Saya sakan sebut beberapa yang paling menonjol dari sekian Defender yang kita punya di Timnas Senior AFFSuzuki Cup 2020, diantaranya Alfeandra Dewangga, Fachrudin, dan Rizki Ridho.
Ketiganya mampu bermain rapat dan disiplin sebagai tembok kokoh Timnas, tak terhitung sudah berapa kali Intercep yang dilakukan Dewa (Dewangga) dari tiap match-match yang dilakoninya. Blocking-blocking dan Marking yang dilakukan Fachrudin dan Ridho juga sedikit banyak mampu menetralisir rasa cemas di lini belakang Timnas.
Diantara ketiga terbaik yang saya sebutkan, mungkin Dewa yang paling komplit. Pemain berusia 20 Tahun asal PSIS Semarang ini, tidak hanya sukses bertugas sebagai Stopper, perannya sebagai Libero, mampu membuat serangan-serangan Timnas bisa terlahir dari lini belakang.
Dewa, beberapa kali terlihat bekerja keras untuk membantu serangan dari "sektor bawah" dengan umpan-umpannya, baik Truepass atau Longball, memang tidak semuanya punya akurasi Tinggi, namun setidaknya  mampu menambah kreatifitas permaianan, dan tentu menjadi suguhan yang indah dalam permainan sepak bola modern di Timnas Indonesia.
Rachmat Irianto, putra legenda Klub Bajul Ijo, Bejo Sugiantoro, juga bisa dikatakan cukup sukses menjalankan perannya sebagai Gelandang Bertahan. Tidak hanya lewatt Intercep dan pressing-pressing yang ditunjukannya, "tusukan-tusukan" nya di garis depan pertahanan lawan, mampu memecah konsentrasi Bek lawan dalam mengantisipasi pergerakan winger-winger Timnas yang bergerak cepat nan tak terduga, seperti Irfan dan Witan .
Beberapa kali Rachmat ikut merangsek ke depan garis pertahanan lawan, sehingga memudahkan para winger dan full back kita untuk bergerak lebih bebas, untuk kemudian menusuk atau mengirimkan umpan berbahaya di kotak penalty lawan. Seperti yang kita lihat lewat Gol pertama Timnas yang dicetak Irfan Jaya Kontra Malaysia.
Dalam permainan cepat nan menekan yang coba disuguhkan Tae-Yong, memang terlihat seperti mendisfungsikan peran striker sebagai ujung tombak lini depan. False nine seperti yang coba ditunjukkan Tae-Yong sebenarnya tidak benar-benar mematikan peran striker sebagai pencetak gol.Â
Saya ambil Contoh Roberto Firmino di Liverpool, sebagai seorang False Nine, dia masih mampu menunjukkan taringnya sebagai Striker Pembunuh. Tentu jika bicara kualitas memang tidak fair membandingkan Bobby (Firmino) dengan striker-striker Timnas seperti Ezra Walian, Kushedya, Dedik, atau Hanis Sagara.