Mohon tunggu...
Candra D Adam
Candra D Adam Mohon Tunggu... Lainnya - The Man From Nowhere

Pecinta Sepak Bola - Penulis (ke)Lepas(an)

Selanjutnya

Tutup

Bola

"Duri dalam Daging" dan "Kambing Hitam" Timnas Indonesia

21 Desember 2021   13:00 Diperbarui: 28 Januari 2022   04:32 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah anda bisa menyebutkan berapa kali Tim Nasional (Timnas) Sepakbola Indonesia gagal meraih gelar juara dalam sebuah Turnamen atau Kompetisi? Jika saya boleh bantu jawab maka jawabannya adalah, Banyak. Anda dan saya mungkin akan lebih mudah jika menghitung dan menyebutkan berapa kali Timnas Indonesia menjuarai Kompetisi yang berkelas setidaknya di Kawasan Regional Asia khususnya Asia Tenggara, karena memang sangat sedikit.

Apakah itu kemudian akan menegasikan kepercayaan saya dan anda terhadap peluang Timnas untuk Juara pada kompetisi-kompetisi di kemudian hari? Tentunya tidak. Bagaimanapun kita mungkin akan sama-sama setuju bahwa Sepak Bola adalah alat pemersatu, begitupun dengan Timnas Indonesia yang kita anggap  sebagai alat pemersatu Bangsa sekaligus sebagai simbol Nasionalisme .

Dan bicara soal Nasionalisme, seperti dalam Imagined Communities (1983), Ben Anderson mengatakan bahwa “Nasionalisme ada dalam bayangan karena anggotanya -bahkan dari bangsa terkecil sekalipun- tidak akan pernah mengenal sebagian besar sesama anggota mereka, menemui mereka, atau bahkan mendengarkan mereka, namun dalam pikiran masing-masing hidup citra persekutuan mereka”.

Terlepas dari setuju atau tidaknya dengan Teori Nasionalisme-nya Ben Anderson, disini saya tidak akan membahasnya panjang lebar, karena bagaimanapun memang sulit untuk dipungkiri bahwa Sepak Bola -dalam hal ini Timnas Indonesia- bisa jadi adalah wujud dari citra persekutuan Bangsa Indonesia sebagai sebuah simbol Nasionalisme.

Dalam sejarah Panjang-nya, meskipun secara resmi oleh FIFA tercatat sebagai Timnas pertama di Asia yang mengikuti ajang World Cup di tahun 1938, namun Timnas Indonesia Senior belum sekalipun mencatatkan Namanya sebagai Kampiun di ajang-ajang resmi yang diakui FIFA, AFC, atau AFF sekalipun.

(Baca juga: "Paradoks" Belanda dalam Sejarah Sepak Bola Indonesia)

Sampai hari ini Timnas Indonesia Senior hanya mampu membuktikan diri di gelaran non-resmi, seperti diantaranya adalah pada Turnamen Merdeka Games dimana Timnas Indonesia Senior tiga kali menjadi Kampiun di Ajang yang diikuti oleh negara-negara Asia dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Malaysia itu, yaitu di Tahun 1961, 1962, dan 1969.

Selain Merdeka Games adalah pada Aga Khan Gold Cup 1961, Kings Cup 1968, Pesta Sukan Singapura 1972, dan Anniversary Cup 1972. Berikutnya pada SEA Games 1987 dan 1991 Timnas Indonesia keluar sebagai Kampiun Cabang Sepak Bola, dan sisanya Timnas Indonesia pernah meraih Tiga kali gelar juara di Turnamen ‘milik sendiri’ yaitu Piala Kemerdekan di Tahun 1987, 2000, dan 2008.

Catatan terbaik Timnas sebagai Juara di kompetisi resmi  Level Asia (AFC) dan Asia Tenggara (AFF) justru ada pada Timnas Juniornya, diantaranya pada Piala Asia Junior 1961, Piala AFF U-19 2013, dan Piala AFF U-22 2019. Kemudian sisanya, Timnas Indonesia Junior pernah menjadi juara di ajang non-resmi FIFA yaitu Junior Aga Khan Cup 1966, Junior Piala Pelajar Asia 1984 dan 1985, U-21 Piala Sultan Hassanal Bolkiah 2002, U-16 Tien Phong Plastic Cup 2017, dan U-16 Piala Jenesys 2018.

Dari catatan-catatan tadi seolah membuktikan bahwa Timnas kita, khususnya Timnas Indonesia Senior, seperti Seekor Garuda yang terlahir dengan Kuku-kuku dan Paruh yang kurang sempurna sehingga sulit baginya untuk mencengkeram atau bahkan mencabik-cabik target buruan, apalagi musuhnya.

Padahal di usianya yang menginjak ke-91 Tahun ini PSSI sebagai Induk Sepak bola Indonesia seperti tidak kurang-kurang dalam membuat program jangka panjang atau bahkan jangka pendek demi menjadikan Timnas (Senior dan Junior) sebagai Kampiun setidaknya di Regional Asia Tenggara.

Pertanyaannya adalah apakah program-program yang dilakukan PSSI itu cukup Efektif dan Konsisten? Tentunya akan muncul perdebatan dalam menjawab pertanyaan semacam ini, mau bukti? silahkan dilihat pada kolom komentar posting-an akun-akun Media Sosial yang bertemakan Sepak bola Indonesia, disana kita akan melihat banyaknya pendapat-pendapat para penggemar dan bahkan para Profesional di dunia Sepa kbola, yang kebanyakan dari mereka -juga saya dan anda- meragukan efektifitas dan konsistensi dari Program-program yang dijalankan dan dihasilkan oleh PSSI.

Bagaimana tidak, dari sekian banyak Program-program yang dijalankan PSSI, wabil khusus Program-program pengembangan pemain -beberapa adalah hasil kerjasama antara PSSI dengan pihak Swasta- yang dilaksanakan PSSI, diantaranya adalah program-program pengiriman pemain Indonesia ke luar negeri, dari Program Binatama, PSSI Garuda, PSSI Primavera, PSSI Baretti, Deportivo Indonesia, hingga Garuda Select, tidak banyak menghasilkan Progresifitas yang konsisten dalam hal perkembangan individu, permainan tim, ataupun pencapaian Timnas Indonesia di kompetisi Level Internasional.

Belum lagi jika kita bicara bagaimana progres pengembangan pemain dan kompetisi Usia Muda di SSB serta Tim-tim Junior di Level Klub. Tapi bagaimanapun sekali lagi,  bukan berarti saya sebagai penggemar bola kemudian menutup diri terhadap potensi perkembangan Timnas dan Sepak bola Indonesia secara keseluruhan di kemudian hari.

Jika kita bicara kegagalan Timnas di Kompetisi Resmi Level Senior ataupun Junior, selain dari segi teknis seperti yang saya bahas tadi, banyak pula faktor-faktor non teknis yang dianggap mengiringinya. Tuduhan-tuduhan akan adanya Mafia Sepa kbola yang ikut “bermain”, baik di kompetisi Liga Indonesia atau bahkan Gelaran resmi semacam AFF Cup memang santer terjadi, terutama jika Timnas mengalami kekalahan di Partai Final AFF Cup.

Ya seperti yang sudah saya bahas di tulisan saya sebelumnya, tentang bagaimana pentingnya Gelaran AFF Cup bagi Timnas Indonesia kemudian menjadikannya sebagai Turnamen yang hampir selalu menyedot banyak atensi publik sepak bola Indonesia, sehingga jika ada “bau anyir” permainan Mafia Sepak  bola dalam turnamen tersebut dan itu terjadi pada partai-partai penting Timnas Indonesia, maka publik sepak bola di Indonesia akan sangat responsif dan reaktif dalam mengungkapkan kekecewaannya.

Kita semua tentu ingat atraksi “Sepak bola Gajah” yang ditunjukkan Timnas Indonesia dan Timnas Thailand ketika keduanya bersua di Laga penyisihan Group A Piala Tigger (AFF Cup) 1998 di Stadion Thong Nat, Ho Chi Minh, Vietnam. Melansir Bola.Com 10 September 2019 dalam sebuah artikelnya, dengan judul Mengenang Drama Sepak Bola Gajah yang Menodai Duel Timnas Indonesia Vs Thailand, yang ditulis oleh Aning Jati. Berikut Petikannya,

pertandingan yang diprediksi akan berjalan panas karena dua tim terbaik di Grup A berhadapan, justru memunculkan keanehan sejak awal pertandingan. Kedua tim bermain dalam tempo lambat dan tampak tidak bergairah untuk memenangi pertandingan.

Situasi membaik kala Miro Baldo Bento menjebol gawang Thailand pada menit ke-53. Kemudian susul-menyusul skor terjadi. Thailand lantas menjebol gawang Indonesia yang dikawal Kurnia Sandy. Indonesia balas memimpin 2-1 lewat gol Aji Santoso menit ke-84 dan segera disamakan Thailand dua menit kemudian.

Di pengujung waktu normal, kejadian menyesakkan ini terjadi. Adalah Mursyid Effendi yang jadi pelaku gol bunuh diri pada menit ke-90 yang membuat Indonesia kalah 2-3. Gol bunuh diri itu tidak hanya mengagetkan penonton di Stadion Thong Nat, Ho Chi Minh, Vietnam, namun juga suporter setia Indonesia yang berada di Tanah Air menyaksikan siaran langsung lewat layar kaca. Nyaris tidak ada yang percaya gol bunuh diri itu terjadi, membuat Indonesia kalah dan jadi runner-up.

Di kemudian hari, motif menghindari Vietnam sebagai Runner-up Grup B pada partai semifinal diduga menjadi latar belakang terjadinya “Sepakbola Gajah” ini. Indonesia dan Thailand sama-sama ogah bersua Vietnam terlalu dini. Karena pada waktu itu, Vietnam adalah Tim Kuat yang dijagokan publik sepak bola Asia Tenggara sebagai calon Kampiun di gelaran Piala Tigger waktu itu.

Nguyễn Hồng Sơn dan Lê Huỳnh Đức adalah dua punggawa Timnas Vietnam yang tampil apik dan bahu-membahu membawa Vietnam tampil hingga ke partai Final, meskipun kemudian harus mengakui keunggulan Singapura 0 -1 di laga pamungkas tersebut. Mursyid Effendi, “sang pelaku” gol bunuh diri tersebut kemudian diberi “hadiah” yang sangat mengecewakan bagi dirinya secara personal sebagai pesepakbola, Komisi Disiplin PSSI memutuskan untuk melarang Mursyid Effendi bermain dan berkecimpung di persepakbolaan Indonesia seumur hidup.

Padahal dalam pengakuannya kepada pers, menurut Mursyid, gol bunuh diri tersebut adalah instruksi langsung dari Manajemen Timnas Indonesia, Mursyid pada akhirnya seolah menjadi Martir dari “ganasnya” intrik dalam Tubuh PSSI dan Timnas Indonesia di AFF Cup. Tak ayal, kejadian ini memantik reaksi publik sepak bola Indonesia, rasa kecewa terhadap “Sepakbola Gajah” menimbulkan berbagai macam dugaan negatif terhadap Timnas dan PSSI, tuduhan tentang “Bau Anyir” permainan Mafia Bola adalah salah satunya.

Setelah mencuatnya “Sepak bola Gajah” beserta tuduhan-tuduhan akan adanya permainan Mafia, bertahun-tahun kemudian muncul pula tuduhan yang sama kepada skuad Timnas Indonesia yang kalah dalam partai final leg ke dua AFF Suzuki Cup 2010 kontra Malaysia. Isu ini berawal dari terjadinya kembali “Sepak bola Gajah” yang kali ini hadir di Divisi Utama Liga Indonesia 2014 dalam laga antara PSS vs PSIS pada babak delapan besar.

Dan dari sinilah Isu mafia bola mencuat ke publik, disusul berbagai isu-isu tentang skandal permainan mafia bola di beberapa laga kompetisi yang pernah terjadi di Liga Indonesia, sekali lagi, Mafia Bola layaknya "Duri Dalam Daging" di Tubuh PSSI dan Timnas Indonesia.

Isu mafia bola ini bahkan tidak hanya menyedot atensi publik Sepak bola Indonesia saja, Jurnalis sekaliber Najwa Sihab pun berani mengangkat isu ini lewat acaranya yang legendaris di TV yaitu Mata Najwa beberapa Tahun kemudian setelah AFF Cup 2010 berlangsung.

PSSI di era kepemimpinan Eddy Rahmayadi pun Bahkan diuji oleh banyak tuduhan dan pertanyaan bernada sumbang, tidak hanya soal skandal pengaturan skor, melainkan juga oleh tragedy tewasnya supporter sepakbola yang dibunuh dengan keji oleh kelompok supporter lain, berbagai media bahkan memberitakan dan meng-interview langsung Ketua PSSI tersebut, termasuk Najwa Sihab dengan Mata Najwanya.

Di tahun-tahun itu, tidak hanya mafia bola saja yang “menampar” PSSI, fanatisme buta supporter bola Indonesia pun seolah menambah lebam merah di wajah PSSI, bukti bahwa euforia publik sepak bola Indonesia terkadang melahirkan efek samping yang kurang sehat bagi dunia persepakbolaan Indonesia.

Terkait isu mafia bola, ini dijadikan momentum oleh Presiden Joko Widodo untuk berperan aktif dalam “membenahi” carut marut sepak bola Indonesia, Kapolri sebagai pimpinan tertinggi Kepolisian Republik Indonesia pun menyambut himbauan Presiden dengan membentuk Satgas Anti Mafia Bola pada 12 Desember 2018 dan kemudian dibubarkan pada 20 Agustus 2020 tanpa kejelasan lebih lanjut.

Selain Polri, investigasi terhadap dugaan adanya mafia bola juga dilakukan oleh Lembaga Hukum Jakarta. Menurut Kepala Bidang Penanganan Kasus Lembaga Hukum Jakarta, M. Isnur seperti diungkap Tempo, 17 Juni 2015, praktik ini telah berjalan selama lebih dari 15 tahun. Isnur mengklaim praktik ini telah populer sejak tahun 2000, dengan metode sogok-menyogok menjadi metode yang paling lazim dan banyak digunakan.

Isnur bahkan berani berujar bahwasanya sebelum liga dijalankan pun, sudah dibentuk skenarionya. Hal ini amat beralasan karena seperti yang segenap masyarakat kita ketahui, terdapat berbagai insiden yang mewarnai perjalanan Timnas dalam berbagai kompetisi dari tahun ke tahun, yang menunjukkan indikasi adanya pengaturan skor ini.

Di kemudian hari, tidak hanya isu mafia bola dan fanatisme buta supporter sepakbola di Indonesia, euforia dan overproud publik sepak bola di Indonesia seperti dianggap sebagai “Kambing Hitam” bagi kegagalan demi kegagalan pencapaian Timnas Indonesia di Kompetisi-kompetisi Internasional termasuk di level AFF. Dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa, Indonesia adalah negara terbesar sekaligus publik sepak bola terbesar di ASEAN.

Fanatisme dan loyalitas kedaerahan terhadap klub-kub di Indonesia punya andil besar dalam sumbangsih Fanatisme terhadap Timnas Indonesia, sepak bola tidak hanya menempati panggung olahraga di Indonesia, makin bergulirnya era, sepak bola selain dianggap sebagai identitas kemudian seolah menjelma menjadi budaya tersendiri di Nusantara.

Inilah yang menurut saya melatar belakangi lahirnya euforia dan sikap overproud para pecinta bola tanah air terhadap Timnas Indonesia, Nasionalisme orang Indonesia akan berkobar jika sudah menyaksikan bagaimana potensi kecemerlangan Timnas Indonesia pada sebuah gelaran kompetisi, khsusunya AFF.

Sepak bola, dengan sifatnya yang kompetitif, akan selalu menciptakan “musuh bersama”. Maksudnya adalah bahwa dalam setiap laga sengit yang mempertemukan dua Tim -baik Klub atau Timnas- akan selalu menyedot atensi publik sepak bola, dengan fanatisme dan loyalitas fans di dalamnya, akan menjadikan rival bebuyutan tim yang dicintainya sebagai “musuh”, musuh bersama para fans dan supporter sebuah tim.

El Classico, Derby, atau apapun sebutan untuk sebuah pertandingan sengit, dianggap sebagai pertaruhan gengsi untuk menentukan siapakah yang menjadi Immortal-nya. Euforia dan Overproud adalah “efek samping” dari klimaksnya fanatisme dan loyalitas para penggemar bola, kenapa saya sebut efek samping? Karena secara psikologis akan mempengaruhi para pemain yang di dukung dalam setiap laganya. Itu semua berlaku pula bagi sebuah Timnas, tak ayal pemain berikut pelatih dan staf pelatih yang sedang berlaga di gelanggang pertarungan, secara psikologis punya beban berat pada saat menjalani kompetisi atau laga-laga penting yang menyedot atensi publik.

Mental adalah faktor penentu kemenangan dan kekalahan dari sekian banyak faktor Teknis dan Non-teknis lainnya. Seperti yang terjadi pada Timnas Indonesia, di beberapa gelaran AFF, 5 kali menjadi Runner-up, itu berarti Timnas kita sudah menjalani 5 kali partai Final dengan kegagalan, banyak pihak menyebut faktor mental adalah salah satu masalah yang menyulitkan Timnas menjadi Juara ketika ada di Partai Final. Disebut pula bahwa sikap Overproud dan Euforia yang berlebihan dari publik sepak bola Indonesia membuat mental pemain Timnas di partai Final hampir Selalu Anti-Klimaks.

Ekspektaksi berlebih dari jutaan penggemar bola di Indonesia dianggap justru menjadi beban berat bagi 11 pemain di Lapangan. Soal Overproud dan Euforia serta Ekspektasi publik sepak bola Indonesia yang berlebih, anda pasti akan ingat dengan gelaran AFF 2010, dimana Gema euforia dan Overproud lahir bahkan amat sangat “premature”.

Bahkan sebelum partai pembuka Timnas di AFF 2010, publik dan media di Indonesia ber-euforia dengan kedatangan pemain muda potensial produk Akademi Ajax, Irfan Bachdim, di tubuh Timnas kita. Selain itu, suksesnya Proses Naturalisasi pemain asal Uruguay, Cristian Gonzales sebagai Naturalisasi Timnas Indonesia pertama di ajang AFF, membuat ramainya pemberitaan tidak hanya oleh media olahraga, bahkan media “Gosip” yang biasa memberitakan para seleb di TV ikut serta dalam Euforia Prematur ini.

Apalagi di laga pertama kontra musuh bebuyutan Timnas Indonesia, yaitu Malaysia, Timnas kita unggul 5-1 di Fase Group, Syahdan, ke dua Timnas bertemu kembali di Laga Final, untuk kemudian performa Indonesia mlempem di dua leg Final. Bagaimanapun Sejarah Panjang Konfrontasi Indonesia-Malaysia, merasuk pula dalam sendi-sendi sepak bola, setiap laga Indonesia vs Malaysia dianggap sebagai “perang antar jiran” yang akan memantik banyaknya psywar sekaligus euforia jika kemenangan hadir.

Dengan besarnya ekspektasi dan Euforia yang terlalu dini, belum lagi sikap overproud dari publik sepak bola Indonesia di AFF 2010, seolah menjadikannya sebagai “Kambing Hitam” anti-klimaksnya permainan Timnas di laga pamungkasnya, kembali lagi faktor mental akibat “beban berat itu” yang disebut mempengaruhi  mlempemnya performa pasukan Garuda.

Di Gelaran AFF Suzuki Cup 2020 yang baru terselanggara di Tahun ini, kita semua dapat sedikit “mencium” kembalinya Euforia dan Sikap Overproud, apalagi ketika Timnas berhasil lolos ke Semifinal dengan mengalahkan Malaysia 4-1, menahan imbang Vietnam di Fase Group, serta catatan nir kekalahan dan gol terbanyak dari seluruh Tim peserta sekaligus meraih gelar juara grup, membuat benih-benih euforia mulai terasa kelahirannya.

Rentetan terror psywar dari para Rival Timnas Indonesia di AFF kali ini di “Counter Attack” oleh warganet di sosial media secara membabi buta, untungnya justru pihak Timnas Indonesia terlihat lebih tenang dalam menyikapi hal-hal non teknis semacam ini. Semoga, jikapun ada kegagalan-kegagalan selanjutnya, Publik Sepak Bola, PSSI, dan Timnas tetap bersikap professional dalam mendukung dan memperbaiki Tubuh Timnas dan Sepak Bola Indonesia secara Keseluruhan, tanpa harus mencari “Kambing Hitam”.

(Sumber: transfermarkt.com ; bola.kompas.com ; tempo.com ; bola.com)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun