Sama halnya seperti Manchester, Merseyside juga punya "Merahnya" sendiri.
Liverpool FC adalah bagian dari sejarah panjang Sepakbola di Inggris, wabil khusus Merseyside yang pada awalnya dikenal dengan satu klub bernama Everton.
Perjalanan panjang Liverpool FC (Selanjutnya akan disebut LFC) di kancah Liga Inggris dan Liga Eropa (UCL dan UEL) mengalami pasang surut seperti klub-klub sepakbola lainnya, LFC bermetamorfosis menjadi klub besar di Liga Inggris dan Eropa dengan jalan yang cukup terjal.
Sebelum format Premier League lahir di Inggris, LFC adalah Klub Penguasa Liga Inggris dengan capaian 18 Trophy Liga, mengungguli sang Rival, Manchester United (selanjutnya disebut United). Rivalitas LFC-United seakan timpang ketika format Premier League lahir, 18 Trophy Liga milik Liverpool perlahan disalip oleh United.
Pelan-pelan LFC seperti kehilangan taringanya di Liga Inggris, bahkan Eropa. Sebelum Era Jurgen Klopp, LFC bahkan tak mampu meraih satupun Trophy Liga. Sedangkan di kancah Eropa tercatat LFC hanya mampu mengoleksi satu trophy UEFA Champions league (UCL) di era Rafael Benitez, di era Benitez LFC dua kali menjadi finalis UCL, keduanya versus Klub dari Kota Milan, AC Milan.
Kenangan pahit kembali terjadi ketika di akhir era manajer Brendan Rodgers, kans LFC untuk meraih Trophy Premier League pertama mereka sirna. Performa apik yang ditunjukkan Steven Gerrard cs di Liga seakan memberi harapan besar bagi Liverpudlian dan Kopites terhadap kepemimpinan Rodgers, yang sejatinya banyak diremehkan dari awal bergabung.
Dan kini di era Klopp, LFC kembali ke "khitah-nya" sebagai Klub Besar, itupun tak mulus karena perlu waktu setidaknya 5 Tahun bagi Klopp menunjukkan efektivitas 'Gegen Pressing-nya'. Trophy UCL, Premier League, dan FIFA Club World Cup, adalah bukti bahwa Bola itu bundar, kadang di atas kadang di bawah.
Fenomena "kembalinya" LFC ternyata justru berkebalikan dengan United, nasib United pasca dilepas oleh Alex Ferguson justru mengkhawatirkan. Tak terbilang sudah berapa manajer silih berganti menduduki bekas kursi Ferguson.
David Moyes mungkin terbilang medioker bagi telinga para "Hooligan" sepakbola Inggris, ketika performa United amblas di era Moyes tentunya sudah barang mungkin. Tapi Harapan untuk "menghidupkan" kembali era Ferguson selalu ada setidaknya pada beberapa manajer, seperti Louis Van Gaal dan bahkan si ahli parkir bus Jose Mourinho.
Kenyataannya keduanya tak dapat merealisasikan harapan United Army dan Manchunian, kritik kencang dan nyinyir khas publik bola Inggris selalu memerahkan telinga para manajer yang gagal membawa United setidaknya ke performa yang progresif dan stabil.
Kesedihan dan duka lara fans United kemudian seakan menjadi gunung es di era Ole Gunnar Solksjaer, eks anggota class of 92, sang supersub di era keemasan Ferguson. Solksjaer yang merintis karir kepelatihan di tim junior United, menjadi harapan besar bagi publik Manchester dan penggemar United di seluruh dunia. Tentu adalah beban berat bagi seorang pelatih dan manajer yang curriculum vitae-nya masih sedikit, bahkan untuk menyebut Solksjaer sebagai pelatih medioker seperti Moyes pun itu terlalu tinggi. Tentu karena pengalaman Moyes menangani klub-klub Liga Inggris jauh diatas Solksjaer.
Penunjukan Solksjaer sebagai manajer United tidak hanya memperpanjang derita United di kancah liga Inggris maupun Eropa, tetapi juga puncak dari rasa frustasi fans United terhadap nasib klub yang diidolakan. Bagaimana tidak, Solksjaer yang bahkan belum bisa digolongkan sebagai pelatih medioker awalnya sempat mendapat dukungan penuh dari mayoritas fans United, dengan jargonnya "percaya proses".
Hingga hari ini, nasib Solksjaer dengan ketidakpastian performa united seolah masih aman-aman saja bagi Direksi Klub. Padahal manajer seperti Ronald Koeman pun sudah dilengserkan kursinya, tidak hanya Koeman, Nuno Espirito Santo juga didepak dari kursi kepelatihan Tottenham Hotspur. Padahal keduanya belum lama meneken kontrak dengan klubnya.
Sekali lagi, tagar #oleout sebagai kampanye untuk menyuarakan pelengseran Solksjaer dari kursi kepelatihan United seakan antiklimaks dengan tetap "stay-nya" Solksjaer di posisinya sebagai "boss" United.
Sudah menjadi rahasia umum sejak kembalinya Cristiano Ronaldo ke United, "perlawanan" dan "pembangkangan" di looker room dari para pemain United terhadap Solksjaer semakin mencuat.
Kemiskinan taktik dan strategi, ketidakmampuannya sebagai motivator tim, dan jeleknya komunikasi dengan pemain adalah bukti bahwa Solksjaer bukanlah "Messiah" yang akan menyelamatkan United dari keterpurukan yang berkepanjangan.
Sulit untuk memahami sikap dan pemikiran direksi dan manajemen klub United ketika mereka masih mempertahankan Solksjaer hingga sekarang.
Hari ini, setidaknya rivalitas LFC Vs United adalah gambaran nyata bahwa Bola adalah layaknya Bumi, bundar, semua yang ada di dalamnya tidak pernah bisa selamanya kekal di atas atau di bawah.
Ejek mengejek, remeh-meremehkan sebagai rival, seperti halnya Manusia yang hidup di bundarnya Bumi, adalah hal yang lumrah.
Proses adalah keniscayaan, tetapi proses yang tidak "berprogres" adalah pintu gerbang "kemunduran".
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI