Membahas Sacramento Kings saat ini nggak bisa dilepaskan dari bagaimana akhirnya mereka bisa kembali ke jalur playoff setelah absen selama 16 musim beruntun (klise pisan).
Sebagai tim, Sacramento Kings bisa dibilang bukan tim yang jelek atau bagus. Sejak berdiri  tahun 1946, Kings sempat menjadi juara tahun 1951 dan sempat beberapa kali tidak lolos babak playoff setidaknya tujuh musim beruntun.
Meski tidak selalu tampil meyakinkan, mereka sempat tampil solid pada dekade 1960-an ketika cikal bakal Kings, Cincinati Royals diperkuat playmaker lincah Adrian Smith (PG), raja triple double Oscar Robertson (SG), Happy Harston (SF), draft no.1 tahun 1960 Bob Boozer/Jerry Lucas (PF), dan center Wayne Embry di mana saat itu bola lebih banyak mengalir dari dan ke Robetson, termasuk lewat bantuan Embry dan Lucas yang sigap menjadi screener, dengan berdiri membelakangi jaring, agar Robertson bisa bergerak lebih bebas dan tiba-tiba memberi umpan pada Embry yang siap menyongsong umpan dengan lay up.
Channel: NBA TV
Gaya bermain Royals era tersebut agak mirip dengan gaya Royals tahun 1950-an di mana setiap pemain yang memberikan bola pada para penembak jitu, entah itu Bobby Wanzer (PG) atau  Bob Davies (SG), akan segera berperan sebagai screener agar penembak jitu tersebut punya ruang tembak yang cukup lapang termasuk center Arnie Risen dan para shooter itu sendiri.
Gaya permainan Kings yang cukup menarik justru terjadi pada tahun 1980-an ketika Kings diperkuat Point guard lincah Phil Ford/ Ernie Grundfield yang lebih defensif, shooting guard Scott Wedman, small forward merangkap screener John Lambert, power forward Reggie King, dan center veteran Sam Lacey yang sudah memperkuat Kansas City Kings sejak masih bermarkas di Cincinnati 11 musim sebelumnya.Â
Sebelum menetap di Sacramento, Kings memang senantiasa menjadi tim yang senantiasa berpindah dari satu kota ke kota lain, dari Cincinnati, Kansas City, Omaha, sampai Sacramento yang punya infrastruktur dan basis fans yang cukup besar.
Terlebih sebagai organisasi, tim milik pengusaha India Vivek Ranadive ini, terbilang cukup inovatif, karena ikut mempelopori penggunaan tenaga surya untuk stadium baru mereka Golden 1 center (2016) dan memelopori transaksi digital pada tahun 2014. Bahkan, pada tahun 2018, Kings membangun infrastruktur penambangan bitcoin di stadium mereka tersebut.
Balik lagi soal Lacey, alih-alih dipercaya sebagai center, ia justru lebih dipercaya sebagai playmaker terutama sejak hendak memasuki area tiga angka.
Tanpa harus menjadi screener yang membelakangi bawah jaring, dengan tubuhnya yang jangkung dan langkah yang masih lincah, Lacey masih bisa berpenetasi atau memberi umpan pada Wedman atau Lambert yang jago tembak atau King yang kerap tak terlihat di bawah jaring.
Jika ingin big man yang lebih tinggi, peran King bisa diisi center Leon Douglas yang juga kerap mengisi peran Lacey ketika rehat.
Untuk meningkatkan tempo dan ketadjaman pelatih Fitzsimmons bisa menggantikan Lambert dengan point guard Larry Drew atau  Otis Birdsong yang justu punya gaya berbeda karena kerap bergerak tanpa bola dan finishing yang bagus. Kebetulan, dengan dribel prima, Birdsong juga dipercaya sebagai playmaker ketika Grundfield rehat. Â
Sejak Lacey pensiun, beberapa pemain baru datang dan sedikit mengubah gaya permainan tim, yang sayang agak mudah ditebak. Meski diperkuat pemain senior San Antonio Spurs Mark Olberding (dan pelapisnya rookie Otis Thorpe) atau shooting guard  berpengalaman Reggie Theus (Chicago Bulls), permainan Kings cenderung berpusat pada keduanya, entah itu lewat umpan dari dan ke Olberding ke bawah jaring atau tembakan satu lawan satu Theus.
Belum lagi, defense mereka terlalu terfokus di bawah jaring yang sayangnya tidak didukung pemain berfisik prima sehingga mudah ditembus penetrasi para pemain yang yang mengandalkan ketangkasan fisik di eranya.
PR yang sama juga dihadapi Kings di era yang segar sekitar pertengahan era 1990-an di mana saat itu mereka diperkuat beberapa rookie seperti playmaker mungil banget Tyus Edney (178 cm), shooting guard produktif Mitch Richmond, salah satu favorit fans Kings sepanjang masa Lionel Simmons, forward tangkas Brian Grant, serta center tradisional berpengalaman Olden Polynice.
Meski kadang-kadang permainan Kings lebih mudah dibaca lantaran selalu tertuju pada Grant, Kings biasanya mulai bisa mengimbangi tim lawan ketika mereka menaikkan tempo dan menginstruksikan pemain seperti Edney, Simmons, bahkan Richmond lebih banyak berpenetrasi sebelum diakhiri layup atau umpan pendek pada pemain tak terkawal dekat jaring.
Dengan penetrasi seperti ini, shooter seperti Sarunas Marciulionas bisa melepaskan tembakan akurat dengan lebih bebas.
Dari segi defense, dengan meningkatnya tempo permainan serta momentum tim, umpan tim lawan lebih mudah dipotong pemain seperti Edney.
Musim-musim berikutnya, permainan Kings  mulai makin terarah mereka mendatangkan free agent Vlade Divac, forward tangkas, lincah, dan kreatif Chris Webber (yang ditukar dengan Richmond) serta defender tangguh merangkap penembak lumayan jitu Doug Christie dari Toronto Raptors.
Terlebih mereka cukup berani mendatangkan pemain-pemain muda dengan satu karakter yang cukup kuat seperti shooter Peja Stojakovic, playmaker lincah Jason Williams, serta playmaker jangkung merangkap penembak jitu Hedo Turkoglu (perasaan ini dua deh karakternya).
Dengan karakteristik yang jelas, kita bisa menerka Kings bermain seperti apa. Terlebih Divac juga dikenal sebagai center kreatif yang tidak pelit pengumpan. Bisa dibilang Kings era tersebut bermain agak mirip dengan era Lacey.
Alih-alih sekadar stagnan sebagai center, Divac bisa berperan sebagai pengumpan bagi Webber yang juga jago tembak atau Hedo yang juga rajin bergerak tanpa bola.
Klopun bermain lebih pasif misal di area lemparan bebas, Divac bisa menunggu Williams melepaskan umpan ajaib selepas berpenetrasi.
Channel: The Throwback
Dengan skill yang beragam inilah, permainan Suns bisa jauh lebih beragam dan mengalir dengan sendirinya, termasuk ketika bertemu lawan dengan gaya bermain berbeda.
Untuk menambah variasi serangan, musim berikutnya Kings mempercayakan point guard lincah  Mike Bibby sebagai playmaker.  Kebetulan sebagai playmaker, Bibby bisa melepaskan tembakan akurat selepas mendribel bola begitu memasuki pertahanan lawan.
Bangku cadangan Kings saat itu juga cukup bagus karena mereka punya komposisi pemain yang boleh dibilang bisa menjadi satu tim tersendiri mengingat skill mereka yang di atas kertas padu dan saling melengkapi, sebut saja Jason Williams versi lebih jangkung Jon Barry, shooter lincah dengan finishing bagus Bobby Jackson, center tangkas berstamina luar biasa Scott Pollard (gaya bermainnya 11-12 center Heat Nick Andersen), dan forward bertenaga Lawrence Fanderburke.
Selepas penampilan Divac mulai menurun, gaya bermain Kings di musim-musim selanjutnya makin terasa sebagai tim yang mengandalkan tembakan tiga angka, terutama dengan hadirnya rookie lumayan lincah Darius Songaila atau shooter Fransisco Garcia, center kurang lincah Brad Miller, forward Shareef Abdul Raheem,  atau guard  Cuttino Mobley, yang kerap mendapat umpan matang dari Bibby.
Selain para penembak jitu, Kings juga mendatangkan beberapa pemain berkarakter seperti forward lincah yang kurang begitu tinggi Kenny Thomas, defender tangguh Metta World Peace, serta guard gempal Bonzi Wells, atau guard tangkas Kevin Martin  yang mengisi peran Doug Christie.
Meski masing-masing pemain punya karakter cukup jelas, praktis hanya Mike Bibby yang karakternya cukup kuat karena praktis permainan mengalir lewat kreativitas Mike Bibby serta sesekali screen dari Brad Miller.
Selepas era Bibby berakhir, beberapa kali Kings sebenarnya mendatangkan rookie dengan karakter cukup kuat  seperti center serbabisa DeMarcus Cousins yang berkarakter meledak-ledak.
Sayang di era yang sama, Kings belum menemukaan partner yang juga berkarakter yang bisa membuat permainan Kings lebih bervariasi. Terlebih permainan Kings selepas era Bibby terbilang cukup jelas.
Dari gaya permainan individu pemain, tidak sulit menerka gaya permainan Kings (termasuk variasinya) sewaktu diperkuat pemain seperti point guard mungil Isaiah Thomas, defender merangkap shooter Ben McLemore, forward jangkung Rudy Gay (sebelum cedera), Jason Thompson, dan center DeMarcus Cousins/atau rekan sekaligus pelapisnya yang lebih tradisional Kostas Koufus.
Dengan skill yang cukup komplet, bukan hanya berperan sebagai center, Cousins yang tangkas praktis bisa menjadi shooter maupun playmaker yang melayani para pemain yang mayoritas berlabel penembak jitu dengan postur yang berbeda-beda.
Karakter tersebut masih bisa terlihat ketika peran Thomas diisi Darren Collison  yang lebih kalem atau point guard berpengalaman Rajon Rondo, peran McLemore diisi shooter rookie Nik Staukas atau spesialis penembak jitu Marco Bellinelli, dan Buddy Hield,  peran Gay diisi Tyreke Evans, dan penembak jitu Omri Caspi.
Terlepas melaju atau tidaknya sebuah tim ke babak  playoff nggak akan berpengaruh ke pemain, di era Rondo inilah Kings berpeluang paling dekat melaju ke babak playoff setelah sekian lama.
Perlu diketahui, meski Rondo bukan playmaker jago tembak dan ketangkasannya berpenetrasi sudah sangat jauh berkurang, Rondo masih merupakan salah pemain dengan visi permainan terbaik, yang mampu menarik perhatian pemain lawan meski nggak dikenal sebagai penembak jitu.
Selepas era Cousins pun, Kings tetap punya gaya permainan yang jelas, salah satu buktinya adalah dengan kejelian Kings mendatangkan forward Nemanja Bjelica yang diajak bergabung ke Sacramento Kings karena berpotensi memainkan permainan yang kelak ditampilkan bersama Golden State Warriors musim lalu.
Ajakan Kings tersebut membuatnya luluh mengingat sebelumnya Bjelica sudah siap-siap angkat koper untuk kembali bermain di eropa.
Terlebih, di era tersebut Kings punya banyak guard potensial seperti shooter Buddy Hield yang akurasi tembakan tiga angkanya bagus banget (meski nggak jarang tembakan tiga angkanya luput beruntun), playmaker komplet Bogdan Bogdanovic, serta tentu saja DeAaron Fox.
Channel: Kisseli
Terlepas dari beberapa cerita menarik selama Kings absen dari babak playoff, seperti Kings yang hobi gonta-ganti pelatih, karakter pemain yang didatangkan Kings selama era tersebut terbilang jelas. Di luar Gay dan Tyreke Evans yang skill-nya terbilang beragam, nyaris semua pemain yang didatangkan Kings jelas punya satu karakter kuat, misal penembak jitu, termasuk era sekarang yang rata-rata bertipe playmaker.
Hanya saja sebelum sampai sana, kita tengok sedikit para rookie Kings yang rata-rata tidak bisa dibilang buruk karena tampil menjanjikan sebelum bermain di NBA.
 Draft no. 2 tahun 2018, Marvin Bagley jelas dipilih bukan tanpa alasan. Terlepas tembakan tiga angkanya yang kurang begitu konsisten, finishing Marvin Bagley di bawah jaring jelas termasuk yang paling menjanjikan di angkatannya, terlebih jika mampu diadaptasikan di iklim permainan NBA.
Pemandu bakat Kings juga cukup jeli melihat bakat playmaker Justin Jackson yang turut membawa tim North Carolina Tar Heels juara Liga Basket Mahasiswa Amrik 2017, terlepas tembakan tiga angkanya yang tidak terlalu konsisten dan kelincahannya yang cenderung teredam ketika harus berduel dengan defender lawan di bawah jaring.
Andai tidak cedera, forward Harry Giles bahkan termasuk pemain dengan skill paling menjanjikan di angkatannya.
Praktis hanya DeAron Fox yang skillnya makin terasah terutama jump shotnya, meski di awal, Fox hanya dikenal sebagai playmaker yang sering dikejar macan saking banter pisan larinya.
Dengan perkembangan para rookie Kings yang terkesan lambat, tidak heran, di era kepemimpinan manajer Vlade Divac, para fans Kings, mendambakan pemain seperti Luka Doncic yang notabene masih serumpun dengan Divac (karena sama-sama dari Balkan),
Channel: All Ball
Dengan hadirnya Doncic, di atas kertas Kings akan memiliki dua guard mematikan, yang bisa berarti sebaliknya karena keduanya sama-sama doyan megang bola (atau istilah basketnya ball hog).
Selain melewatkan kesempatan mendatangkan Doncic, fans Kings juga menyayangkan keputusan GM Kings melepas Tyrese Haliburton ke Kings (di mana sebagian fans lebih doyan klo Fox yang dilepas) lantaran Hali sudah menunjukkan potensinya sebagai playmaker matang dengan akurasi tembakan yang meyakinkan.
Impian fans Kings tersebut musim ini perlahan sirna terutama setelah Kings tampil menjanjikan di bawah asuhan pelatih baru, Mike Brown, yang pengalamannya makin beragam sejak menjadi asisten Steve Kerr.
Permainan Kings lebih hidup lantaran para pemain Kings dikenal hobi bergerak dan melepaskan umpan pada pemain yang bergerak tanpa bola setidaknya 0,5 detik selepas pemain yang bersangkutan menerima umpan.
Gaya permainan tersebut bisa diterapkan lantaran mayoritas pemain Kings, termasuk centernya dikenal sebagai playmaker yang bisa nembak, meski tiap pemain tetap dikenal dengan kekurangan dan kelebihannya masing-masing
Sebut saja center Domantas Sabonis yang dikenal kurang jago defense dan kurang jago block shot, atau shooting guard Kevin Huerter yang dikenal dengan kemampuan melepaskan tembakan sambil bergerak, meski kurang jago menciptakan peluang bagi dirinya sendiri.
Rookie Keegan Murray pun sama. Meski dikenal punya gaya bermain yang serupa dengan Huerter, termasuk pergerakan tanpa bolanya, finishingnya di bawah jaring sempat dianggap belum seluwes sekarang.
Dua pemain yang sudah lebih dulu memperkuat Kings juga tidak luput dari kekutangan. Sebut saja DeAron Fox yang masih belum terlalu pede menembak tiga angka dan skill offense Harrison Barnes yang belum semantap defense-nya, meski semakin hari semakin terasah.
Meski nggak dikenal jago defense, permainan kolektif para pemain Kings membuat defense Kings cenderung lebih rapi, dan ngebikin kelemahan defense Kings secara individu nggak terlalu kentara.
Tempo permainan Kings cenderung makin meningkat lantaran sebagian pemain Kings dari bangku cadangan bertipe tajam, sebut saja point guard mungil Davion Mitchell, scorer Malik Monk, forward luwes jangkung Trey Liles yang permainannya kompletnya makin konsisten dan menyatu dengan permainan cepat ala Kings.
Kings juga masih punya Terrance Davis yang meski tidak terlalu tinggi, rata-rata dikenal jago dribel dan kadang tidak mudah menyerah andai kata tembakan para pemain satu tim (bahkan tembakannya sendiri luput)
Guard keon Johnson juga cocok dengan skema permainan Kings. Selain cukup tinggi dan punya akurasi tembakan tiga angka lumayan. Penetrasinya juga keren, sayang ketangkasannya kerap teredam defender lawan begitu sampai bawah jaring.
Moneke dan Holmes, meski posturnya, tidak terlalu tinggi, energinya seolah tidak pernah habis karena dikenal jago melakukan block shot dan memperebutkan bola muntah andai tembakan kawan luput.
Metu juga memberi warna tersendiri karena punya langkah kaki yang lincah saat memasukkan bola.
Di sisi lain, nyaris tidak ada yang bisa diprotes dari skills Alex Lens karena punya ia punya skill yang cukup lengkap untuk era sekarang, meski tidak ada yang benar-benar menonjol, seperti punya pergerakan yang cukup lincah, piawai menjaga dan mengetip bola di bawah jaring, dan beberapa kali jago melakukan screen untuk memberi ruang tembak bagi para shooter.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H