Mohon tunggu...
Candra Permadi
Candra Permadi Mohon Tunggu... Penerjemah - r/n

r/n

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Saling Mengisi Kekurangan ala Chicago Bulls

15 Oktober 2021   14:35 Diperbarui: 16 Oktober 2021   12:54 1810
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Chicago Bulls memang identik dengan guard megabintang. Para guard tersebut menginspirasi tim sampai titik prestasi terjauh, sebut saja Michael Jordan yang membawa Bulls meraih enam cincin juara (1991-1993 dan 1996-1998), Derrick Rose (semifinal NBA 2011), dan Jimmy Butler (perempat final NBA 2013 dan 2015).

Prestasi Rose bahkan bisa jauh lebih baik andai tidak cedera parah yang membuatnya lebih sering bermain kurang dari 40 pertandingan di musim-musim berikutnya. Terlebih tahun 2013 muncul bintang baru Jimmy Butler yang tiga musim sebelumnya dilirik pun tidak karena hanya terpilih dari draft urutan 30 tahun 2011 dan lebih sering bermain sebagai pemain cadangan di tahun-tahun awal karirnya.

Kelebihan Butler ada pada ketekunan dan tekadnya meningkatkan kekuatan fisik dan akurasi tembakannya.

Kita semua tahu kunci keberhasilan Bulls meraih prestasi terbaik selama bertahun-tahun. Pertama tentu saja kejelian Bulls memilih Scottie Pippen yang sejak didraft pada tahun 1987 (oleh Cleveland Cavaliers namun dikirim ke Bulls) langsung membawa Bulls ke peringkat tengah atas.

fadeawayworld.com
fadeawayworld.com

Dengan postur tinggi (203), defense bagus, dan jumpshot akurat, Pippen menjadi kepingan pelatih Phil Jackson memainkan triangle Offense bersama Michael Jordan.


Kedua tentu saja Triangle offense. Triangle Offense, seperti namanya, merupakan, skema kombinasi permainan antar tiga (dari lima) pemain yang terus bergerak membentuk segitiga, termasuk pemain yang baru saja memberi umpan ke rekannya. 

Bukan kebetulan triangle offense hanya bisa berjalan jika pemain yang bersangkutan punya operan dan tembakan bagus seperti yang dimiliki Dennis Rodman, tukang angkut air, sekaligus pengumpan jitu tidak terduga Bulls era 1996-1998  serta Tony Kukoc, pemain Yugoslavia yang Bulls pilih pada tahun 1990 namun baru bermain tiga musim berselang.

Permainan triangle offense bisa amat efektif karena pada saat itu center lebih banyak bermain membelakangi jaring di belakang penjagaan pemain lawan, atau dalam istilah basket disebut post-up.

Dengan bermain post-up, skema permainan jadi lebih bervariasi. Center bisa memutar badan melewati penjagaan pemain lawan sebelum memasukkan bola, memasukkan bola sembari melompat melewati hadangan lawan, atau mengumpan pada pemain yang punya tembakan bagus, atau mengoper bola pada pemain yang menyelinap di antara penjagaan pemain lawan.

Kebetulan skill lengkap tersebut dimiliki Bill Cartwright, center Bulls era tiga gelar pertama, serta Luc Longley center Australia yang mengantar Bulls meraih tiga gelar berikutnya.

Meski namanya tidak seharum ibu kita kartini eh Luc Longley, pencapaian Bulls berikutnya, tidak bisa dilepaskan permainan center bertipe serupa yaitu Joachim Noah, meski tak setangkas Longley.

Dengan banyak bermain membelakangi jaring, Noah justru membuka ruang gerak pemain era Derrick Rose yang tidak sepenuhnya disebut serbabisa yaitu  Kirk Hinrich (SG) Luol Deng (SF), Mike Dunlevey Jr (PF), dan tentu saja Rose sendiri

Triangle Offense ala Tom Thibodeau (Bballbreakdown)

Dunlevey dan Deng dikenal punya defense dan tembakan tiga angka yang bagus, walaupun penetrasi dan ketangkasannya tidak sedominan Rose.Sebagai pemain bertahan, Deng punya jumpshot yang akurat, meski gerakan tidak selincah Hinrich saat melakukan catch and shoot.


Channel: downtobucks

Sebagai kapten sekaligus pemain senior, Dunlevey juga punya pergerakan tanpa bola seperti Deng. Hanya saja meski kekuatan fisiknya tidak sekokoh Deng, ia tidak segan bermain keras sekaligus mengorbankan tubuhnya sendiri untuk mencegah penetrasi pemain lawan.

 Di sisi lain, Derrick  Rose, meski punya finishing dan penetrasi luar biasa, jumpshot-nya dari area tiga angka, tidak terlalu akurat. Akurasi dan keseimbangan Hinrich saat menembak masih jauh lebih bagus.

Meski kelima starter Bulls tidak punya paripurna, umpan Noah pada pemain yang bergerak tanpa bola, begitu menerima umpan dari pemain yang mengumpan dari area tiga angka membuat triangle offense ala Tom Thibodeau (coach Thibs) sulit ditebak.

dokpri
dokpri

Coach Thibs memang bukan pelatih sembarangan. Sebelum membawa Bulls ke semifinal NBA, sebagai asisten pelatih, beliaulah otak keberhasilan Boston Celtics menjadi juara NBA menjadi juara NBA tahun 2008 dengan merancang skema pertahanan keras menghambat pergerakan bintang lawan mereka Los Angeles Lakers, Kobe Bryant

Selepas melatih Bulls-pun, coach Thibs menjadi pelatih yang membawa dua tim berbeda, Minnesota Timberwolves (2018) dan New York Knicks (2021) lolos ke babak playoff untuk pertama kali setelah absen sekitar satu dasawarsa.

Sayang selepas para pemain senior Bulls tidak lagi memperkuat Bulls, prestasi Bulls cenderung merosot meski diperkuat para pemain muda yang menjanjikan karena bakat pemain muda belum bisa sepenuhnya berkembang di bawah pelatih-pelatih baru Bulls yang rata-rata baru pertama  kali melatih Tim NBA.

Manajemen Bulls yang dipimpin duo GarPax (Gar Forman dan mantan playmaker Bulls era awal 1990-an John Paxon) sejak tahun 2003 ingin mengulangi keberhasilan saat merekrut coach Thibs yang memulai karir kepelatihan bersama Bulls tahun 2010 setelah malang melintang sebagai asisten pelatih NBA sejak tahun 1990-an.

Mereka menunjuk mantan shooting guard Bulls, Fred Hoiberg  sebagai pelatih karena sempat membawa tim perguruan tinggi Iowa State melaju ke babak 16 besar Liga Basket Mahasiswa Amerika (NCAA) tahun 2014

Hoiberg bahkan sempat membawa Bulls  melaju ke putaran pertama babak tahun 2016 bermaterikan pemain seperti Dwayne Wade, Jimmy Butler atau dua pemain yang turut membawa timnya masing-masing ke final NBA musim lalu Boby Portis (Milwaukee Bucks) dan Cam Payne (Phoenix Suns) namun tidak berhasil mengulangi prestasi pada dua tahun berikutnya teruma sejak Butler mengikuti coach Thibs ke Timberwolves

Peran Hoiberg lantas diisi Jim Boylen yang dikenal sempat dikenal sebagai asisten Greg Popovich di San Antonio Spurs tahun 2013-2015, yang diharapkan mampu mengikuti kesuksesan beberapa asisten Popovich lainnya seperti Mike Budenholzer (Milwaukee Bucks) dan Monty Williams (Phoenix Suns) yang baru kemarin bertemu di final NBA.

Boylen dinilai tidak memainkan para pemain muda Bulls sesuai potensinya masing-masing. Forward tinggi yang jago tembak Lauri Markkanen, dipaksa ikut bermain ke dalam untuk mengambil bola rebound.

Zach Levine yang jago dribel dan menyelesaikan serangan dari segala posisi malah tidak diberi ruang mengatur serangan.

Serta playmaker Coby White yang belum terlalu luwes menyelesaikan serangan di bawah jaring, lebih sering diminta berpenetrasi menghadapi pemain-pemain yang lebih berpengalaman. Terlebih White masih sering memaksa diri menembak.


Channel: BBallbreakdown

Melihat kebijakan mendatangkan pelatih muda kurang berhasil, Bulls lantas menunjuk BIlly Donovan yang bukan hanya pernah membawa tim di Liga Basket Mahasiswa Amerika Serikat (NCAA) menjadi juara, tapi juga pernah membawa Oklahoma City Thunder melaju ke babak playoff NBA.

Terlepas prestasi musim perdana yang belum meyakinkan, setidaknya Donovan berhasil mengeluarkan potensi para pemain muda sekaligus meningkatkan rasio jumlah kemenangan musim lalu.

Bersamaan dengan lapangnya anggaran pemain musim ini, Bulls mengambil jalan pintas dengan langsung merekrut nama-nama berpengalaman seperti Lonzo Ball (PG), DeMar Derozan (SG/SF), dan Alex Caruso (PG), yang diproyeksikan menurunkan beban Lavine (SG) sebagai pencetak angka utama Bulls.

Channel: NBA

Donovan bisa memainkan starter Lonzo Ball (PG), Zach Lavine (SG) DeMar Derozan (SF), Patrick Williams (PF), dan Nikola Vucevic (C), yang sama-sama bisa bermain sebagai playmaker karena punya umpan yang bagus, meski masih memiliki banyak kekurangan di sana-sini.

Melihat dribel dan umpannya yang bagus, tentu saja peran playmaker akan jatuh pada Lonzo. Hanya saja karena finishingnya di bawah jaring belum terlalu luwes, dengan defense-nya yang bagus. ia akan lebih banyak berposisi sebagai small forward. 

Meski tidak harus berpenetrasi, Lonzo masih bisa memanfaatkan akselerasi dan umpannya yang bagus, 

Lonzo bisa memainkan permainan satu dua dengan melewati atau memberikan umpan sambil berlari dari sisi lapangan memasuki daerah pertahanan lawan pada pemain yang berdiri di garis lengkung tiga angka dekat Lonzo memberikan umpan (lebih sering disebut screener) dan menunggu umpan tersebut dikembalikan, baik saat Lonzo sedang berlari melewati screener atau saat Lonzo sudah mendekati jaring.

Begitu menerima umpan, Lonzo bisa menyelesaikan umpan tersebut sambil melompat atau slamdunk (yang sayangnya masih belum terlalu luwes buat Lonzo meski tidak terkawal) atau mengumpankan pada pemain yang lebih bebas.

skema permainan tersebut dalam basket lebih dikenal sebagai pistol action.

Dalam skema pistol action, screener bahkan bisa langsung berposisi sebagai penembak jitu yang siap menerima umpan dari pemain yang bergerak menuju pertahanan lawan tadi

Selain menjadi pengumpan, dengan postur (198 cm), umpan, dan tembakan tiga angka yang bagus, Lonzo juga bisa berperan sebagai screener yang bisa menerima umpan atau mengirim umpan ke playmaker tadi atau pemain lain yang menyelinap di antara kawalan pemain lawan.

Kebetulan posisi playmaker atau penyelinap tersebut bisa diisi  Patrick Williams  yang punya  tembaakan tiga angka dan dribel yang lumayan, meski penetrasinya tidak terlalu bagus-bagus amat atau  DeRozan yang pernah memainkan peran yang sama di San Antonio Spurs meski tembakan tiga angkanya tidak istimewa.

Dengan memberikan peran playmaker pada DeRozan atau Lavine, potensi Lonzo dan Williams sebagai penembak tiga angka, terutama spot up jadi lebih maksimal. 

Terlebih di bangku cadangan, mereka masih punya beberapa pemain yang sayangnya belum terlalu maksimal saat masih memperkuat tim lama

Troy Brown Jr. yang meski kurang tangkas dan jago berpenetrasi, berpotensi menjadi defender yang sulit dilewati lantaran memiliki rentang tangan yang panjang.

Kekurangan Walton justru bisa diisi Stanley Johnson yang sebelum didraft Detroit Pistons sering disamakan dengan Kawhi Leonard karena kemiripan postur dan skill. Sayang kelebihan postur dan kekuatan fisik tersebut tidak tercermin di lapangan karena statistik dari sisi rataan poin, rebound, dan assist terbilang minim dan kurang menjanjikan dan cenderung angin-anginan.

Apabila ingin memainkan pemain yang kontribusinya lebih teruji, terutama akurasi tembakan tiga angka di pojokan, coach Billy Donovan juga bisa memainkan forward tinggi Tony Bradley, meski untuk skill yang lain sebagai pemain berpostur lumayan tinggi belum terlalu kelihatan, terutama sejak bemain di Utah Jazz, mengisi peran center gede dan jangkung yang gesit, pelan, jago ngeblok, dan tidak jago nembak, Rudy Gobert.

Meski punya rebound yang lumayan bila dimainkan lebih ke dalam, skill tersebut nyaris tidak bisa dibandingkan dengan Gobert yang bisa mengambil rebound tanpa susah payah, memanfaatnya rentang tangannya yang panjang dan posturnya yang besar menuh-menuhin bawah jaring.

Peran pemberi umpan matang kepada mayoritas pemain Bulls yang jago tembak juga bisa diisi Alex Caruso yang pada laga pramusim mengirim umpan, baik itu pada pemain yang bergerak mendekati jaring seperti pada DeRozan atau Lavine atau yang tajam di pojokan pada Lonzo dan Lavine banyak menghasilkan angka dan sorak sorai penonton di game pramusim yang sejatinya tidak menentukan melawan tim muda yang musim lalu berada di papan bawah, Minnesota Timberwolves dan Cleveland Caveliers .

Caruso, dan playmaker Bulls lainnya,  bisa melepaskan umpan tajam dengan leluasa karena pemain bertahan lawan lebih berfokus pada forward atau center bertubuh besar yang jago mengumpan dan menembak baik dari area lemparan bebas atau tiga angka, Nikola Vucevic.

Di bangku cadangan, selain Bradley, peran Vucevic bisa diisi Marko Simonovic yang tampil menjanjikan lewat pick and roll sederhana dan assistnya di turnamen musim panas (sebelum partai pramusim), bersama para pemain muda lain Iain yang biasanya akan bermain di G-League, liga satu tingkat di bawah NBA, yang salah satu tujuannya mematangkan rookie atau calon rookie (jika memutuskan bermain secara profesional di luar jalur  NCAA.

Sayang meski gerakannya cukup luwes, kecepatan dan kekuatan fisiknya masih harus ditingkatkan agar gerakannya lebih sulit ditebak ketika harus bermaiin di NBA.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun