Sebelum bikin coretan kurang penting ini, saya pengen mengingatkan diri saya sendiri kalau saya bukan orang atau ahli medis dan nggak pernah dapet pembekalan medis dari mana pun dan dalam bentuk apa pun sampai saat ini.
Saya cuma penggemar para sineas drama jepang yang sepertinya tahu benar cara berbagi pengetahuan medis dengan cara bercerita. Cerita yang seharusnya bikin saya sadar kalau saya makin nggak tau apa-apa soal medis.
Miyama Yoko, dokter yang tegas, jutek, nggak suka basa-basi, fair (terhadap masukkan yang baik dan masuk akal), Kuroiwa Kengo (foto om-om sedakep), dokter yang flamboyan, cuek, gatel terhadap lawan jenis, meski nggak digambarkan sebagai tipe om-om senang yang royal, serta Nishigori Takuma (foto dokter yang jasnya pake kerah), dokter muda yang brilian dan terkesan arogan.
Kebetulan keduanya merupakan dokter-dokter bedah terbaik yang sengaja didatangkan (kalau ngga salah) kepala departemen bedah saraf, Imadegawa Takao (foto dokter rambut putih), untuk membantu dokter Miyama.
Dan, karena keterampilannya yang masih terbatas, ia dijadikan bahan olok-olok seksis dokter Kuroiwa (sadar nggak sadar, dengan mendeskripsikan dokter Sachiko seperti ini saya berarti sama seksisnya dengan Kuroiwa. Seksisme saya bahkan masih berlanjut pada deskripsi dokter Kozukue berikutnya di paragraf selanjutnya).
Yang kuat justru gimana gangguan kesehatan tiap pasien yang para dokter itu tangani bisa memberikan wawasan sekaligus drama tersendiri untuk para penikmatnya (di situlah ciri khas drama jepang yang membuatnya mungkin tidak banyak menarik peminat penonton layaknya drama ber-genre sama dari Korea atau Amrik misalnya).