Mohon tunggu...
Candra Permadi
Candra Permadi Mohon Tunggu... Penerjemah - r/n

r/n

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Melihat Sisi Abu-abu lewat Serial "First Half of My Life"

2 Oktober 2019   11:38 Diperbarui: 28 Mei 2020   21:39 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Ide cerita Wǒ de Qiánbànshēng  atau juga dikenal dengan The First Half of My Life terbilang sederhana. Bagaimana perempuan manusia akhirnya bisa berdiri di atas kaki sendiri. Meski sederhana, prosesnya terbilang cukup panjang. Sampai sekitar 42 episode, klo nggak salah.

Proses yang kadang perlu dilihat secara menyeluruh, baik itu dari sisi jalan cerita, konflik, hubungan antar karakter, budaya sampai  reaksi penonton yang (seolah) terpecah dengan dasar opini yang logis.

Mungkin terkesan rumit dan ribet untuk penonton di sini. Terlebih apa yang disaksikan dari serial ini agak bertolak belakang dengan anggapan umum  masyarakat Indonesia, meski nggak semua, di mana mantan, pria idaman lain, atau wanita idaman lain punya tempat tersendiri bagi netizen Indonesia. Ketiganya dianggap sosok yang layak dipithes dan dijitak (meski ngejitaknya nggak pake bibir #eh).

Paling tidak, dari serial ini, kita bisa melihat bahwa sosok yang mendua tidak bisa sepenuhnya kita caci mentah-mentah dan sosok berhati malaikat bisa terkesan bagai sosok antagonis apabila situasi dan kondisinya nggak mendukung.

Paling nggak kesan itu saya lihat dari karakter Luo Zijun yang sebenernya amat mencerminkan sosok ibu rumah tangga idaman di Cina eh Tiongkok sono.

Zijun, adalah sosok yang sejak berkeluarga, memutuskan untuk total mengurus suami dan anak, memastikan mereka cukup pangan dan sandang, dan tetap tidak lupa merawat diri. Zijun bahkan juga dikenal sebagai anak yang berbakti yang amat memerhatikan ibu dan adik perempuannya Yiqun.

Bahkan saking totalnya, Zijun bisa disebut ibu siaga atau tiger mom (hu ma) klo menurut buku Chinese Discourse of happiness di mana, Yujin berinisiatif menyediakan apa yang dibutuhkan keluarganya, bahkan sebelum mereka meminta, termasuk menyediakan kursi pijat buat suaminya, Chen Junsheng yang tampak lelah sepulang kerja.

Dari situasi ini, boleh dibilang, bukan cuma keseharian Zijun yang amat dekat dengan Masyarakat Tiongkok, karakter Junsheng juga amat lekat dengan keseharian masyarakat di sana, mengingat sekitar 140 juta masyarakat Tiongkok atau nyaris sepertiga populasi di sana merupakan masyarakat pekerja yang memiliki jam kerja sedikit lebih banyak (40 jam) dari jam kerja masyarat dunia pada umumnya, meskipun itu hanya berselisih dua jam dalam seminggu.

Melihat situasi yang ada, wajar jika Junsheng merasa lelah. Wajar juga jika Junsheng senang dengan inisiatif dan perhatian Zijun. Siapa yang tidak suka diperhatikan sepulang kerja dari kantor. Hanya saja, ekspresi Junsheng terkesan setengah hati. Senang tapi tidak sepenuhnya lepas.

Entah kenapa "pelayanan" yang layaknya diperuntukkan bagi kaisar tidak membuat Junsheng merasa nyaman. Junsheng justru lebih merasa nyaman berada dekat rekan sekerjanya, Ling Ling, seorang ibu tunggal dan pekerja keras yang di atas skenario (bukan di depan kamera), tidak secekatan, seramah, dan semenarik Zijun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun