Terkadang, ada keasyikan tersendiri menonton serial yang nggak booming-booming amat. Minimal, kita jadi nggak terlalu terganggu hiruk-pikuk komen yang beraneka macam. Terlebih, film atau serial yang nggak terlalu banyak yang nonton biasanya punya adegan sederhana, pas, dan meski klise, nggak terasa klisenya.
Adegan yang saya maksud di sini termasuk adegan seorang ibu tunggal diminta untuk melakukan pemeriksaan kesehatan selepas sempat terjatuh di halte bus di dekat rumah sakit tempat putranya diperiksa. Pemeriksaan yang memang amat disarankan mengingat ibu tersebut memiliki riwayat kanker adrenal (Adrenocortical  Cancer), yang meski selama tujuh tahun tidak pernah lagi muncul, perlu dipastikan lagi pertumbuhannya. Â
Konon kanker yang bisa menurun ke generasi selanjutnya ini dipicu oleh kebiasaan merokok. Meskipun kita bukan perokok, keturunan kita bisa kena imbasnya.
Saya sendiri merasa tidak bisa berbicara banyak mendengar alasan ibu tadi. Ibu itu bukannya menolak diperiksa lebih lanjut. Ia hanya ingin menundanya sejenak mengingat statusnya hanya pekerja kontrak, lebih sering menjadi pekerja kontrak lebih tepatnya.
Ia hanya ingin memastikan ia menjadi pegawai tetap lebih dulu mengingat peluang itu ada di depan mata.
Jujur, mendengar jawaban itu, saya cuma bisa tersenyum, tapi senyum saya mendadak hilang, dan hanya bisa mengangguk mendengar jawaban radiologis yang berusaha meyakinkan ibu tadi.
Ibu ..., putra anda cuma punya satu ibu, bagaimana kalau semuanya terlambat hanya karena anda menunda pemeriksaan sebentar saja.
Terlepas apa pun hasil pemeriksaannya, kata-kata dokter tadi cukup mengena buat saya, meskipun saya awam soal medis.
Lewat kata-kata dan situasi sederhana yang muncul di tiap episodenya, saya pribadi merasa ditampar dan diingatkan bukan hanya oleh para dokter, radiografer, tetapi juga pasien-pasien yang hadir silih berganti di ruang radiologi. Â
Meski disebut tangan kanan, para radiografer ini tidak diperbolehkan melakukan pemeriksaan sendiri tanpa permintaan dokter, apa pun alasannya. Kalaupun mereka punya alasan kuat, pemeriksaan hanya akan bisa dilakukan apabila mereka berhasil menyakinkan dokter untuk memberikan mereka izin mengambil foto organ pasien yang bersangkutan.
Syukurlah, lewat pemeriksaan tomografi, radiologis memastikan kalau kanker ibu tadi tidak tumbuh kembali. Sakit di perutnya hanya radang pankreas (tidak akut) yang bisa segera pulih. Â
Masih banyak cerita dan ilmu yang bisa kita dapat dari serial yang diadaptasi dari manga yang di negeri asalnya ini belum selesai. Cerita yang layak didengar bukan hanya oleh para profesional, tapi juga awam seperti kita.
Nggak usah terlalu lama menunggu, meskipun di negeri asalnya belum kelar, paling kita sudah bisa melahap habis ceritanya minimal delapan episode dan paling banyak sebelas, tidak lebih.
Berhubung tidak menemukan jaringan abnormal (lesi), tidak salah kalau radiologis senior menyarankan agar radiologis yang lebih muda menuliskan "tidak ditemukan sesuatu yang abnormal" mengingat payudara yang padat bukan hal yang aneh bagi perempuan.Â
Nyaris separuh dari populasi perempuan di dunia memiliki payudara yang padat (entah kenapa untuk cerita ini, maksud saya kasus ini, saya kurang setuju, setidaknya perlu pemeriksaan lanjutan untuk memastikan apakah payudara perempuan ini benar-benar sehat atau tidak). Â
Payudara sendiri tersusun atas jaringan lemak, fibrosa, dan glandular. Padat dan tidaknya payudara seseorang bergantung pada banyak sedikitnya jaringan fibrosa dan gladular yang terdapat pada payudara. Semakin banyak atau tebal jaringan-jaringan tersebut, payudara akan makin padat.Â
Padat tidaknya payudara seseorang tidak bisa ditentukan dengan pemeriksaan payudara sendiri atau pun pemeriksaan medis oleh dokter sekalipun. Kepadatan payudara hanya bisa dideteksi melalui pemeriksaan mamografi.
Semakin padat payudara seseorang, semakin sulit pula mamogram mendeteksi adanya jaringan abnormal. Berbeda dengan payudara yang memiliki lebih banyak lemak. Meskipun lemak pada payudara terbilang tebal, mamogram masih bisa mendeteksi adanya jaringan abnormal pada payudara.Â
Saya sendiri nggak bisa bicara banyak soal pemeriksaan medis perempuan pada serial ini karena memang prosedurnya begitu. Selama tidak ditemukan sesuatu yang abnormal, maka catatan itulah yang harus diberikan.Â
Terlebih masih banyak hasil pencitraan (film) yang harus diperiksa. Kebetulan dalam episode ini diceritakan dua dokter ini harus memeriksa 53 film lagi. Bukan cuma jumlah film yang banyak untuk serial ini, tapi juga bagi para radiologis di Jepang.Â
Jumlah radiologis di Jepang terbilang sedikit. Data terkini (2018) menunjukkan beban kerja radiologis jepang masih tiga kali lebih banyak dibanding para radiologis di negara-negara lain. Â Artinya jumlah radiologis di Jepang memang masih tergolong sedikit jika dibandingkan dengan populasi masyarakat jepang. Â
Saya sendiri sih paham "dramanya" di sini. Siapa pun mungkin akan syok kalau sehabis dinyatakan sehat oleh dokter, tidak beberapa lama kemudian langsung disarankan untuk melakukan pemeriksaan lanjutan. Saya juga paham kenapa juga ujung-ujungnya perempuan ini marah-marah. Kalau memang dianjurkan melakukan pemeriksaan lanjutan kenapa tidak dari awal.
KALAU jaringan abnormal DIDUGA terdekteksi samar dari pemeriksaan sonografi (koreksi kalau salah), dokter kadang akan menyarankan pemeriksaan Pencitraan resonansi magnetik (MRI). Begitu urut-urutannya (sekali lagi koreksi kalau salah).Â
Setidaknya itulah yang dilakukan Igarashi pada perempuan tadi. Walaupun terkesan menggurui (dan memang terasa menggurui), anehnya saya sedikit paham alur pemikiran medisnya.
Mereka, maksud saya, saya akan ditempatkan secara halus, di posisi pasien. Bagaimana kalau saya menjadi pasien yang bersangkutan. Walaupun belum pernah mengalami, saya paham dengan reaksi pasien yang bersangkutan. Mungkin karena alasan inilah gaung Radiation House belum sekencang Grey Anatomy atau Good Doctor yang punya penggemar nggak sedikit di sini.
Serial ini makin terasa dekat karena Endo Kenichi ikut bermain di sini. Ia berperan sebagai kepala radiografer yang santai dan terkesan tidak banyak bicara. Peran yang rasanya terbilang pas untuk petugas medis yang diharuskan lebih banyak bekerja dan menuruti arahan dokter.Â
Kebetulan peran petugas medis atau dokter bukan peran baru buat Kenichi Endo. Ia sempat berperan sebagai Profesor penurut di suatu rumah sakit di serial doctor X.
Hanya saja perannya kali ini tidak sekomikal di Doctor X. Kali ini, perannya juga tidak seserius saat berperan sebagai Goto Hideaki dalam film Berandal 2, tapi lagi-lagi, menurut saya pribadi, perannya pas-pas aja.
Mungkin lewat serial-serial medis seperti ini ada yang akhirnya terinspirasi atau bahkan terdorong untuk menjadi dokter betulan (minimal petugas medis) seperti yang dialami beberapa fans dorama code blue (2009), tapi buat saya memahami alur pemikiran medisnya rasanya cukup (untuk saat ini) karena semua orang, saya rasa, berhak dan mampu memahami kondisi kesehatannya sendiri. Â