Meletusnya Gunung Agung ternyata  tidak menguragi keindahan Bali untuk dinikmati. Bahkan banyak pelancong yang ber selfie ria dengan latar belakang gunung yang tengah terbatuk-batuk ini. Lini masa media sosial pun diwarnai dengan berbagai pemandangan cantik dengan latar gunung Agung dengan asap yang membumbung tinggi serta indahnya puncak gunung saat malam dengan semburan merah menyala.
Tempat wisata yang lazimnya dikunjungi oleh wisatawan di Bali sangat banyak dan umumnya tidak terpengaruh dan tidak dalam wilayah yang dikuatirkan terkena dampak langsung letusan Gunung Agung. Sebut saja Kuta, Sanur, Nusa Dua, Tanah Lot, dan Pantai Pandawa, semua berada di Selatan Barat pulau Dewata dengan jarak lebih dari 70 kilometer dari crater Gunung Agung. Sunrise maupun sunset di pantai-pantai masih bias dinikmati. Berselancar di kencangnya ombak sambil bermandikan cahaya matahari pun masih bisa dilakukan. Apalagi sekedar melepas penat dengan hiburan malam di Legian. Sama sekali tak terhalangi. Bali, kecuali tentunya wilayah yang terdampak langsung letusan Gunung Agung, relative aman dan nyaman untuk wisata. Tak jauh beda dengan hari-hari biasa. Lalu?
Masalahnya ada di pintu masuk pulau Bali. Ya, I Gusti Bandara Ngurah Rai. Ribuan orang masuk ke Bali melalui bandara ini dengan beratus penerbangan baik dari dalam maupun luar negeri. Tutupnya bandara Ngurah Rai menjadi awal kegelisahan, baik bagi para pelancong maupun bagi warga Bali yang penghidupannya tergantung dari dunia pariwisata. Ketidakpastian, kata yang tepat yang menyebabkan munculnya kegelisahan itu. Kegelisahan ini dimanifsetasikan dengan ramainya berita dan lini masa bercerita tentang hal ini.Â
Penutupan pintu masuk utama Bali karena alasan debu vulkanik merupakan suatu kondisi yang tak pasti. Operasi bandara menjadi sangat tergantung suasana alam, kemana angin berhembus mebawa debu vulkanik. Pada saat letusan pertama terjadi tanggal 21 November 2017 lalu, kegelisahannya tidak seperti saat ini. Terbukti hanya sedikit sekali media yang memberitakannya. Namun berbeda ketika otoritas bandara mengumumkan tutupnya bandara Lombok tanggal 26 November 2017, media mulai menggeliat karena sudah membayangkan apa yang terjadi ketika bandara Ngurah Rai yang harus ditutup. Dan akhirnya tanggal 27 November 2017 pagi, apa yang dikuatirkan terjadi. Bandara Ngurah Rai dinyatakan ditutup untuk kegiatan penerbangan karena debu vulkanik telah memasuki ruang udara bandara ini.Â
Tanggal 27 kemaren, hujan seharian melanda Denpasar sekitarnya. Membuat masyarakat berharap bahwa besok pagi tanggal 28 penerbangan keluar dan masuk Bali dapat dilakukan karena berpikir debu vulkanik akan tersapu guyuran hujan. Tetapi, lewat tengah malam, otoritas bandara mengumumkan hasil evaluasi yang menyatakan bahwa penutupan bandara harus diperpanjang lagi selama 24 jam. Haduh....
Suramnya Bali hingga akhir tahun langsung terbayang. Membaca berita tentang banyaknya pembatalan kedatangan ke Bali membuat hati miris. Situasi ini tidak baik bagi pariwisata Bali. Ruang untuk berwisata dan kegiatannya tersedia, namun tutupnya bandara menyebabkan ketidakpastian untuk masuk atau keluar dari Pulau ini.Â
Untuk masuk ke Bali sebenarnya ada pintu masuk lain. Namun jaraknya relative jauh. Bandara terdekat dengan Bali adalah Bandara Blimbing Sari di Banyuwangi yang berjarak kurang lebih 4 jam, namun harus menyeberangi Selat Bali dengan ferry penyeberangan. Sungguh bukan suatu hal yang ideal. Ditambah lagi dengan frekwensi penerbangan yang terbatas. Bolehlah, tetapi bukan merupakan opsi yang baik.Â
BAndara Lombok, juga dapat menjadi alternative, tetapi jaraknya juga cukup jauh. Dengan kapal cepat dari Padang Bai mungkin oke, tapi berganti-ganti moda untuk mencapai bandara Lombok? Bukan pilihan ideal bagi pelancong. Disamping bandara ini juga beresiko untuk mendapat kiriman debu vulkanik dari Gunung Agung yang dapat melumpuhkan operasi bandara ini.
Bagaimana dengan jalur darat melalui Surabaya dan Bandara Juanda? Bisa, tetapi butuh waktu lebih dari 10 jam untuk mencapai Denpasar. Rasa-rasanya kalau tidak terpaksa, tak akan mengambil rute ini. Dengan situasi seperti ini terbayang indahnya jika Bali punya dua landasan terbang satu di Selatan dan satu di Utara. Tapi ah sudah lah........ sudah ada ahlinya yang mengurus.
Ah mungkin kekuatiran berlebih saja. Mungkin saja besok Bandara Ngurah Rai terbuka karena angin berubah arah, mendorong jauh partikel debu ke Samudera Hindia atau Laut JAwa sebelah Utara Pulau Bali. Yup, tapi Gunung Agung akan terus memuntahkan isi perutnya sampai jangka waktu yang tak dapat diperkirakan. Letusan tahun 1963 berakhir dalam waktu setahun. Mungkinkah selama setahun itu Bandara Ngurah Rai akan buka tutup? Kita tidak tahu. Letusan beberapa hari ini kabarnya merupakan letusan pemanasan, belum yang sebenarnya.Â
Duh, jadi bagaimana? Wisatawan tentu ingin kepastian, kepastian tiba dan kepastian berangkat. Ini yang tidak dapat dipastikan pada saat ini dan menjadi kekuatiran. Wah kenapa jadi wisatawan yang kuatir? Bagaimana dengan warga yang terdampak langsung? Kabarnya para pengungsi yang telah dievakuasi dari daerah bahaya sepertinya sudah tertangani dengan baik. Pemerintah sangat tanggap dan cepat dalam mengantisipasi kejadian letusan gunung berapi ini. Mereka tak ingin kejadian 54 tahun lalu ketika gunung ini merenggut 1600 nyawa terjadi lagi. Informasi tersebar dengan baik dan kesadaran masyarakat sangat tinggi.Â