Selain dampak pada korban, bullying juga memengaruhi pelaku dan saksi. Siswa yang terlibat dalam tindakan bullying, baik sebagai pelaku maupun saksi, dapat mengalami perubahan perilaku yang signifikan (Patras & Sidiq, 2020). Pelaku bullying mungkin mengembangkan sikap agresif dan kurang empati terhadap orang lain, sedangkan saksi dapat merasa tertekan atau bersalah karena tidak mengambil tindakan untuk membantu korban. Lingkungan sekolah yang dipenuhi dengan tindakan bullying menciptakan budaya ketidakamanan yang dapat menghambat perkembangan karakter siswa secara keseluruhan. Oleh karena itu, penting untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai dampak bullying terhadap perilaku siswa di sekolah. Dengan memahami berbagai aspek dampak tersebut, pihak sekolah, orang tua, dan masyarakat dapat bekerja sama untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman dan mendukung bagi semua siswa. Penanganan yang efektif terhadap masalah ini tidak hanya akan membantu korban untuk pulih dari pengalaman buruk mereka, tetapi juga akan membentuk generasi muda yang lebih empatik dan bertanggung jawab.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan jenis penelitian kualitatif deskriptif. Pendekatan ini dipilih untuk menggali pemahaman yang lebih mendalam mengenai dampak bullying terhadap perilaku siswa di sekolah. Penelitian kualitatif deskriptif memungkinkan peneliti untuk memperoleh data secara langsung dari peserta melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi, sehingga dapat mendeskripsikan fenomena bullying dan dampaknya dengan cara yang lebih terperinci dan kontekstual. Data yang diperoleh kemudian dianalisis untuk mengidentifikasi tema-tema utama terkait perubahan perilaku siswa yang menjadi korban bullying, baik dalam aspek emosional, sosial, maupun akademis. Dengan pendekatan ini, diharapkan dapat ditemukan gambaran yang lebih jelas mengenai konsekuensi jangka pendek dan jangka panjang dari bullying terhadap perkembangan pribadi siswa.
PEMBAHASANKata bullying berasal dari bahasa inggris, yaitu dari kata bull yang artinya banteng yang senang merunduk kesana kemari. Dalam bahasa Indonesia, secara etimologi kata bully berarti penggertak, orang yang mengganggu orang lemah. Sedangkan secara terminologi menurut Tattum bullying adalah "....the willful, conscious desire to hurt another and put him/her under stress''. Dari definisi tersebut dapat disimpulan bahwa bullying merupakan serangan berulang secara fisik, psikologis, sosial, ataupun verbal, yang dilakukan untuk keuntungan atau kepuasan mereka sendiri (Lusiana & Siful Arifin, 2022).
Fenomena bullying dapat terjadi dimana saja, di perkotaan, pedesaan, sekolah negeri, sekolah swasta, dan lainnya. Bullying terjadi karena interaksi dan berbagai faktor yang dapat berasal dari pelaku , korban, dan lingkungan dimana bullying tersebut terjadi. Menurut Yuliani,(2019) menyatakan bahwa, anak-anak korban bullying memiliki salah satu atau beberapa faktor resiko bsebagai berikut :
- Dianggap berbeda, misalnya memiliki ciri fisik tertentu yang mencolok seperti lebih kurus, gemuk, tinggi, atau pendek dibandingkan dengan yang lain.
- Dianggap lebih lemah atau tidak dapat membela dirinya.
- Memiliki rasa percaya diri yang rendah.
- Kurang populer dibandingkan dengan yang lain, tidak memiliki banyak tema
Pola asuh yang diterapkan adalah salah satu interaksi keluarga yang berperan penting dalam perkembangan psikososial anak oleh orang tua terhadap anak, dan persepsi anak terhadap pengasuh orang tuanya akan berubah ketika mereka menjadi remaja. Beberapa faktor di dalam dan di luar diri siswa memengaruhi perilaku bullying siswa.Â
Dua faktor yang paling berpengaruh adalah faktor keluarga (orang tuanya berpisah), yang menyebabkan S-JBP kurang didikan, perhatian, dan kasih sayang dari orang tua, sehingga menjadikan siswa Orang tua memiliki peran penting dalam mendidik anak karena peran ini akan membentuk kepribadiannya (Afiyani et al., 2019). Faktor lainnya yaitu dari dalam diri siswa, S-JBP tidak hanya menjadi korban perceraian orang tua akan tetapi S-JBP tidak dapat mengenali dirinya sendiri, tidak ada kemauan untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik sehingga sampai saat ini belum nampak suatu usaha dari dalam diri S-JBP untuk menjadi siswa yang berperilaku baik, bergaul dengan baik, dan mengontrol emosi diri dengan baik.
Bullying di sekolah merupakan masalah serius yang memiliki dampak jangka panjang terhadap perkembangan siswa, baik secara emosional, sosial, maupun akademis. Berdasarkan hasil penelitian ini, terlihat bahwa korban bullying mengalami penurunan dalam rasa percaya diri mereka. Siswa yang sering menjadi sasaran bullying cenderung merasa inferior, rendah diri, dan kurang mampu dalam berinteraksi dengan teman sebaya. Mereka juga merasa terisolasi dan terpinggirkan, yang berdampak pada keengganan mereka untuk berpartisipasi dalam aktivitas sosial di sekolah. Penurunan rasa percaya diri ini menjadi hambatan utama dalam pengembangan keterampilan sosial dan pembentukan hubungan yang sehat dengan teman-teman di sekitar mereka.
Dampak bullying juga sangat terasa pada aspek emosional siswa. Banyak korban bullying yang menunjukkan gejala stres, kecemasan, dan depresi. Siswa-siswa ini seringkali merasa cemas untuk pergi ke sekolah, takut berinteraksi dengan teman sekelas, dan cenderung menarik diri dari kegiatan sosial (Febriana & Hariyadi, 2023). Penelitian ini menunjukkan bahwa perasaan tertekan akibat bullying dapat mengarah pada gangguan tidur, penurunan mood yang signifikan, serta perasaan cemas yang terus-menerus. Sebagian besar siswa yang menjadi korban bullying juga mengalami perubahan dalam pola makan dan keseharian mereka, yang menunjukkan dampak psikologis yang mendalam akibat perlakuan negatif yang mereka terima. Selain dampak emosional, bullying juga berdampak pada performa akademis siswa. Banyak korban bullying yang mengalami kesulitan berkonsentrasi dalam pelajaran dan tidak dapat mencapai potensi akademik mereka secara optimal. Ketidakmampuan untuk fokus di kelas, rasa takut akan adanya intimidasi dari teman-teman sekelas, serta rendahnya motivasi untuk belajar menjadi faktor penghambat dalam prestasi akademik mereka. Dalam beberapa kasus, siswa yang menjadi korban bullying cenderung memiliki catatan absensi yang lebih tinggi karena mereka merasa tertekan dan tidak nyaman berada di lingkungan sekolah. Penurunan performa akademik ini semakin memperburuk rasa tidak berdaya dan menurunkan semangat untuk berprestasi.
Dari segi sosial, bullying juga menyebabkan gangguan dalam kemampuan siswa untuk membangun hubungan yang sehat dengan teman-teman sebayanya (Fitria & Lestari, 2023). Siswa yang menjadi korban bullying sering merasa tidak diterima oleh kelompok sosial mereka, sehingga kesulitan untuk berintegrasi dan membangun persahabatan yang positif. Mereka mungkin merasa sulit untuk berkomunikasi dengan teman sekelas, atau bahkan menghindari interaksi sosial sama sekali karena trauma yang dialami. Hal ini tentu akan memperburuk kondisi emosional mereka, yang semakin memperkuat siklus bullying. Dalam beberapa kasus, korban bullying dapat mengembangkan sikap apatis terhadap hubungan sosial, karena mereka merasa bahwa interaksi dengan orang lain hanya akan membawa penderitaan lebih lanjut.
Oleh karena itu, upaya untuk mengatasi bullying di sekolah tidak hanya melibatkan perlindungan terhadap korban, tetapi juga penting untuk memberikan perhatian pada pembinaan karakter dan pendidikan emosional bagi siswa yang melakukan bullying. Pemberian bimbingan dan pendidikan tentang empati serta konsekuensi dari perilaku bullying dapat membantu mencegah terjadinya tindakan kekerasan lebih lanjut dan menciptakan lingkungan sekolah yang lebih aman dan inklusif bagi semua siswa.