Mohon tunggu...
Camytha Octa
Camytha Octa Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Analisis Novel Ayahku (Bukan) Pembohong

24 Februari 2018   16:53 Diperbarui: 24 Februari 2018   17:12 6404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Novel Ayahku (Bukan) Pembohong menggambarkan pengalaman profil tokoh ayah yang menganggap cerita-cerita dongeng dapat memberikan motivasi besar bagi perkembangan anaknya. Hal ini tentu menjadi sesuatu yang positif untuk didengarkan dan bisa menginspirasi sang buah hati. Tetapi tidak untuk tokoh aku, Dam, di dalam novel ini.

Kedekatan ayahnya dengan pemain sepak bola berbakat, Lembah Bukhara, Apel emas, suku Penguasa Angin, danau para Sufi, dan Raja Tidur membuat Dam membenci ayahnya karena dianggapnya hanya cerita khayalan setelah ia menemukan 2 buah buku yang isinya sama persis dengan cerita ayahnya tersebut.

Dam juga baru tahu bahwa ibunya sakit dan ayahnya hanya memberi obat dengan 'kebahagiaan' seperti apa yang diberi tahu si Raja Tidur. Mulai dari sinilah Dam tidak pernah percaya dengan cerita ayahnya lagi dan selalu risih ketika ayahnya juga menceritakan hal yang sama kepada kedua anaknya, Zas dan Qon, dan istrinya, Taani. Hal ini bisa dibuktikan dengan bagaimana rasa kesal Dam terhadap ayahnya.

"Aku mengatupkan rahang. "Dari mana kau tahu kata Akademi Gajah?"
Zas langsung tertunduk, begitu juga Qon.
Astaga! Bukankah aku sudah bilang ke Ayah untuk menghenti kan cerita-cerita itu? Tidak ada lagi yang boleh melanggar peraturan di rumahku." (hlm. 259)

Saat Dam masih terbilang anak-anak, ia percaya bahwa semua cerita ayahnya benar-benar pernah beliau lakukan. Kepercayaan anak terhadap apapun yang di dengarnya tentu bisa selalu diingat sampai kapan pun dan Dam terus menagih cerita-cerita ayahnya yang menyenangkan itu, seperti pada kutipan dibawah ini.

""Tidur, Dam. Ini sudah pukul tiga dini hari." Ibu mendelik.
"Empat jam lagi kau harus sekolah. Bukankah sore-sore pula kau harus ikut seleksi renang?"
Aku merengut, itu bisa diurus nanti-nanti. Aku menoleh ke arah Ayah, meminta dukungan. Tetapi setelah berpikir sejenak, Ayah ikut menyetujui kalimat Ibu. "Ibu kau benar, kita bisa lanjutkan besok lusa." Dan Ayah beranjak membereskan meja. Aku berkata "ya" pelan, kecewa." (hlm. 16-17)

Dam digambarkan sebagai seorang anak yang baik dan pemberani karena terinspiratif dengan cerita-cerita ayahnya. Salah satu cerita Ayah, seorang Kapten sepak bola yang pantang menyerah sekalipun dengan keminimalisiran tenaga yang dimiliki membentuk diri Dam sebagai anak yang tidak mudah menyerah.

"Pengaruh kurang tidur semalam semakin memengaruhi staminaku. Tubuhku lemas. Tangan dan kakiku semakin berat digerakkan. Ayolah, aku mendesis. Bukankah Ayah tadi malam bilang sang Kapten tidak pernah menyerah? Semangatnya tidak pernah patah meskipun kakinya patah ditebas bek lawan. Karena itulah El Capitano sejati." (hlm. 27)

Selain itu, Dam adalah siswa yang nekat dan nakal. Kelakuannya di bangku SMP yang letaknya jauh dari orang tua dan ingin melakukan sesuatu yang baru justru membuatnya ditimpa hukuman.

"Aku tahu itu melanggar seluruh peraturan. Retro juga menyergahku, tidak percaya dengan rencana yang akan kulakukan. Ia mengingatkan semua pelanggaran yang kami lakukan tiga tahun terakhir: menonton Piala Dunia, merayakan ulang tahun di kamar, dan merusak alat praktik gravitasi.
"Kau mau ikut tidak? Berlarian di bawah cahaya bulan dengan anak panah di punggung, busur di tangan, berburu babi bersama yang lain. Itu pasti hebat."
"Kita bisa dikeluarkan, Dam. Hukumannya bukan sekadar menunggui buah apel jatuh atau denda." Retro menggaruk kepalanya.
"Tidak akan ada yang tahu." Aku meyakinkan." (hlm. 214)

Rasa jengkel Dam kepada cerita-cerita ayahnya semakin besar hingga ia memiliki keluarga baru. Dengan terpaksa, Dam harus memulangkan ayahnya ke rumah masa kecil Dam.

"Ya, aku tidak suka. Kecuali Ayah bilang pada Zas dan Qon bahwa cerita-cerita itu bohong," aku berkata tegas, membalas tatapan Ayah." (hlm. 279)

Dibalik cerita-cerita dongeng, Ayah selalu menasihati Dam dengan kebijaksanaannya. Ayah selalu mengajarkan hal-hal yang baik dengan tujuan bisa membentuk karakter yang bermutu untuk anaknya kelak.

"Ah, yang menghina belum tentu lebih mulia dibandingkan yang dihina. Bukankah Ayah sudah berkali-kali bilang, bahkan kebanyakan orang justru menghina diri mereka sendiri dengan menghina orang lain." (hlm. 38)

Istri Dam, Taani, begitu sabar menghadapi Dam yang bersikeras untuk menjauhkan Ayah dengan Zas dan Qon. Dam tidak ingin anak-anaknya dibohongi dengan cerita-cerita palsu Ayah seperti ia diwaktu kecil dulu.

"Ayah tersengal, tubuh tuanya bergetar. Taani mencengkeram lenganku, menyuruh berhenti bicara. Tidak, aku tidak akan berhenti sebelum Ayah paham, sebelum Ayah berjanji benar-benar memutus apa saja cerita dari mulutnya." (hlm. 279)

Tidak hanya Dam kecil yang menginginkan cerita Ayah yang menakjubkan. Zas dan Qon, kedua anak Dam, sangat berantusias mendengarkan cerita Ayah hingga mereka berusaha mencari tahu di mana saja untuk membuktikan bahwa cerita Ayah itu bukan mengada-ada.

"Aku keliru. Ketika Zas tidak bisa menemukan entri kata apel emas, Lembah Bukhara, suku Penguasa Angin, atau si Raja Tidur di mesin pencari internet, ia mengajak adiknya ke perpustakan kota. Dua gedung besar, masing-masing delapan lantai, ada puluhan ribu buku. Di tempat itulah Zas berharap menemukan bukti bahwa cerita-cerita kakeknya sungguhan. Rasa penasaran itu tidak beda dengan yang aku alami dulu, dan mereka lebih nekat. Bolos dari sekolah. Berjam-jam berkutat memeriksa daftar buku, mencari di rak-rak, membaca bab-bab yang ada, berharap akan menemukan penjelasan." (hlm.224)

Jarjit adalah teman sekelas Dam diwaktu kecil. Jarjit selalu jahil dan memusuhi Dam karena pada saat Jarjit dan teman sekelasnya menyerang musuh Jarjit, Dam tidak ikut membantu. Dam tahu mana perilaku yang baik dan buruk. Tentu saja Dam tidak ingin mengikuti hawa kemarahan Jarjit.

"Kupikir tali pinggangnya akan putus di menit kesepuluh." Jarjit masih asyik.
Aku mengangkat kepalaku, belum mengerti.
Jarjit santai menunjukkan gerakan menggunting udara dengan telunjuk dan jari tengah. Kepalaku berpikir cepat. Tentu saja, tidak mungkin tali celanaku putus begitu mudah tanpa sebab. Aku melempar kantong plastik baju renang, dan tanpa ba-bi-bu, lompat memiting. Jarjit tidak tinggal diam, dia balas mendorong tubuhku. Anak-anak lain yang berada di ruangan ganti berusaha Isi-Ayahku melerai. Kursi panjang terpelanting. Kantong plastik terserak. Aku tersengal menahan marah. Jadi ini semua rencananya. Kalau saja celana itu putus di menit kesepuluh, akan sulit sekali menyelesaikan tes daya tahan itu. Jarjit-lah yang diam-diam menggunting separuh tali celana renangku." (hlm. 46-47)

Ajakan yang salah bisa kapan saja terjadi. Ketika telah mengetahui bahwa hal tersebut tidak benar, tentu yang harus dilakukan adalah menolak ajakan tersebut. Jika menerimanya, sesuatu yang buruk pasti terjadi. Sama halnya dengan Retro, ia mau mengikuti semua ajakan Dam yang nekat tersebut. Alhasil Retro juga ikut dihukum bersama Dam.

"Aku dan Retro digiring meninggalkan kamar di bawah tatapan teman-teman. "Kalian bergegas kembali ke kamar masing-masing, atau semuanya dihukum." Guru pengawas berseru kencang, membuat pesta bubar dalam hitungan detik.
"Dam, kau selalu membawa masalah untukku," Retro berbisik, bersungut-sungut sepanjang jalan, melintasi lorong, naik-turun anak tangga.
"Aku melakukannya demi kau, Kawan."
"Aku tidak meminta kau merayakan ulang tahunku!" Retro melotot. "Kepala sekolah pasti menghukum kita lebih berat dibanding menonton sepak bola sialan tahun lalu." (hlm. 126)

Novel ini menggunakan tokoh aku, Dam, sebagai pelaku utama. Novel ini menceritakan kehidupan Dam mulai dari ia kecil hingga dewasa.

"Aku menelan ludah, terdiam sejenak, kehabisan seruan apalagi pertanyaan." (hlm. 16)

Novel Ayahku (Bukan) Pembohong menyajikan cerita masa sekarang, masa lalu, kembali lagi ke masa sekarang, berlanjut ke masa lalu, begitu seterusnya. Alur campuran pada novel ini bisa dilihat dari kutipan berikut.

"Sulungku terdiam sesaat, hendak membantah, tetapi akhirnya mengangguk-angguk, berlari meninggalkan ruang kerjaku.
Aku kembali ke Akademi Gajah esok harinya. Ayah beserta Ibu mengantarku ke stasiun, tetapi Ayah tidak banyak bicara." (hlm. 194-195)

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa anak sulung Dam, Zas, bertanya kepada Dam tentang kebenaran dari cerita ayah Dam, kakek Zas, dan kalimat selanjutnya menceritakan kembali masa SMP Dam.

Latar tempat yang diceritakan di dalam novel ini adalah sekolah Akademi Gajah, rumah Ayah, rumah Dam, dan kolam renang, perpustakaan, dan pemakaman. Dam menghabiskan 3 tahun masa remajanya jauh dari orangtua, yakni bersekolah asrama di sekolah Akademi Gajah.

"Malam kesekian di asrama, kamarku dan Retro disesaki teman-teman." (hlm. 125)

Rumah Ayah dan rumah Dam adalah tempat dimana sang Ayah selalu menceritakan kisah hidupnya, kepada Dam, anak-anak Dam, dan istri Dam.

"Hujan mulai reda, ruang keluarga kami." (hlm. 107)

Sejatinya Dam adalah anak yang berbakat dalam berenang. Dengan hal ini tentu kolam renang adalah sahabatnya.

"Kolam renang kota ramai oleh anak-anak. Beberapa di antaranya teman sekolahku. Orangtua dan penonton lainnya duduk di tribun, mengembangkan payung besar warna-warni." (hlm. 23)

Dam sangat menyukai menggambar sketsa bangunan. Menurutnya perpustakaan adalah salah satu bangunan yang menarik di sekolahnya. Bahkan ia rela dihukum membersihkan perpustakaan hanya untuk mencapai keinginannya.

"Dengan dihukum membersihkan perpustakaan sekolah, aku memiliki banyak waktu untuk memeriksa seluruh bagiannya, menggambarnya." (hlm. 128)

Pada akhir cerita novel ini, ayah Dam meninggal dengan tidak dicantumkan sebab terjadinya ayahnya meninggal. Penulis hanya menceritakan bahwa ayahnya meninggal di bab terakhir, bab 31, dan menunjukkan bahwa ternyata cerita-cerita Ayah selama ini benar adanya.

"Pemakaman ini dihadiri walikota, keluarga besar Jarjit, teman-teman sekolahku, temanteman klub renang, tetangga, kolega, dan kenalan Ayah yang sebagian besar tidak kukenali." (hlm. 295)

Latar waktu yang digunakan penulis dalam mempernyata novel ini bisa kita lihat dari kutipan-kutipan berikut.

"Masih pagi, sekolah belum ramai saat Taani tergopoh-gopoh datang." (hlm. 40)

"Kau menonton sang Kapten, Dam?" Jarjit menyapaku pulang sekolah, hari berikutnya." (hlm.84)

"Persis pukul lima sore, tibalah pertandingan besar itu." (hlm. 105)

"Malamnya saat menemani Ibu tidur di kamar, memijat lengan Ibu, sambil terisak aku bertanya, "Apakah cerita-cerita Ayah selama ini bohong, Bu?" (hlm. 108)

Hal lain yang digunakan untuk mempernyata novel ini adalah latar suasana. Ada suasana menegangkan dari amarah Dam yang membuat istri Dam bertekuk lutut kepadanya dan anak-anak Dam yang ketakutan dengan pertengkaran orang tuanya.

 "Dam!" Taani sudah memeluk lututku. "Itu Ayah, Dam. Ayah kau! Yang menggendong kau saat bayi, yang mengajak berlarian saat kau dua-tiga tahun. Itu Ayah, Dam." Di atas sana, Zas dan Qon menangis memeluk bantal. Mereka bisa mendengar pertengkaran kami." (hlm. 279-280)

Ada juga suasana yang sunyi. Dam tidak tahu harus berkata apalagi setelah ia tidak enak hati berbicara kepada ayahnya untuk menanyakan apakah cerita ayahnya benar-benar ada atau tidak.

"Hujan di luar semakin deras, kerlip lampu mobil yang melintas terlihat indah dari bingkai jendela. Ruang keluarga terasa lengang. Ayah menatapku tajam, tidak seperti biasanya. Aku menunduk." (hlm. 186)

Latar sosial yang disajikan dalam novel ini adalah kehidupan yang sederhana dan bahagia. Bukan hanya uang yang bisa membuat seseorang bahagia, tetapi keluarga kecil yang harmonis, bercerita berbagi pengalaman, menyemangati, dan menyayangi satu sama lain sudah lebih dari cukup dari sekedar kata sederhana dan bahagia.

Unsur ekstrinsik dalam novel ini diantaranya mengajarkan untuk selalu menepati janji. Ketika kita telah mengucap janji, maka sesuai waktu yang telah dijanjikan, kita harus menepatinya tanpa alasan apapun.

"Kita sudah bersepakat. Setengah jam sudah lewat, saatnya tidur. Kalian tidak akan melanggar kesepakatan kita, bukan? Atau tidak akan ada lagi orang yang menghormati janji kalian." (hlm. 109)

Selain itu, kejahatan tidak harus dibalas dengan kejahatan pula. Pembalasan dendam hanya akan membuat masalah menjadi besar dan rumit. Apalagi jika diajak untuk balas dendam dengan berkelahi, hal terbaik yang harus dilakukan adalah menolaknya.

"Aku hanya tidak suka berkelahi, apalagi beramai-ramai mengeroyok dan sekadar balas dendam." (hlm. 64)

Novel "Ayahku Bukan Pembohong" ditulis oleh Tere Liye. Ia lahir pada tanggal 21 Mei 1979 di Bandung. Tere Liye berasal dari Sumatera Selatan dan merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara. Nama aslinya adalah Darwis, sedangkan Tere Liye merupakan nama populernya yang diambil dari bahasa India yang berarti untukmu. Ia merupakan mahasiswa lulusan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI). Hingga saat ini Darwis telah melahirkan empat belas karya best seller dan diantara karya-karyanya ada beberapa novel yang difilmkan.

Darwis, yang kerap disapa Tere Liye menulis novel Ayahku (Bukan) Pembohong ini karena ia ingin menyampaikan tentang apa arti kebahagiaan yang sesungguhnya dan tentang membesarkan anak dengan kehidupan yang tidak berlebihan, melalui cerita-cerita inspiratif seorang ayah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun