Huh. Saya merasa begitu berdosa lantaran sekonyong-sekonyong suuzan dengan warung bakso tersebut. Ditambah saat terkenang dengan pelayanannya yang harus saya akui cukup ramah. Namun, yang jelas. Kepala saya yang sedari tadi memikirkan warung bakso itu pun beralih pada persoalan mengenai penglaris.
Perkara tentang penglaris ini justru makin membuat saya penasaran dan tidak bisa tidur. "Kok bisa ya orang-orang dagang pake penglaris?" hemat saya berkata. Berlandaskan hal itu, tanpa basa-basi saya membuka gawai dan mencari segenap artikel yang berkaitan dengan penglaris di internet: mulai dari definisinya, bentuk-bentuknya, hingga cerita pengalaman orang yang pernah bersinggungan langsung dengannya.
Hasilnya? Sangat banyak. Saya kira, hampir lebih dari 12 artikel berhasil saya baca pada malam itu. Artikel-artikel tersebut kebanyakan menjelaskan bila penglaris sering kali digunakan oleh pedagang dengan memanfaatkan keberadaan jin. Meski ada banyak cara yang dapat dilakukan. Namun, biasanya jin tersebut ditugaskan untuk meludahi atau menjilati makanan yang akan disajikan kepada pelanggan.
Membaca beberapa artikel itu kemudian membuat saya berpikir, "Berarti bukankah ada semacam relasi bos-pekerja yang mencuat dalam fenomena penglaris ini?"
Sebagai seorang mahasiswa yang belakangan telah menggeluti ilmu sosial dan humaniora selama tujuh semester, tentunya pertanyaan semacam ini tidak bisa saya hindarkan.
Akhirnya, akibat pertanyaan itu pula, diri saya yang sebelumnya terbaring sedikit lunglai dan terkantuk-kantuk justru kembali segar. Sulit rasanya untuk memejamkan mata dengan kepala dihinggapi pertanyaan semacam itu.
Guna menanggapi pertanyaan tersebut, saya kembali teringat dengan ujaran seorang teman pada suatu sesi fafifu di kantin kampus yang kira-kira berkata seperti ini:Â
"Dalam kapitalisme semua menjadi serba halal. Bekerja lebih dari 16 jam, tidak ada cuti, atau seorang ibu bekerja sambil menyusui anaknya. Semuanya tidak berarti apa-apa. Yang penting laba bisa diraih. Kamu tidak bekerja, kamu tidak diberi upah. Kalau diri kamu tidak memiliki upah, lantas dari mana kamu hidup? Sampai sini, kamu seharusnya paham siapa penguasanya.."
Berdasarkan ujaran teman saya tersebut, saya merenung kalau jangan-jangan mempekerjakan makhlus halus seperti jin juga bagian dari kapitalisme atau setidaknya konsekuensi dari kehidupan ekonomi yang didasarkan atas persaingan dan pasar bebas? Jadi, apakah dalam kapitalisme makhluk halus punya predikat sebagai kelas pekerja?
Toh bayangkan begini. Jin yang dipekerjakan sebagai penglaris biasanya memiliki tugas untuk menjilati atau meludahi makanan yang akan dihidangkan kepada pelanggan. Jika dihitung jam kerjanya, anggaplah ia memiliki jam kerja yang sama dengan jam buka warung itu sendiri. Mengingat posisinya yang vital dan tidak bisa digantikan. Pertanyaannya, bagaimana bila warung tersebut buka 24 jam?
Lantaran jam kerja sudah diatur secara hukum, pada umumnya seorang pekerja (tentunya manusia) bekerja maksimal selama 8 jam. Jadi di warung yang buka 24 jam, otomatis memiliki tiga shift untuk para pegawainya. Aturan hukum ini tentunya tidak berlaku untuk jin penglaris.Â