Di satu sisi pemberian PR bisa dianggap positif. Pasalnya, siswa semakin memahami materi pelajaran dengan mengulangi materi tersebut. Siswa juga mempunyai sikap tanggung jawab dan disiplin dalam mengerjakannya.
Pemberian PR juga tidak dilakukan individual tapi juga bisa dikerjakan secara berkelompok. Tentunya ini bisa menambah semangat dalam membagi tugas, bekerja sama, dan bisa bersosialisasi antar teman.
Ternyata kebijakan ini tidak hanya diterapkan di Indonesia saja, beberapa sekolah yang ada di luar negeri juga mulai menerapkan kebijakan ini.
Mereka menganggap PR itu adalah sebuah proyek yang memakan waktu lama yang sia-sia. Tugas-tugas tersebut yang membuat anak menjadi cepat lelah, merasa tertekan, dan tidak aktif karena terus duduk dan terpaku dengan buku.
Sebenarnya kebijakan penghapusan PR ini sah-sah saja asalkan pendalaman karakter bisa diterapkan sebaik mungkin. Dimulai dari materi pengajarannya, tanggung jawab dan disiplin dari siswa itu sendiri, dan kesiapan guru dalam memahaminya.
Kalau dipikir-pikir, selain PR ada juga yang bikin siswa itu bisa depresi. Pemahaman dan penghafalan siswa saat mengerjakan ulangan dan tes tengah akhir semester.
Terkadang siswa harus menghafalkan satu buku dalam satu atau dua malam untuk mengerjakan pilihan ganda, isian singkat, maupun esai panjang. Belum lagi jika sehari ada 2-3 mata pelajaran yang harus diujikan.
Itu pun terjadi hampir setiap hari tanpa ada hari libur sehingga itu juga membuat siswa cepat jatuh sakit secara fisik maupun mental.
Ketika mendapat nilai jelek, mental siswa semakin terpuruk. Tidak hanya mendapat nasihat dari guru dan teman saja, melainkan orang tua juga yang ingin anaknya mendapat nilai bagus.
Seharusnya ini juga diperhatikan baik-baik bagaimana cara siswa bisa menyiapkan ini dengan sebaiknya agar tidak mendapat hasil yang buruk dan tidak mengulangi pelajaran lagi.
Jadi tidak hanya penghapusan PR saja, melainkan tata cara pemahaman dan penghafalan siswa juga digencar agar tidak membuat siswa tertekan.