Mohon tunggu...
M. Sadli Umasangaji
M. Sadli Umasangaji Mohon Tunggu... Freelancer - celotehide.com

Menulis beberapa karya diantaranya “Dalam Sebuah Pencarian” (Novel Memoar) (Merah Saga, 2016), Ideasi Gerakan KAMMI (Gaza Library, 2021), Serpihan Identitas (Gaza Library, 2022). Ia juga mengampu website celotehide.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Narasi Sosialisme Religius

14 Mei 2023   11:40 Diperbarui: 22 Mei 2023   09:58 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Narasi Sosialisme Religius?

M. Sadli Umasangaji

Kita dapat memulai dengan mengutip apa yang dipertanyakan dan dituliskan Nurcholish Madjid, "Pertanyaan: mengapa sosialisme, dalam konteks Indonesia, mungkin tidak perlu lagi diajukan? Sebab, sosialisme dapat dianggap sebagai suatu cara lain untuk mengungkapkan ciri masyarakat yang dicita-citakan oleh Pancasila, yaitu masyarakat berkeadilan sosial".

Dalam buku "Sosialisme; Pengalaman Venezuela Amerika Latin" Martha Harnecker, dalam pengantarnya, tertulis 'Garis Moderat versus Radikal'. Dalam tujuan mewujudkan 'Jalan Amerikan Latin', sosiolog Steve Ellner (2011) mengatakan bahwa kasus Venezuela terjadi perdebatan sengit antara dua kubu gerakan kiri, yakni Kubu Radikal yang mengikuti garis Leninis. Sementara kubu Moderat yang terinspirasi pada Antonio Gramsci, dimotori oleh Marta Hernecker.

Marta Hecneker (2015), golongan kiri juga menjadi dewasa dalam hubungannya dengan gerakan-gerakan rakyat ketika mereka mengerti bahwa gerakan-gerakan rakyat ketika mereka mengerti bahwa gerakan-gerakan ini tidak boleh diperlakukan sebagai penyalur untuk keputusan-keputusan 'partai' tetapi harus memiliki otonomi yang semakin meningkat, sehingga mereka bisa mengembangkan agenda-agenda perjuangan mereka sendiri. 

Golongan kiri juga mulai mengerti bahwa perannya adalah mengkoordinasikan bermacam-macam agenda dan bukan menyusun satu agenda tunggal dari atas. Golongan kiri harus mengerti bahwa perannya adalah memberi orientasi, memfasilitasi, dan berjalan bersama, tetapi bukan menggantikan, gerakan-gerakan ini, dan bahwa sikap 'vertikalis' yang merusak inisiatif rakyat harus dilenyapkan. 

Sekarang dimengerti bahwa gerakan kiri harus belajar untuk mendengarkan, untuk membuat diagnosis yang tepat mengenai tahap-tahap pikiran rakyat, dan mendengar secara teliti solusi-solusi yang disampaikan oleh rakyat. 

Golongan kiri juga harus menyadari bahwa untuk membantu rakyat menjadi, dan merasa bahwa mereka adalah pelaku, golongan kiri harus meninggalkan gaya pemimpin militer vertikalis menuju pendidik rakyat, yang mampu untuk mengerahkan kekuatan semua kearifan yang telah dikumpulkan rakyat.

Yang menjadi pelopor adalah gerakan-gerakan rakyat. Gerakan-gerakan ini berkembang dalam konteks krisis legitimasi model neoliberal dan krisis yang dihadapi lembaga-lembaga politiknya. Gerakan-gerakan ini tumbuh dari dinamika perlawanan di komunitas-komunitas atau organisasi-organisasi lokal mereka. Ini adalah gerakan yang sangat majemuk, dimana unsur-unsur teologi pembebasan, nasionalisme revolusioner, marxisme, indigenisme, dan anarkisme hidup berdampingan.

Mengapa berbicara mengenai sosialisme? Kita bisa bertanya. Bagaimanapun, 'sosialisme' punya pengertian sampingan yang negative sejak kejatuhan di Uni Soviet dan Negara-negara di Eropa Timur lainnya. (Harnecker, 2015). 

Dalam konteks Indonesia, bahkan suatu frasa, yakni Sosialisme Religius, baik sebagai istilah maupun sebagai ide bukanlah sesuatu yang sama sekali baru, khususnya di Indonesia. 

Sudah semenjak masa perkembangan Sarikat Islam, khususnya setelah mengalami sentuhan dengan paham-paham sosialis-komunis Barat yang mengadakan infiltrasi ke dalam tubuhnya, ide sosialisme-religius itu mulai mendapatkan perumusan-perumusan sistematis dan serius, meskipun mungkin belum sepenuhnya memuaskan. 

HOS Tjoktoraminto menulis buku berjudul Islam dan Sosialisme, dan H. Agus Salim mengemukakan pikiran bahwa ide sosialisme sudah tercakup dalam ajaran-ajaran agama, khususnya agama Islam. Syafruddin Prawiranegara pernah pula menulis sebuah pamflet yang isinya menegaskan bahwa seorang Muslim haruslah sekaligus seorang sosialis. Karena pikiran-pikiran serupa itu, tidak mengherankan, jika Masyumi, oleh Kahin, digolongkan sebagai "Islam Kiri" atau "Islam Sosialis" (Madjid, 2013).

Tjokroaminoto sendiri menuliskan, "Bahwa orang harus membedakan antara paham sosialisme sebagai pelajaran dan sosialisme sebagai suatu pengaturan pergaulan hidup bersama (sistem)". 

Dalam Islam dan Sosialisme, Tjokroaminoto menguraikan Pengertian Sosialisme, 'sosialisme' awalnya dari perkataan bahasa latin 'socius', makna dalam bahasa melayu sebagai teman, dan bisa jadi sebagai 'kita'. Sosialisme menghendaki cara hidup "satu buat semua dan semua buat satu", yaitu suatu cara hidup yang hendak mempertunjukkan kepada kita, bahwa kita memikul tanggung jawab atas perbuatan kita satu sama lain. Segala teori (sosialisme) ini juga mempunyai maksud akan memperbaiki nasib golongan manusia yang termiskin dan terbanyak jumlahnya. Agar supaya mereka mendapat satu nasib yang sesuai dengan derajat manusia, yaitu dengan memerangi sebab-sebab menimbulkan kemiskinan.

Negasi dan Afirmasi; Islam, Marxis, dan Keadilan Sosial

Pada umumnya untuk menarik perhatian masyarakat, Marxisme menggunakan idiom-idiom yang bertujuan meningkatkan taraf kehidupan ekonomi bukannya memperkaya kehidupan spiritual dan budaya masyarakat. Sesungguhnya Marxisme yang seperti ini tidak memakai idiom Marxis yang asli yang berakar pada etos budaya setempat. Marxisme yang seperti itu merupakan ideologi kelas menengah sedangkan kaum buruh dan petani dilekatkan pada Marxisme dalam rangka mencapai tujuan ekonomi yang terbatas dan mereka dijauhkan dari semangat budaya dan spiritualnya sendiri. Tidak mengherankan jika Marxisme tetap kalah menarik dibandingkan dengan fundamentalisme, konservatisme, dan kelompok-kelompok reaksioner, karena yang terakhir ini mampu memenuhi kebutuhan spiritual masyarakat dan dalam hal ini kebutuhan spiritual ini sama kuatnya dan sama mendesaknya dengan kebutuhan ekonomi. (Engineer, 2009).

Qutbh melakukan kritikan kepada Marxis, "Sepanjang belum tercipta keadilan kemanusiaan yang menyeluruh, maka tidak mungkin terwujud keadilan dalam bidang ekonomi yang terbatas itu. Sehingga dengan demikian, Islam mencakup semua fenomena kehidupan dan segala sesuatu yang ada di sekitar, sebagaimana halnya ia mencakup masalah ibadah dan amaliyah, jiwa dan hati nurani. Nilai-nilai yang mengandung keadilan ini bukanlah semata-mata nilai ekonomi belaka, dan juga bukan sekedar nilai-nilai material pada umumnya. Tetapi keadilan ini mencakup seluruh nilai-nilai maknawiyah dan ruhaniyah. Apabila komunisme memandang manusia dari segi kebutuhan materialnya belaka, dan bahkan memandang alam semesta ini dengan kacamata materialisme, maka Islam memandang manusia sebagai satu kesatuan yang tidak terpisah-pisah antara kebutuhan rohani dan dorongan jasmaniyahnya, antara kebutuhan spiritual dan kebutuhan materialnya. Islam memandang alam semesta dan kehidupan dengan kacamata integral yang tidak terpisah-pisah"

Sementara Hamka lebih memandang terhadap konteks pembolehan dalam pemikiran, "Datang teori Karl Marx tentang ekonomi yang berdasarkan historis materialisme. Satu perkara yaitu perkara pokok, jelas selisih kita dengan dia yaitu dia tidak mengakui Allah. Dia memandang agama hanyalah sebagai akibat dari perekonomian dan kadang-kadang agama sebagai musuh yang akan menghalangi diktator proletar dan revolusi dunia. Tentang ini bersimpang jalan kita. Inilah prinsip! Oleh karena itu bersedialah umat Islam mempertahankan prinsipnya. Islam tidak pula memandang segala sesuatu buruk saja. Dalam teori Marx, sangat banyak pula yang dapat diterima. Selama teori Marx tidak melanggar prinsip ketuhanan akan kita terima. Akan kita gunakan untuk mencapai cita-cita dan menyempurnakannya. Akan tetapi, untuk memandang Marx sebagai orang suci yang tidak pernah salah atau Lenin orang yang tidak boleh dibantah atau Stalin sebagai dewa, Islam tidaklah dapat menerimannya".

Sayyid menuliskan asas-asas dimana Islam menegakkan keadilannya itu dengan; kebebasan jiwa yang mutlak, persamaan kemanusiaan yang sempurna, dan jaminan sosial yang kuat. Keadilan sosial yang sempurna tidak mungkin dapat terwujud dan terjamin pelaksanaan serta kelestariannya, sepanjang ia tidak dikaitkan dengan persoalan-persoalan jiwa yang batini, dengan memberikan hak setiap individu dan kebutuhan masyarakat kepadanya, disamping adanya keyakinan bahwa ia akan mengantarkan pada tujuan peri kemanusiaan yang luhur, dan sepanjang tidak pula dikaitkan dengan persoalan material yang menjadi tumpuan setiap individu dan menanggung semua kebutuhan dan memberikan apa yang diperlukannya.

Oleh karena itu, kaum Marxis perlu mengembangkan sebuah pendekatan religio-kultural dan ekonomi yang menyeluruh yang berakar pada etos masyarakat setempat. Marxisme juga tidak bisa mengesampingkan agama, apalagi mencampakkanya. Marxisme sangat perlu memikirkan masalah ini secara mendalam. Menganggap agama sebagai candu masyarakat dan membuangnya merupakan pendekatan yang sunguh-sungguh dangkal. Harus diingat bahwa agama adalah instrumen yang penting dan dapat digunakan sebagai candu atau ideologi yang revolusioner. (Engineer, 2009).

Dalam pembacaan 'kiri', gagasan kebudayaan dalam Islam, yang menjadi inti revolusi, tak lain akan mendorong kesadaran progresif yang akan membongkar segala bentuk kepalsuan dari kapitalisme. Selain itu, sumbangan Marxisme sangat penting untuk dipakai oleh gerakan Islam karena memberi pelajaran berharga untuk melakukan sistematisasi terhadap fakta maupun gejala-gejala sosial yang tumbuh.

Ideologi dalam analisis Marxis, adalah sebuah mekanisme yang dipakai kaum borjuis untuk mereproduksikan dominasi kelasnya. Dalam keadaan yang terdistorsi, ideologi tidak mewakili hubungan-hubungan produksi yang ada (dan hubungan-hubungan lain yang diturunkan darinya), tetapi mewakili semua hubungan (imajiner) para individu pada hubungan-hubungan produksi serta semua hubungan yang diturunkan darinya. Ideologi memberikan kerangka kerja yang didalamnya manusia menjalani hubungannya dengan realitas sosial tempat mereka berada.

Disini struktur ideologis tak lepas dari struktur kelas, dan struktur kelas tidak lepas dari struktur ekonomi. Makanya dilihat secara sosiologis, Marxisme merupakan teori tentang peningkatan kelas yang tidak memusatkan perhatian pada keberhasilan-keberhasilan sementara, dan karenanya tak akan menggunakan suatu 'penggulingan kekuasaan' sebagai sarana untuk memperoleh kekuasaan, melainkan yang karena kecenderungan-kecenderungan revolusionernya harus selalu peka dan berjaga-jaga terhadap konstelasi-konstelasi tak terduga dalam situasi itu. Atau seperti pendapat gerakan Mujahidin Khalq, kami mengatakan 'tidak' untuk filosofi Marxis terutama ateisme. Akan tetapi, kami mengatakan 'ya' untuk pemikiran sosial Marxis, khususnya analisisnya tentang feodalisme, kapitalisme, dan imperialisme.

Revolusi sosial mungkin jawaban yang tidak sempurna, tetapi melalui jalur inilah, agama mengambil bentuk keberpihakan yang jelas. Untuk apa harus menggunakan Islam Kiri? Pertama-tama karena kategori 'kiri' akan mendorong ummat untuk belajar lebih banyak mengenai materialism historis yang bisa dijadikan alat analisis persoalan yang sekarang sedang dialami, yang kedua, kiri adalah kategori yang akan mengembalikan 'iman' dalam perseteruannya dengan para penindas. 'Iman' akan dihadapkan dengan kezaliman maupun kekuasaan otoriter yang kini menjadi 'tuhan' baru. (Prasetyo, 2014).

Sebuah Perspektif

Keimanan sebagai sesuatu dihunjam dalam hati, ditegaskan melalui lisan, dan kemudian tergerak oleh perilaku. Kiri ditempatkan sebagai sebuah perasaan yang paling halus ketika melihat realitas sosial, mengiba melihat kemiskinan, melawan melihat penindasan, menangis melihat penderitaan, ringkih melihat kelaparan. Dari "keimanan yang kiri", menjadi Islam Kiri, dan kita bertanya mengapa demikian? Sebuah keimanan yang beranjak dari pergulatannya atas semua problem sosial untuk dipecahkan mengikuti sabda Illahi. Mengapa harus kiri? Karena ada peninggalan Marx, menurut Louis Althusser (dalam Prasetyo, Eko, 2014), yang tampaknya bisa dijadikan 'alat bantu' analisis; pertama, Marx meneumukan konsep cara produksi dalam sejarah dan secara khusus cara produksi kapitalis (nilai lebih, nilai tukar, komoditas) yang selama ini mengambil peranan dalam membentuk tatanan sosial.

Ciri-ciri yang mencakup tiga unsur dasar yang telah disebutkan Chaves diantaranya transformasi ekonomi, demokrasi partisipatif, dan protagonis dalam lapangan politik, dan etika sosialis berdasarkan cinta kasih, solidaritas, dan kesederajatan antara perempuan dan laki-laki, setiap orang. (Harnecker, 2015). Syarat-syarat Sosialisme Religius diantaranya transdenesi, relativitas, dan harapan. Misi Islam Kiri adalah pendistribusian kembali kekayaan Muslim di antara sesama Muslim sebagaimana ketentuan Islam, berdasarkan pekerjaan, usaha, dan keringat. Dan ini diberlakukan sebagai bentuk keadilan kepada muslim dan non Muslim, semua umat, semua rakyat.

Atau seperti gagasan Asghar Ali dengan pendekatan kiri mulai membentangkan tahapan perjuangan Nabi dalam kerangka konfilk antar kelas sosial. Mirip dengan gagasan Teologi Pembebasan Amerika Latin, yang memaknai pembebasan yakni; pertama, pembebasan dari belenggu penindasan ekonomi, sosial, politik atau alienasi kultural atau kemiskinan atau ketidakadilan. Kedua, pembebasan dari kekerasan yang melembaga yang menghalangi terciptanya manusia baru dan digairahkan solidaritas antar manusia. Dalam konteks ini seperti pembebasan untuk keberpihakan, dimana kuam mustadhafin (orang-orang yang dilemahkan) mengalahkan kaum mustakbirin (orang-orang yang sombong) agar terbangun sistem sosial yang tidak eksploitatif. Ketiga, pembebasan dari dosa yang memungkinkan manusia mengimbangi implementasikan semua nilai-nilai keimanan dalam tatanan sosial.

Asas lain yang diuraikan Sayyid Qutbh (1994), Islam menolak menjadikan materi sebagai imbalan bagi nilai-nilai itu dan tidak mau mengubah kehidupan ini menjadi sekedar dinilai dengan sepotong roti, kepuasan jasmani, atau sejumlah uang namun dalam waktu yang bersamaan memberi beban kepada setiap orang yang tidak jarang pula melebihi kemampuan mereka, dengan tujuan melenyapkan tekanan kehendak mereka. Islam juga mengharamkan segala bentuk kemewahan yang mendorong manusia tertuju pada kehidupan materi, memperturutkan nafsu syahwatnya dan menciptakan kelas-kelas yang berbeda dalam masyarakat. Dalam masalah kekayaan ini, Islam mengatur pula hak-hak fakir miskin sesuai dengan kebutuhan mereka dan yang membawa kebaikan bagi masyarakat, serta menjamin terwujudnya keadilan, terpenuhinya kebutuhan dan pertumbuhan individu. Tjokroaminoto pun menyebutkan, "Islamisme adalah dasar dan sumber sosialisme yang sejati, untuk menimbulkan keselamatan dunia dan keselamatan akhirat bagi segenap kemanusiaan".

Sekali lagi harapan Teologi Qur'ani dengan keras mengecam eksploitasi, arogansi kekuasaan dan penindasan. Al-Quran juga menegaskan janji Allah; "Dan kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu, dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi)" (Q.S Al-Qashash : 28 :5).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun