Harapan Politik Islam dalam Identitas Nasional
M. Sadli Umasangaji
Ada asumsi dasar yang mempengaruhi Islam Politik. Menurut Hilmi Aminudin, suara partai Islam semakin turun dari pemilu ke pemilu, padahal kondisi kekinian semangat keber-Islaman seorang Muslim semakin meningkat dan terlihat dimana-mana. Mungkin, pertama, Muslim ('jamaah') yang tidak mau terlibat dalam politik tapi hanya fokus dalam dakwah Islam. Kedua, Muslim ('jamaah') yang memandang Islam politik tapi tidak setuju dengan sistem politik yang dianut sekarang selain sistem Islam. Ketiga, Muslim yang tidak fokus 'dakwah Islam' dan bebas memilih partai politik manapun entah partai sosialis, partai nasionalis, maupun bisa saja 'partai berbasis Islam'. Keempat, Muslim sebagai basis massa 'organisasi masyarakat berbasis Islam' dengan basis politiknya.
Rakyat Indonesia dalam keadaan seperti ini didorong oleh suatu kewajiban mencari kepribadian nasional (national identity). Sebab, bukankah Tuhan tidak akan mengubah nasib sesuatu bangsa sebelum mereka mengubah apa yang ada pada jiwa mereka, yaitu yang berupa set of ideas, attitudes, and convictions (sekumpulan pikiran, sikap, dan keyakinan)? Maka disinilah letak pentingnya penekanan agar kita menjaga orientasi nasional kita. Sebab dengan sendirinya, kepribadian nasional itu harus dicari bibit-bibit dan sumber-sumbernya dalam milikan murni nasional (Madjid, Nurcolish, 2013).
Lanjutnya Nurcholish Madjid (2013) menuliskan, keislaman merupakan milik nasional kita yang paling banyak berpengaruh. Oleh karena itu, penonjolan keislaman hanyalah merupakan penonjolan milik nasional yang paling penting. Barangkali inilah yang disebut ideology-oriented. Agaknya memang demikianlah keadaannya. Dan kita akan mempertahankan kebebasan kita untuk berideologi, sebab hal ini termasuk menganut keyakinan, asalkan masih konsisten dengan dasar negara. Karena, hidup tanpa keyakinan adalah tidak mungkin.
HOS Cokroaminoto sejak awal mengingatkan bahwa melalui Islam, nasionalisme dapat tumbuh subur. Senada dengan Cokroaminoto, Muhammad Natsir menyatakan bahwa sebelum digunakan istilah 'nasionalisme Indonesia', ketika berbagai organisasi masih membatasi diri pada suku bangsa masing-masing, pergerakan berdasarkan Islam sudah lama memiliki ikatan kebangsaan. Pergerakan Islam telah menanam bibit persatuan dan menyingkirkan sifat kesukuan. Lebih jauh, Natsir perlu dicatat sebagai pencetus awal konsep 'nasionalisme-religius'. Ia menempatkan Islam sebagai dasar nasionalitas Indonesia. (Matta, 2014).
Di sisi lain, slogan yang pernah diusung Nurcholish Madjid, "Islam, Yes, Partai Islam, No?". Dengan asumsi Nurcholish Madjid bahwa jika partai-partai Islam merupakan wadah ide-ide yang hendak diperjuangkan berdasarkan Islam, jelaslah bahwa ide itu sekarang dalam keadaan tidak menarik. Dengan perkataan lain, ide-ide dan pemikiran-pemikiran Islam itu sekarang sedang menjadi absolut, memfosil, kehilangan dinamika. Ditambah lagi, partai-partai Islam tidak berhasil membangun citra positif dan simpatik bahkan yang ada ialah citra sebaliknya (Madjid, 2013).
Menurut Sayyid Qutbh sendiri dalam bukunya Detik-Detik Terakhir, sebagai Memoar Sayyid Qutbh ketika dipenjara dan digantung oleh rezim Mesir waktu itu, "Pergerakan Islam harus berangkat dari pengertiannya sebagai gerakan untuk menghunjamkan kembali akidah Islam ke dalam hati dan pikiran setiap individu Muslim, serta melakukan pembinaan kepada siapapun yang mau menerima dakwah dan pemahaman yang benar, dengan pola-pola pendidikan Islam yang benar. Tanpa harus membuang-buang waktu berdebat soal peristiwa politik yang tengah menjadi pembicaraan hangat". Umat manusia secara umum sudah jauh dari pemahaman dan pengertian tentang esensi dari nilai-nilai Islam itu sendiri, tidak lagi sekedar jauh dari etika Islam, aturan Islam, dan syariat Islam. Maka dari itu, gerakan Islam manapun wajib bertitik tolak dari dari usahanya dalam memberikan pemahaman kepada umat tentang makna Islam dan esensi akidah, yaitu mengabdi hanya kepada Allah semata, baik pada tataran keyakinan (mengenai hak Allah sebagai satu-satunya tujuan ibadah) maupun pada tataran praktis (menjalankan syiar-syiar peribadahan kepada-Nya, dan hanya tunduk dan patuh terhadap hukum dan syariat-Nya). Pergerakan ini harus berangkat dengan misi menyelamatkan masyarakat, rakyat, dan pemimpinnya secara bersama-sama, dari pemahaman konvensional menuju pemahaman Islam yang benar, lalu membangun sebuah fondasi (bila bagi masyarakat secara keseluruhan itu tidak mungkin, maka setidaknya itu dapat dilakukan terhadap unsur-unsur dan sektor-sektor yang memiliki kontrol dan pengaruh kuat di masyarakat).
Membangun komunitas, harakah dan akidah dalam waktu bersamaan. Pembangunan masyarakat dan harakah yang berakidah dan membangun akidah yang memiliki masyarakat dan harakah. Akidah menjadi realitas masyarakat yang berharakah dan menghendaki realitas masyarakat berharakah yang sebenarnya menjadi entitas riil dari akidah (Qutbh, 2012).
Maka pertanyaan berikutnya adalah akankah dalam momentum politik, partai politik Islam dapat mengambil momentum lewat basis massanya dan masyarakat Islam umumnya dengan citra Islamnya dan sebagai identitas nasional atau hingga semuanya tetap berjalan ke tengah, entah partai Islam, ataupun partai Sosialis, ataupun partai lainnya, semua bergerak ke tengah. Atau mungkin perubahan paradigma dengan asumsi, kanannya kiri, kirinya kanan, kanannya kanan, kirinya kiri. Rasanya tidak ada lagi, yang ada hanya kiri dan kanan yang terus bergerak ke tengah.
Mungkin mengutip yang dituliskan Nurcholish Madjid (2013) dalam Islam, Kemodernan, dan Ke-Indonesiaan, "Dalam menjalankan 'politik sopan' inilah pandangan-pandangan seorang Snouck Hurgronje, sangat berpengaruh. Ketika menasihati Pemerintah Kolonial Belanda untuk menghadapi umat Islam Indonesia, Snouck Hurgronje mengemukakan pendapatnya bahwa Pemerintahan Kolonial harus mengembangkan sikap netral terhadap Islam sebagai agama dan sikap keras-tegas terhadap Islam sebagai gerakan politik." Kalimat Nurcholish Madjid ini sebagai tantangan Islam Politik untuk menegaskan citra Islamnya dalam lakon politik.
Sehingga akhirnya seperti kata Sayyid Qutbh (2012), "Konsepsi Islam harus tercermin dalam kemanusiaan, sistem yang dinamis, dan harakah yang nyata". Masyarakat Islami yang dalam pengertian kita mengusung peradaban tersendiri bukan semata-mata momentum bersejarah, yang dibicarakan dalam peringatan-peringatan atas masa silam, namun juga menjadi keniscayaan masa kini dan harapan masa depan. Wallahua'lam bishawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H